Kontroversi
”Holding” Ultramikro Nining I Soesilo ; Dosen FEB UI, Founder, Pembina UKM Center
FEB UI |
KOMPAS, 9 Agustus 2021
Dalam
acara webinar yang diselenggarakan oleh BaraJP Belanda pada 4 Juli 2021, dari
Bali seorang peternak sapi mengeluh bahwa susu sapinya hanya dihargai sebesar
Rp 5.500 per liter oleh KUD (Koperasi Usaha Desa) setempat, padahal harga
pakan makin meningkat. Pada saat ini, air mineral dari merek- merek terkenal
yang diproduksi perusahaan korporasi, dijual dengan harga Rp 26.000-Rp 33.000
per liter, bisa 6 kali lipatnya! Padahal
FAO menemukan bahwa produk susu di seluruh dunia mengalami kenaikan harga
tertinggi, yaitu 44,8 persen, diikuti oleh harga beras (32,9 persen); gula
(29,5 persen); lemak, minyak, minyak biji (28 persen); jagung (20,2 persen),
dan gandum (15,3 persen). Harga daging sapi justru menurun (21,6 persen), dan
paling pesat anjloknya adalah harga unggas (53,5 persen). Hasil
kerja keras memelihara sapi sampai bisa memerah susunya yang bergizi (ini
diperebutkan di saat pandemi Covid-19), ternyata dihargai sangat murah.
Bahkan susu dihargai lebih murah dari air yang tinggal ditampung saja!
Keluhan peternak ini ternyata berasal dari seluruh Indonesia, karena peternak
sapi rata-rata hanya punya 2-3 sapi, jauh dari angka ideal sekitar 5-7 sapi,
sehingga posisi tawarnya amat rendah. Dalam
logika ekonomi neoklasik, semua orang dianggap rasional. Dalam kalkulasi
modal kapital, manusia akan menjadi “binatang ekonomi”, yang diasumsikan akan
mengutamakan pencapaian kenikmatan tak terhingga. Para
pemikir holding ultramikro umumnya beranggapan bahwa sebuah korporasi untuk
melayani pengusaha ultramikro yang dikonsepkan oleh Kementerian BUMN,
mengharuskan skala yang besar supaya lebih efisien, sehingga lebih murah
bunganya bagi UMKM, dan otomatis akan lebih mensejahterakan pelaku usaha
ultramikro. Apakah benar demikian? Ilustrasi
ironi harga susu peternak sapi perah sebagaimana dikemukakan di atas dapat
menjadi sebuah gambaran bahwa logika ekonomi neoklasik itu tidak selalu
benar. Ini karena asumsi ceteris paribus-nya (hal lain dianggap sama) terlalu
banyak. Kelemahannya adalah karena rasionalitas manusia juga terbatas,
mengingat ada perbedaan kebiasaan, kekhasan lokalitas, perbedaan geografis,
budaya, dan sejarah yang justru membutuhkan pelayanan yang tidak homogen.
Jadi, agregasi perilaku heterogen ini sebenarnya tidak bisa dilakukan. Konsep ultra mikro Sebagai
perancang konsep ultramikro (UMi), di sini saya ingin menguraikan
kronologisnya dan konsepnya. Ultramikro adalah muara dari kegiatan Riset
Unggulan UI tahun 2009, yang mana saya memenangkan dana hibahnya. Saat itu
saya masih sebagai Kepala UKM Center FEUI (belum jadi FEB UI). Untuk
mewujudkan hasil riset menjadi sebuah program nasional, ternyata memakan
waktu delapan tahun! Konsep
ultramikro diilhami kisah sukses Koperasi Mitra Dhuafa (Komida) yang
menerapkan metoda Grameen Bank, kemudian dikombinasikan dengan upaya
Pemerintah Kabupaten Tangerang yang secara paralel memanfaatkan APBD untuk
membuat kegiatan serupa. Muhammad Yunus bersama Grameen Bank telah
memenangkan Nobel Perdamaian pada tahun 2006, sebagai tindak lanjut PBB yang
menetapkan tahun 2005 sebagai International Year of Microcredit. Ini karena
menggenjot pertumbuhan ekonomi dunia yang ternyata diikuti oleh kenaikan
jumlah orang miskin yang lebih pesat lagi karena mereka tidak punya akses ke
pembiayaan. Grameen
Bank memutarbalikkan konsep perbankan umum yang dibuat oleh Bassle Accord
dengan memberi pinjaman hanya kepada perempuan dan tanpa agunan dengan syarat
utamanya adalah debitur harus miskin. Di Halifax Canada pada tahun 2006,
Muhammad Yunus menyatakan bahwa “the
more you stay away from Government, the better”. Ini karena Grameen Bank
dibiayai oleh gerakan Masyarakat Sipil Dunia, bukan dari pemerintah. Menurut
Giddens (1998, 2008), dalam demokrasi , masyarakat sipil (di dalamnya ada
koperasi) perlu memperoleh kesempatan berpartisipasi yang sama dengan
pemerintah dan swasta. Meskipun
diilhami oleh Grameen Bank, tetapi konsep program UMi berbeda, yaitu justru
mengharapkan adanya campur tangan pemerintah. Saat saya diundang pertama kali
oleh Kemenkeu pada tahun 2014 (waktu itu menterinya Pak Bambang Brodjonegoro)
untuk membuat konsep Mekar (Mengangkat Ekonomi Rakyat ), saya sering
bertanya, di mana sih peran pemerintah? Ini karena saat ingin memberi
pinjaman ke orang miskin, Komida terpaksa harus meminjam di bank umum dengan
biaya dana mencapai 16 persen. Alhasil
anggota koperasi (perempuan miskin) harus mengembalikan pinjaman, dengan
bunga 24 persen! Meski tampak besar, tetapi spread 8 persen ini (yaitu 24
persen dikurangi 16 persen) dimanfaatkan 60 persennya untuk pendampingan
usaha. Ini semacam pendidikan dan pendampingan anggota koperasi. Kemenkeu
akhirnya percaya karena anggota Komida di tahun 2014 sudah sekitar 500.000
orang yang tersebar di 10 propinsi, meski dibiayai tanpa bantuan pemerintah.
Pendampingan tiap minggu (high touch) inilah juga telah membuat kredit
macetnya (NPL) ada di bawah 0,05 persen. Berbeda dengan Grameen Bank, konsep
UMi ditujukan bagi pengusaha perempuan maupun laki-laki, dengan pinjaman
maksimum Rp 10 juta per orang, dan harus diberikan bersamaan dengan
pendampingan (pelatihan usaha). Pada tahun 2020, plafon pinjaman UMi telah
dinaikkan menjadi Rp 20 juta per debitur. Ternyata
tidak seperti orang kaya, orang miskin itu akan selalu membayar kembali
pinjamannya. Kendala hanya terjadi kalau ada musibah, misalnya kebanjiran,
tsunami, kebakaran, sakit, tetapi mereka tidak pernah ngemplang. Di akhir
tahun, saat Rapat Anggota Tahunan (RAT), maka semua anggota koperasi akan
mendapatkan Sisa Hasil Usaha (SHU). Interaksi mingguan yang intens telah
membentuk modal sosial yang besar. Pembagian
SHU dan pendidikan ke anggota koperasi ini tidak akan pernah terjadi kalau
holding ultra mikro ini dikelola oleh perbankan. Para debitur ini juga tidak
akan didatangi dan sering ditagih. Mereka harus disiplin untuk mengembalikan
pinjaman, dan mengeluarkan uang transport saat ke bank. Ternyata
mengubah budaya pinjaman seperti ini tidaklah mudah. Pengalaman di Yayasan
Parasahabat saat masih dikelola almarhum Pak Palgunadi Setiawan, saat
mengubah pola ultra mikro menjadi pola bank, malah membuat banknya rugi
karena debitur jadi malas mengangsur, sehingga yayasan ini balik lagi ke
pendampingan high touch. Kembali
kepada sejarah UMi, maka setelah mendampingi Kemenkeu hampir 2,5 tahun, DPR
akhirnya akhirnya setuju mengucurkan total dana APBN sebesar Rp 7 triliun
untuk program UMi, dan muncullah Peraturan Menkeu tentang UMi pada tahun
2017. UMi ini dikoordinir oleh Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Investasi
Pemerintah (PIP) di bawah Kemenkeu. Program
UMi ini dirancang melayani sekitar 46,7 juta pengusaha yang tercecer dari
program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Saat ini sudah sekitar 57 koperasi
mendapatkan dana UMi ini, dan mayoritas berupa koperasi Syariah. Meski
demikian seluruh koperasi ini mendapat pelayanan tidak langsung dari PIP,
karena dalam klausul APBN, kalau terjadi kemacetan pengembalian pinjaman di
koperasi, maka PIP dianggap telah menghilangkan uang negara. Untuk
itu, maka dibutuhkan keberadaan Bahana Artha Ventura (BAV) sebagai jembatan
dari PIP ke koperasi (two step loan). Apabila terjadi risiko, maka APBN ini
tidak hilang, karena dianggap sebagai putang negara ke BUMN. Dalam hal ini
BAV yang sebagian sahamnya dimiliki BRI, dianggap sebagai BUMN. Meskipun
jumlah koperasi penerima dana UMi ini banyak, tetapi total dana yang dikelola
koperasi tidaklah banyak. Saat ini sebagian besar dana ultramikro justru
disalurkan ke PNM dengan nama Mekaar. Sebagian dana ultramikro ini juga
disalurkan ke BUMN Pegadaian, dengan skema yang agak berbeda, yaitu berupa
pinjaman perorangan dengan agunan (gadai). PNM
adalah BUMN yang juga melakukan prinsip-prinsip Grameen Bank dalam
menyelenggarakan pinjaman kelompok. PNM sebenarnya justru banyak sekali
belajar dari Komida. Awalnya, bahkan PNM membajak anggota-anggota Komida
beserta account officer-nya, jadi seperti bedol desa. Mungkin ini bukan
kebijakan di pimpinan PNM, tetapi di lapangan, hal ini benar-benar terjadi.
PNM sebagai BUMN dengan ‘kemewahan’ dana UMi yang murah langsung dari PIP
(one step loan), masih tega mengambil jerih payah koperasi, dan tetap
memberikan bunga ke nasabahnya sebesar 24 persen. Nah,
kembali ke holding ultra mikro. BRI sebagai holding company dari PNM,
Pegadaian, dan BAV adalah sebuah bank yang akan tetap terikat pada prinsip
Basle Accord yang tidak mengenal konsep 60 persen dari spread untuk
pendampingan usaha. Membuat holding ultramikro di BUMN akan menghilangkan
‘ruh’ dari program UMi, yaitu kewajiban pendampingan anggota yang dilakukan
paralel dengan menagih cicilan, yang mana proses naik kelasnya akan terjadi
bersama-sama, mirip burung gereja yang terbang beriring. Runyamnya,
kementerian BUMN justru mentargetkan UMKM naik kelas dari debitur program UMi
(ibarat burung gereja) agar bisa berperilaku seperti elang yang terbang
sendiri (UMKM). Alam sudah mengajarkan bahwa hal ini akan sulit terealisasi. Para
UMKM anggota koperasi yang meminjam ke holding Ultra Mikro juga tidak akan
pernah mendapat pembagian SHU, karena BRI itu bukan koperasi. Bila prinsip
high tech diterapkan dan bukan high touch, maka baik BRI maupun debiturnya
akan rugi. Kalau mau fair sama dengan konsep UMi, yaitu bila biaya
pendampingan usaha ini dibebankan pada bank, sebenarnya bank itu justru akan
memberikan bunga lebih tinggi dibanding koperasi. Namun
iming-iming bunga bank tanpa pembinaan yang sekilas tampak lebih murah itu
memang menyesatkan sehingga akan tetap menarik bagi orang awam. Ini yang akan
membuat anggota koperasi beserta account officer terbajak di lapangan.
Alhasil, koperasi akan jadi makin lemah. Padahal pemerintah menginginkan
koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia. Pada
tahun 2016, saya menulis di Kompas tentang koperasi “Soko Lidi” perekonomian,
karena kontribusi koperasi yang terlalu kecil. Kondisi ini belum banyak
berubah, karena Kementerian Koperasi tidak diposisikan sebagai kementerian
yang penting. Padahal tugasnya berat, mengurusi koperasi, dan pengusaha
Indonesia yang lebih dari 90 persen berskala ultramikro. Pada
krisis tahun 1998, MPR telah tergerak membuat konsep ekonomi kerakyatan,
dengan memberi peran bagi koperasi dan UMKM sesuai ruh Pasal 33 ayat 3 dari
UUD 45. Apakah MPR masih tetap punya perhatian di sini? Kalau memang serius,
bersuaralah lagi! Mumpung
masih seputar hari koperasi, saya ingin bercerita tentang koperasi di China.
Saat jadi konsultan UN IFAD di Roma, ketika mengevaluasi proyek IFAD di Cina,
kami didampingi beberapa profesor lokal. Ternyata di tiap kecamatan itu ada
TVE (Township and Village Enterprise). Takjubnya, seluruh TVE ini berhasil
menyumbangkan 70 persen dari total ekspor sehingga China dapat julukan
sebagai the factory of the world. Ini
pernah saya kemukakan di Istana pada 6 Juli 2019, waktu Pak Jokowi minta
sumbang saran dari Himpunan Pengusaha Mikro kecil Indonesia (Hipmikindo).
Yang menarik, TVE yang sukses, ternyata justru yang berbentuk koperasi, bukan
BUMN. Oleh
karena itu daripada bikin holding ultramikro dengan pelayanan cenderung
homogen, lebih baik memelihara keanekaragaman pelayanan dan menguatkan
koperasi. Selain membantu mewujudkan soko guru perekonomian Indonesia,
koperasi bisa menyeimbangkan kekuatan negara dan swasta (Wright, 2011), dan
bisa mencegah dominasi aktor pemerintah dan swasta yang berpotensi bengis
perilakunya (Giddens, 2008). ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar