Senin, 09 Agustus 2021

 

Jangkar Kebudayaan yang Hilang

Teuku Kemal Fasya ;  Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh; Eksponen Mufakat Budaya Indonesia

KOMPAS, 8 Agustus 2021

 

 

                                                           

Meninggalnya Radhar Panca Dahana pada 22 April 2021 tidak hanya menyebabkan hilangnya seorang sahabat yang sangat intensif bicara tentang kesenian, filsafat, dan kebudayaan, tetapi juga hilangnya satu jangkar penting dalam gerakan kebudayaan nasional. Kepergiannya setelah lebih dari 20 tahun menderita sakit ginjal merupakan kehilangan darah segar bagi pegiat kebudayaan.

 

Ia termasuk sedikit orang Indonesia yang serius memikirkan kebudayaan nasional. Dalam banyak kesempatan, Radhar sangat bersemangat bicara tentang strategi kebudayaan di tengah eksistensi kebudayaan yang, menurut dia, telah kehilangan arah.

 

Apa yang dipikirkan, dibicarakan, dan dituliskan oleh Radhar beberapa hal tidak selalu bisa dikerangkai secara ”akademik”. Baginya, asumsi-asumsi teoretis-akademis, apalagi yang dilakukan di dunia kampus, banyak yang sudah tertinggal, usang, dan normatif.

Mufakat Budaya

 

Rintisan ”sejarah” penulis bersama Radhar dimulai dengan hadirnya Mufakat Budaya yang dilaksanakan di sebuah hotel di Cikini pada 2009. Kegiatan itu dilaksanakan setelah Pilpres 2009.

 

Saat itulah pertama kali penulis bersahabat intim dengannya, sekaligus menyaksikan aforismenya tentang reorientasi pembangunan budaya. Sebagai bangsa yang telah memanggul sejarah dan kehidupan ribuan tahun secara maritim, Nusantara, menurut Radhar, menjadi tempat bagi manusia beretos egaliter, kosmopolit, dan inklusif.

 

Ironisnya, hanya dalam rekayasa politik rezim Orde Baru, telah bertransformasi secara radikal membentuk manusia dengan mental priayi, etnosentris, asal bapak senang, dan sektarian.

 

Pertemuan itu melahirkan dokumen historis yang dinamakan ”Deklarasi Cikini”. Dokumen kebudayaan itu memiliki gema yang cukup kuat dan menjadi penanda strategi kebudayaan Radhar yang khas.

 

”Apa yang terjadi di Indonesia masa kini adalah kebingungan dan kekeliruan yang akut di semua level dan elemen kehidupan kita. Praksis kekuasaan seperti itu merupakan produk dari sebuah pendekatan kebudayaan yang dilandasi oleh cara berpikir yang agraris, orientasi kedaratan atau kontinental.

 

Semua hal itu jelas mengingkari bukan hanya fakta historis bahwa bangsa-bangsa di Nusantara ini berjaya dan disegani dunia karena budaya maritimnya, sejak lebih dari 5.000 tahun SM, tapi juga daya hidup tradisinya yang memiliki kemampuan teruji untuk tetap berkembang, melakukan proses pertukaran budaya yang konstruktif dan mutualistis, dengan karakter dasarnya yang toleran, terbuka, dan egaliter.”

 

Itulah preambul pertama dari kelembagaan yang kemudian identik dengan gerakan kebudayaan Mufakat Budaya. Deklarasi itu ditandatangani oleh 40 orang yang mewakili lintas profesi dan kepentingan.

 

Dari pertemuan itu penulis melihat Radhar tidak lagi tersekat dan bertindak miopik hanya pada aspek kesenian, terutama teater, yang telah digelutinya sejak belia. Ia telah masuk pada dimensi yang dikatakan antropolog EB Tylor, memperjuangkan kebudayaan sebagai nilai kehidupan kompleks yang dilakoni manusia dalam membentuk pikiran, kepercayaan, dan perasaannya.

 

Kebudayaan baginya harus melompati ”batas-batas pembaratan”, sebuah istilah sejarawan Perancis, Denys Lombard. Narasi Nusantara selama ini tertutup pasir dan asap ”orientalisme” sehingga gagal menembus otentisitas dan glorifikasi peradaban yang telah lama tumbuh. Gerakan Mufakat Budaya I itu terus terasa denyutnya hingga Mufakat Budaya III yang dilaksanakan sebelum Pilpres 2019.

 

Menusantarakan Indonesia

 

Gerakan Mufakat Budaya kemudian ter-install ke dalam gerakan regional. Penulis atas amanat Radhar menjadi ketua panitia Mufakat Budaya Sumatera di Banda Aceh. Beberapa tempat lain juga melaksanakan kegiatan itu, seperti di Manado, Kupang, dan Bali.

 

Kegiatan ini sebenarnya dirancang dengan keterlibatan Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terkait upaya menyambut pelaksanaan Forum Kebudayaan Dunia (WFC) pada 2015. WCF adalah kegiatan yang digagas Pemerintah Indonesia dan UNESCO untuk merayakan keberagaman, perdamaian, dan pembangunan kebudayaan.

 

Dari pertemuan itu hadirlah Deklarasi Kutaradja, yang ditandatangani seniman, akademisi, aktivis perempuan, dan kaum terpelajar tanah Melayu, yang merespons situasi politik nasional, termasuk memberikan dorongan dan harapan kepada pemerintah baru, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, dalam menjalankan peran pembangunan dengan berbasis nilai-nilai kebudayaan dan pengetahuan Nusantara yang khas.

 

”Sesungguhnya Sumatera telah menjadi serambi peradaban Asia Tenggara dan dikenal melalui jejak-jejak arkeologis-antropologis, paling tidak sejak 3.000 tahun lalu.

 

Keberadaan Sumatera sebagai entitas kultural dan etnis cukup penting bagi keberadaan sejarah Nusantara, tidak bisa disunyikan begitu saja. Sebagai kontinen yang telah mampu mengonstruksikan nilai-nilai peradaban, berdiaspora dalam pertemuan ras-ras penting di dunia dan menjadikan laut sebagai salah satu konstruksi kulturalnya”.

 

Dokumen Deklarasi Kutaradja juga sangat khas pengaruh Radhar. Ia ikut memberikan ceramah panjang tentang kontinum peradaban Nusantara dan hubungannya dengan dunia luar. Padahal, beberapa jam sebelumnya, Radhar masih lemas karena baru melakukan cuci darah di Rumah Sakit Zainal Abidin, Banda Aceh.

 

Korupsi, budaya yang menistakan

 

Salah satu yang menjadi sikap utama Radhar adalah kejengahannnya pada budaya korupsi. Kritiknya tentang itu berpuncak pada rimbunnya praktik predatoris dan salah urus politik dan birokrasi.

 

Sikap Radhar seperti itu merupakan turunan pengalamannya sejak kecil. Ia terbiasa hidup menggelandang dan melihat bagaimana lapisan masyarakat terbawah sering menghadapi situasi dikalahkan ketika berhadapan dengan proses administrasi negara.

 

Pada setiap fase pengepungan KPK, Radhar hadir dengan semangat pembelaan yang menyala. Itu bukan saja melalui tulisannya, tapi juga tulisan teman-temannya.

 

Penulis sendiri pernah diminta menulis tentang kasus Cicak vs Buaya yang kemudian dimuat di rubrik Teroka (”Sangkakala Peradaban Cicak Vs Buaya”, Kompas, 5/12/2009). Dalam tulisan itu penulis bersepakat dengan Radhar bahwa sistem pemilu demokratis tidak otomatis menghilangkan budaya politik predatoris, bahkan bisa semakin ganas.

 

Salah satu karya yang dihasilkan oleh Radhar untuk mengungkap kegelisahannya atas korupsi adalah buku komik Mat Jagung: Kabut Manusia (2009). Komik bergaya ”Perancis” itu menjadi ruang imajinatif bagi Radhar menghadirkan hero yang kuat menentang koruptor.

 

Tentu apa yang dipersonakan oleh Radhar tentang sosok jaksa itu tak ada di dunia nyata. Di dunia nyata kita lebih sering melihat ”jaksa nanggung” dibandingkan jaksa agung; sebuah metafora yang menggeser realitas yang terpilin-pilin di tengah bangsa yang mengaku menjalankan reformasi.

 

Ia juga ikut mengkritik model kekuasaan yang sangat liberalistis dari UU omnibus law, yang tidak hanya hadir dengan kepongahan borjuistiknya, tapi juga membonsai ekonomi masyarakat bawah, termasuk dunia pendidikan.

 

Sahabat budaya

 

Meskipun kritiknya kadang menyambar bagai petir di bulan Juni, seperti protesnya atas komersialisasi Taman Ismail Marzuki, ia tidak pernah menganggap ada musuh dalam hidup. Ia berteman dengan semua orang, mengundang semua orang untuk bermufakat demi kebudayaan lebih baik.

 

Penulis pernah menghabiskan semalam suntuk di rumahnya di daerah Pamulang, Tangerang Selatan, berdiskusi tentang sejarah tasawuf Hamzah al-Fansury dan Syekh Abdurrauf as-Singkily. Ia heran dengan praktik formalisasi syariah di Aceh di tengah harta karun filsafat kosmopolitanisme para filsufnya di masa lalu.

 

Radhar Panca Dahana memang telah pergi. Namun, kita akan terus mengingatnya, gerakan kebudayaannya, dalam doa, bermunajat di dalam sunyi di tengah politik yang semakin bising. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar