Di
Tengah Badai Globalisasi Pandemi Robertus Robet ; Sosiolog Universitas Negeri Jakarta |
TEMPO.CO, 9
Agustus 2021
Sebelum pandemi, dunia
sudah terbelah antara negara-negara yang kaya dengan negara yang miskin. Pada
masa pandemi, pembelahan, strata dan hierarki ketaksetaraan antarnegara itu
makin menguat. Di negara-negara dengan ekonomi yang lebih miskin, sumber daya
keuangan yang terbatas dan sistem kesehatan yang rapuh, para pemimpinnya
sering terjebak dalam dilema antara
bertindak cepat untuk mencoba menyelamatkan nyawa atau menyelamatkan
ekonomi. Ambil contoh India,
misalnya, di mana masih 60 persen populasi hidup di bawah garis kemiskinan:
perintah penutupan wilayah memicu migrasi massal kelas pekerja yang terpaksa
berjalan ratusan mil ke desa asal mereka setelah transportasi umum
dihentikan. Di banyak negara miskin,
bahkan untuk menerapkan budaya higienis yang paling sederhana seperti mencuci
tangan sering menjadi masalah besar. Ada banyak negara di mana sebagian besar
masyarakatnya tidak memiliki akses terhadap air bersih, apalagi sabun. Ketaksetaraan global ini
secara gamblang nampak dari beberapa kenyataan, yakni: Pertama, negara-negara
miskin kemungkinan besar akan terkena dampak lebih parah daripada negara
kaya, karena infrastruktur yang buruk dan kurangnya sumber daya yang akan
menghambat upaya kesehatan masyarakat. Kedua, baik di negara maju dan negara
berkembang, ketimpangan di masyarakat juga diperkirakan akan melebar. Pekerja
miskin yang mengandalkan hidupnya pada pendapatan harian akan menjadi yang
paling terpengaruh karena mereka berisiko lebih besar kehilangan pekerjaan. Ketimpangan lain yang
diperkirakan akan meningkat berkaitan dengan gender. Pandemi telah mendorong
terjadinya domestification of everything, penutupan pabrik, mal, sekolah
sehingga mendorong rumah menjadi ruang seluruh aktivitas keluarga. Perubahan
ruang sosial ini berdampak buruk
karena pekerjaan dan beban bertambah bagi perempuan, termasuk kekerasan
domestik terhadap mereka. Ancaman ketidakadilan
global selama pandemi, sebenarnya sudah bisa kita deteksi dari pengalaman
yang nyaris serupa di masa lalu. Sejarah HIV/AIDS mengajarkan kita bahwa
bioteknologi ini tidak akan tersedia secara luas untuk populasi rentan selama
bertahun-tahun yang akan datang.
Selama beberapa dekade setelah pengembangan obat HIV/AIDS yang
efektif, perusahaan seperti Pfizer menolak untuk merilis paten mereka guna
melindungi keuntungan mereka di negara-negara makmur, dengan akibat membuat
jutaan orang tidak memiliki akses ke obat-obatan yang menyelamatkan jiwa ini. Perlu juga dicatat di sini
bahwa produksi farmasi adalah industri yang sangat berevolusi dan telah
mendarah daging dalam politik rasisme lingkungan dan neokolonialisme. Sementara kini, kita juga menyaksikan
vaksinasi yang jelas-jelas membantu mengurangi penyebaran Covid-19, masih
dilakukan tanpa mempedulikan populasi yang paling rentan. Sejarah juga
memperlihatkan respon institusional global terhadap epidemi AIDS di Sub
Sahara dan Afrika, pada awalnya, sangat ditentukan oleh cara penelitian dan
kebijakan AIDS dilakukan di negara-negara kaya. Kebijakan tentang AIDS di
Afrika menyodorkan pemahaman hegemonik tertentu tentang AIDS yang menyatu
dengan gagasan dan praktik kelembagaan dari lembaga pengentasan kemiskinan di
Dunia Ketiga. Di negara-negara Sub
Sahara dan Afrika, fokus utama kebijakan AIDS didasarkan pada premis bahwa
perubahan perilaku seksual individu yang dibawa oleh informasi dan pendidikan
adalah senjata utama dalam memerangi AIDS, hingga pengembangan vaksin atau
obatnya bukan prioritas. Sementara di barat, ketika AIDS dilihat sebagian
besar sebagai kondisi kronis, penelitian dan aktivisme AIDS sangat terfokus
pada masalah akses obat. Di negara-negara dunia ketiga, telah diterima begitu saja gagasan bahwa pengobatan itu mahal dan
tidak ekonomis sehingga pencegahan menjadi pusat perhatian, plus
program-program membantu diri sendiri dan pemberdayaan individu. Ketidaksetaraan dan
keterbelakangan yang nyaris tragis kembali mucul sekarang, misalnya, dalam
urusan pemilikan dan distribusi vaksin. Amnesty Internasional menyebut
negara-negara kaya telah membeli dan memonopoli hampir separuh dari
ketersediaan vaksin dunia, padahal mereka hanya merepresentasikan 16 persen
dari keseluruhan populasi dunia. Negara-negara maju tengah berlomba di ujung
garis finis pandemi, sementara banyak negara miskin masih tertatih-tatih di
garis awal. Pada akhir Mei 2021, 42
persen orang di negara-negara G7 telah menerima setidaknya satu dosis vaksin,
dibandingkan di negara-negara berpenghasilan rendah yang agregat tingkat
vaksinasinya di bawah 1persen. Globalisasi telah
menciptakan banyak institusi untuk memastikan mobilitas orang, barang dan
jasa serta promosi perdagangan bebas. Di saat yang sama, globalisasi gagal
menciptakan aturan bersama mengenai standar kelestarian lingkungan, pasar
tenaga kerja yang manusiawi dan kebijakan kesehatan, serta strategi untuk
masalah redistribusi yang adil. Bukti empiris menunjukkan bahwa globalisasi
berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi sekaligus kerusakan lingkungan di
negara-negara miskin. Studi Dreher menunjukkan korelasi yang kuat dan positif
antara globalisasi secara keseluruhan dan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian data juga
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan produk yang
semakin murah karena meningkatnya produktivitas dan produksi di negara-negara
dunia ketiga juga berimplikasi terhadap memburuknya kondisi lingkungan di
negara-negara itu dan ketidaksetaraan global (Bianca Blum dan Neurmarker, 18
Mei 2021). Dengan itu, Blum dan
Neurmarker mengukuhkan suatu kondisi ironis bahwa negara-negara industri dan negara maju, yang tumbuh kuat dengan globalisasi
dalam dekade terakhir, juga memiliki tapak ekologi terbesar. Sementara defisit ekologis lebih menonjol di
negara-negara yang lebih miskin. Dengan kata lain, negara-negara maju kini menikmati
keuntungan terbesar dari globalisasi sambil menikmati lingkungan yang lebih
sehat, sementara negara-negara miskin
terus tertahan dalam keterbelakangan sementara kualitas lingkungannya
memburuk dari hari ke hari. Pembagian kerja
internasional baru telah menciptakan kondisi di mana negara-negara miskin
yang secara agresif mengembangkan industri mengorbankan kelestarian
lingkungannya. Kerusakan lingkungan dan perluasan peradaban manusia yang
eksesif adalah pangkal dari pandemi. Eksploitasi dan kerusakan lingkungan
menghadirkan kerentanan baru yang bersifat infinite. Risiko terbesar bisa
datang dari negara yang paling rusak lingkungannya, namun bahaya dengan mudah
tersebar ke pelbagai penjuru melalui
fasilitas yang disediakan globalisasi. Sebagian pihak berargumen
bahwa pandemi Covid-19 telah membuka krisis kapitalisme global: tutupnya
pabrik-pabrik, mal dan sentra ekonomi mendorong bisnis untuk memanfaatkan
subsidi pemerintah yang besar demi menghindari kebangkrutan. Warga mengalami
kesulitan keuangan. Pasar, yang merupakan pusat perekonomian dalam neoliberalisme,
dipandang telah gagal di hampir semua titik dalam krisis. Hidup orang banyak pada
akhirnya bergantung pada intervensi negara. Tak heran apabila filsuf
Slovenia Slavoj Zizek meramalkan dengan
serta merta bahwa kapitalisme akan berakhir dan komunisme akan jaya. Namun demikian, ramalan Zizek nampaknya
akan lebih menjadi lamunan di siang hari bolong. Yang kita saksikan sekarang
adalah, neoliberalisme memang mengalami penyusutan dan peran negara menguat
serta vital, namun di sisi yang lain neoliberalisme malah dengan cepat
menikmati keunggulan lain. Bukannya menemukan akhir
melalui pandemi, neoliberalisme malah merevitalisasi dirinya melalui jalan
lain. Di Amerika misalnya, di saat Pandemi merajalela akibat kepemimpinan
Trump yang buruk, sektor privat
bertindak agresif: inisiatif-inisiatif datang dari orang-orang kaya seperti
Bill Gates, perusahaan-perusahaan farmasi, lembaga-lembaga riset dan universitas-universitas.
Temuan obat-obatan dan vaksin yang cespleng dalam peperangan melawan virus
itu, secara sepintas menunjukkan bahwa, kapitalisme keluar sebagai pemenang
sendirian, sekali lagi. Pandemi mendorong kembali pentingnya peran negara,
namun di saat yang sama, di saat negara sibuk membentangkan kapasitasnya,
pada bulan November 2020, kapitalisme bangkit dan menyusun solusi-solusi
cepat. Dimulai dari temuan vaksin oleh perusahaan farmasi besar seperti
Pfizer di Amerika yang bekerja sama dengan perusahaan raksasa Jerman
Biontech. Sebagaimana ditulis oleh
The New York Times, landasan dasar dari industri farmasi adalah perlindungan
paten. Perusahaan-perusahaan bersedia berinvestasi triliunan untuk membangun
obat dan vaksin karena negara menyediakan jaminan pemilikan eksklusif 20
tahun. Dengan kata lain, kapasitas
sektor privat untuk meningkatkan inovasi dunia medis dan vaksin tidak dengan
sendirinya terjadi sebagai hasil dari kehendak pebisnis yang hebat dan
berani, melainkan merupakan hasil dari pelbagai faktor yang saling terkait
misalnya pendanaan riset dasar, dan perlindungan hak paten. Semua itu sangat
bergantung pada upaya-upaya yang disediakan oleh sebuah pemerintahan yang
kuat. Belakangan ini,
berita-berita di seluruh dunia diramaikan dengan pemberitaan tentang dua
orang: Jeff Bezos dan Sarah Gilbert.
Keduanya menjadi simbol kemajuan teknologi dan sains. Bezos, bukan
saja hartanya bertambah selama pandemi, Bezos juga sukses melakukan
perjalanan ke luar angkasa bersama keluarganya dengan roket buatan
perusahaanya. Sementara Sarah Gilbert, ahli vaksin dari Universitas Oxford
dan salah seorang pendiri Vaccitech menjadi idola kemanusiaan baru. Gilbert
berjasa memimpin penemuan vaksin Aztra Zeneca, vaksin Covid-19 yang saat ini
paling banyak digunakan di dunia. Dalam satu kesempatan, Gilbert mengatakan
bahwa: “Kami adalah universitas dan kami tidak berada di sini untuk
menghasilkan uang. Saya ingin membuang jauh-jauh gagasan untuk mengambil hak
paten secara penuh, agar kita bisa berbagi kekayaan intelektual dan siapapun
bisa membuat vaksin mereka sendiri…” Dari sini kita sebenarnya
menemukan dua jenis sikap dalam kapitalisme global. Bezos mencerminkan logika
paling lurus dalam kemajuan kapitalisme global. Ia barangkali menghadirkan
mimpi hebat orang-orang kaya untuk segera bisa piknik ke angkasa sambil
menatap jutaan umat manusia di bumi di bawahnya, sebagai planet yang sekarat.
Dalam sebuah wawancara, Bezos memandang luar angkasa sebagai alternatif untuk menyelamatkan umat manusia
dari risiko kehancuran planet bumi di masa depan. Tapi, Saya lebih
menghargai orang seperti Gilbert. Dia menghadiahkan dunia berupa salah satu
elemen dalam menghadapi krisis globalisasi yakni penyediaan kesehatan sebagai
barang publik (global). Refleksi solidaritas universal ini diperlukan dalam
krisis global saat ini, tidak hanya dalam kaitannya dengan pandemi Covid-19,
tetapi juga untuk mempertahankan planet ini di masa depan. Orang seperti
Gilbert memberikan alternatif lain dari sekedar kapitalisme neo liberal yang
telanjang dan brutal. Dia memberi contoh bagaimana globalisasi bisa berfungsi
dalam universalitas kemanusiaan dan solidaritas. Lantas apa yang bisa
dipetik Indonesia dari kondisi ketaksetaraan global ini? Indonesia jelas
bukanlah negara kaya dan sama sekali tidak punya kemewahan untuk misalnya
secara populis mencanangkan vaksinasi 70 persen populasi dalam satu tahun.
Indonesia juga boleh dibilang tidak memiliki institusi kesehatan yang handal
sebagaimana China, Singapura Taiwan dan Korea. Dari segi budaya, kelemahan
dalam pendidikan kita juga nampak dari masih kuatnya budaya tradisional yang
memperlambat tumbuhnya budaya dan rasionalitas medis yang kuat manakala
menghadapi pandemi. Episentrum pandemi ada di hadapan kita. Sisi terburuk dan
risiko terbesar dari pandemi mesti dihadapi oleh Indonesia. Ibarat kapal,
kita tengah berada di dalam badai yang paling besar. Untuk ke luar dari badai
pandemi ini, Indonesia memerlukan empat syarat yakni: respon kepemimpinan
yang efektif, otoritas medis dan sains yang kuat, partisipasi masyarakat yang
besar, dan kerjasama internasional yang luas. Tanpa kepemimpinan yang
efektif, penanganan pandemi akan dengan mudah dimanipulasi oleh pelbagai
kepentingan politik dan bisnis. Kepemimpinan yang efektif berperan besar
mengarahkan semua daya upaya untuk mengalahkan pandemi. Otoritas medis adalah
kunci dan garis depan melawan pandemi. Otoritas medis mestinya menjadi logika
paling tinggi yang mewakili sains dan landasan menghadapi pandemi.
Partisipasi masyarakat adalah kunci. Namun demikian,
partisipasi mensyaratkan adanya trust dari rakyat kepada negara. Trust hanya
terbentuk apabila negara secara dini menunjukkan sinyal dan komitmen yang
kuat untuk menyelamatkan hidup rakyat ketimbang menyelamatkan sektor bisnis.
Kerja sama internasional diperlukan mengingat saat ini Indonesia memiliki
ketergantungan yang besar terhadap negara-negara yang menguasai industri dan
teknologi kesehatan terhadap vaksin. Persoalan lain, yang juga
penting untuk jangka panjang, adalah Indonesia perlu merevisi kembali garis
kebijakan ekonominya, terutama dimensi-dimensi tertentu dari Omnibus Law.
Pandemi adalah buah yang dihasilkan oleh penetrasi manusia yang berlebihan
terhadap alam. Kebijakan Indonesia
mengenai pertambangan, energi serta investasi yang dibuka lebar dan agresif
berkombinasi dengan kendornnya aturan-aturan dan komitmen perlindungan
lingkungan. Apabila diteruskan, Indonesia akan makin mengalami defisit
lingkungan, kerusakan dan bencana yang tidak bisa diramalkan. Sudah waktunya Indonesia
mulai mengubah parameter mengenai kemajuan dan kekakayaan. Bukan lagi
berpusat pada kekayaan segelintir orang dengan ongkos lingkungan yang
diderita banyak orang, melainkan pada solidaritas yang lebih bersahabat
dengan alam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar