Pelajaran
di Balik Kemenangan Greysia/Apriyani Purnawan Andra ; Bekerja di Direktorat Pengembangan dan
Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan |
KOMPAS, 9 Agustus 2021
Di
sela kenyataan hidup yang serba tak pasti akibat pandemi, intrik politik, dan
ketidakstabilan sosial ekonomi, raihan medali emas bulu tangkis ganda putri
yang diperoleh Greysia Polli/Apriyani Rahayu di Olimpiade Tokyo menjadi
hadiah berharga bagi bangsa Indonesia. Pasangan
ini mengajarkan kepada kita bahwa bulu tangkis tidak hanya olahraga tepuk
bulu angsa untuk memperoleh nilai dan mengalahkan lawan. Ia tak semata teknik
memainkan raket, kerasnya smash, tajamnya dropshot atau pun permainan net. Lebih
dari itu, bulu tangkis adalah refleksi tentang semangat juang, kerja keras,
dan kekuatan mental sebagai refleksi humanisme. Bulu tangkis sebagai olahraga
menyimpan sejarah panjang dan kandungan nilai penting dalam peradaban. Fungsi olahraga Sesuai
fungsi awalnya, olahraga adalah bagian dari pemujaan dewa-dewa di bukit
Olympus pada masa Yunani kuno yang bermakna sakral. Begitu juga pada suku
Aztec, Inca, Maya hingga masyarakat Nusantara kuno, aktifitas “olahraga” itu
mewujud dalam pola yang hampir sama. Olahraga
sebagai bagian kebudayaan juga menjadi bagian dari sistem edukasi masyarakat
Nusantara kuno. Orangtua mempersiapkan anak-anak mereka untuk siap secara
fisik dan mental menjadi bagian dari pranata sosial masyarakat tempat hidupnya. Seiring
laju jaman, olahraga memiliki jenis dan fungsi yang berbeda. Koentjaraningrat
(1980) menyebut olahraga masuk dalam pranata estetik dan rekreasi dan pranata
somatik yang berkenaan dengan hidup sehat. Dengan fungsi personalnya,
olahraga berada dalam fungsi rekreatif, pengisi waktu luang atau hiburan,
yang tidak terukur. Lain
halnya dengan jenis olahraga yang dipertandingkan atau dilombakan yang
menuntut adanya target-target terukur, perbandingan keberhasilan dan
pengakuan pencapaiannya dari pihak lain sebagai lawan atau pesaing. Tingkat
pencapaian itulah yang kerap kita pahami sebagai sebuah kemenangan atau
kekalahan dalam sebuah lomba. Dalam
konteks semacam ini, esensi olahraga sebagai bagian dari kebudayaan mempunyai
makna lain, yaitu menciptakan manusia yang kompetitif, disiplin, kerja keras,
dan memiliki target optimal. Spirit olahraga semacam ini yang kerap
ditransformasikan sebagai pesan moral yang berada dalam konteks yang lebih
luas. Olahraga
berfungsi sebagai perwujudan prestasi, lambang kebanggaan, simbolisme
identitas dan eksistensi bangsa hingga nasionalisme yang penting sebagai
pengikat rasa persatuan dan kesatuan. Olahraga menjadi bentuk konstruksi
sosial, bukan hanya sekadar ekspresi dan wujud kebudayaan. Seperti
ketika kemenangan Greysia/Apriyani menjadi pengikat rasa dan kebanggaan
seluruh masyarakat Indonesia. Tidak hanya bagi para pecinta bulu tangkis yang
menjadikannya bagai ritual perayaan bagi pemeluk mitos pemujaan tim dan atau
pemain kesayangannya. Momen tersebut menjadi suatu bentuk oase yang
menyatukan bangsa. Barangkali
jika final itu tidak terjadi di masa pandemi dan dilangsungkan di Indonesia,
maka dapat kita bayangkan kondisinya. Ribuan suporter menyerbu stadion hingga
banyak orang mungkin tak kebagian tiket. Menonton final bulu tangkis menjadi
ritual, lengkap dengan riasan wajah, bendera, maskot dan nyanyian sakral
berupa yel-yel, sorakan para suporter ketika tim mereka bertanding. Penonton
berubah menjadi semacam koor jemaat yang terhipnotis dalam pemujaan. Efek Efeknya,
fenomena ini tak luput dari infiltrasi kepentingan logika terstruktur
masyarakat budaya populer. Greysia dan Apriyani mulai masuk dunia industri,
mulai dari ditawari jadi model iklan berbagai macam produk komersial, jadwal
wawancara eksklusif hingga menjadi bagian dari berita infotainment, sesuatu
yang tadinya terasa begitu jauh dari khittahnya sebagai suatu bentuk
olahraga. Media
banyak mengulas tentang hobi, kebiasaan, hingga jenis dan merek benda-benda
yang mereka gunakan dalam keseharian. Semua itu ditelusur dari masa kecil
hingga seumur sekarang. Segala sesuatu tentangnya menjadi berita. Tidak
hanya dalam konteks olahraga, capaian keduanya menjadi tunggangan para
politisi yang tiba-tiba muncul memberi selamat dengan nampang di baliho-baliho
raksasa. Mereka muncul ketika publik sedang mengalami euforia dan hal itu
dimanfaatkan untuk meningkatkan popularitasnya. Dengan ikut bergembira dan
seakan terlibat dalam perjuangan Greysia dan Apriyani, mereka berharap bisa
menciptakan kesan positif sehingga semakin dikenal masyarakat. Hadir
di momen-momen yang menjadi perhatian publik seperti peringatan hari besar
nasional, hari ulang tahun daerah, peristiwa bencana, termasuk olimpiade
seperti saat ini, memang menjadi pola yang jamak dilakukan oleh para politisi
kita. Turut menjadi bagian dari kemenangan Greysia/Apriyani, menurut mereka,
merupakan pembuktian dari rasa nasionalisme bangsa. Tapi
dengan foto yang lebih besar daripada Greysia/Apriyani, para politisi
sebenarnya menampilkan banalitas politik citra untuk ikut menumpang
popularitas. Menyitir kajian mitologis Levi-Strauss (dalam Rohman, 2010)
sikap itu memperlihatkan bagaimana implementasi ritus purba mendapatkan
bentuk modern dalam struktur masyarakat politik. Pola pikir dan tindakan yang
diekspresikan para politisi melalui simbolisme kaos sport, jaket olahraga,
dan kepalan tangan itu merefleksikan bahwa sebetulnya struktur dasar
masyarakat kita tidak berbeda jauh dengan ekspresi masyarakat tribal dan
primitif. Padahal
selama ini olahraga menjadi salah satu dari sedikit hal yang bisa membuat
lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di luar negeri. Maka, para
politisi itu harusnya menyampaikan perspektif, pemikiran dan pilihan
kebijakan yang mungkin dilakukan sebagai keberpihakan untuk menjaga kualitas
dunia olahraga kita. Bukan semata memanfaatkan aji mumpung popularitas isu di
masyarakat, yang membuatnya justru tampak seperti pahlawan kesiangan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar