Pembubaran
HTI di Alam Demokrasi
Abdul Kadir Karding ; Sekretaris
Jenderal DPP PKB;
Anggota Komisi Hukum DPR; Ketua Fraksi PKB MPR
|
KORAN
SINDO, 10
Mei 2017
Pemerintah
akhirnya menyampaikan sikap ihwal ada organisasi yang mengusung tentang negara
khilafah/khilafah dauliyah. Melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan Wiranto, pemerintah menyatakan akan membubarkan organisasi tersebut.
Rencana pembubaran itu akan melalui prosedur hukum. Wiranto menekankan bahwa
pembubaran itu diperlukan untuk mencegah berkembangnya ancaman terhadap
keutuhan bangsa.
Akhir-akhir
ini keberadaan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ramai diperbincangkan karena
mengusung isu tentang negara khilafah. Sistem khilafah ditawarkan untuk
diterapkan sebagai ideologi negara. Kelompok ini menilai sistem demokrasi
Pancasila telah gagal membawa perubahan bangsa. Alih-alih menuju ke negara
kesejahteraan, Indonesia justru menjadi negara yang terus menerus terjadi
pergolakan. Untuk itulah, demokrasi Pancasila harus diganti dengan sistem
khilafah islamiyah. Begitu kira-kira alasan mereka.
Karena dinilai
bertentangan dengan dasar negara RI, kegiatan HTI selalu menuai polemik.
Indonesia bukanlah negara milik satu agama. Sebaliknya, Indonesia terdiri
atas berbagai agama, suku, ras, dan budaya. Dari ujung Sabang hingga Merauke
ada ribuan kelompok yang memiliki budaya, kepercayaan, dan adat istiadat
masing-masing. Usulan sistem Indonesia diganti dengan sistem khilafah akan
merusak tatanan keberagaman itu.
Beberapa waktu
lalu rencana kegiatan HTI di Semarang dan di beberapa daerah lain diminta
dibubarkan oleh sekelompok organisasi. Mereka sudah saling berhadapan di
lapangan untuk berdebat mempertahankan sikap dan keyakinannya. Beruntung,
meski sudah saling berhadapan, antarwarga yang berbeda organisasi itu tidak
saling bentrok fisik.
Langkah
pemerintah yang akan membubarkan HTI melalui jalur hukum sudah tepat. Hal ini
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Harus ada penilaian dari hakim apakah HTI benar-benar melanggar hukum dan
membahayakan integrasi bangsa atau tidak. Pengadilanlah yang akan bisa
memutuskan sebab para hakim akan melakukan kajian, memeriksa saksi-saksi, dan
bisa mempertimbangkan dari aspek hukum. Proses hukum menjadi jalur fair
karena saat ini HTI juga sudah memiliki badan hukum.
Dari sisi
administrasi, HTI sah menjadi sebuah organisasi. Mereka memenuhi syarat
sehingga bisa mengantongi surat pengesahan sebagai organisasi berbadan hukum.
Namun, seyogianya kita tak hanya berpatokan pada administrasi dan formalitas
belaka.
Harus ada
pertimbangan substansi. Jika kita lihat dari sisi substansi yang disuarakan
HTI, organisasi ini memang layak dibubarkan sebab paham dan ideologi yang
mereka sebarkan ke publik bertentangan dengan dasar negara. Di UUD 1945
disebutkan secara jelas bahwa kita tak boleh mengganti Pancasila dan konsep
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Karena apa
yang disuarakan HTI sudah terkait dengan sistem negara, pemerintah tidak
boleh membiarkan. Diperlukan proses dengan menggunakan instrumen alat negara
untuk menghadapi HTI. Masalahnya, apakah HTI mau tunduk pada hukum positif di
Indonesia. Menurut mereka, hukum positif merupakan buatan manusia, bukan
hukum dari Tuhan. Sementara HTI menyatakan bahwa satu-satunya hukum yang
harus ditaati hanya hukum dari Tuhan.
HTI selalu
berpendapat bahwa satu-satunya hukum yang bisa menyelesaikan persoalan adalah
hukum Allah sesuai dengan tafsir yang mereka yakini. HTI menolak keras konsep
yang dibuat manusia misalnya konsep demokrasi. Namun, HTI juga tidak
konsisten mengenai hal ini sebab fakta di lapangan menunjukkan bahwa HTI itu
mengakui demokrasi. Buktinya, mereka memanfaatkan demokrasi untuk menyebarkan
ide dan gagasan mereka. Lihat saja, mereka berulangkali menggelar unjuk rasa
di ruang-ruang publik, kantor wakil rakyat, maupun pemerintahan untuk
menyuarakan aspirasinya. Ini paradoks karena mereka sendiri tak percaya
demokrasi. Satu sisi mereka suka demokrasi karena bisa menjadi alat untuk
menyebarkan aspirasi dan paham. Tapi, di sisi lain, mereka juga tidak suka
demokrasi karena sistem ini merupakan buatan manusia.
Hemat penulis,
sistem demokrasi sebenarnya merupakan konsep yang cocok untuk diterapkan di
Indonesia. Demokrasi yang dianut adalah demokrasi Pancasila. Jika kita
menerapkan sistem khilafah dauliyah (khilafah kenegaraan), akan banyak muncul
persoalan. Khilafah dauliyah akan mengancam keutuhan negara. Fakta di
lapangan menunjukkan bahwa orang Indonesia tidak hanya penganut agama Islam.
Indonesia lahir atas bangunan berbagai suku, agama, ras, dan budaya. Negara
ini bisa tetap terus eksis jika kita bisa merangkul semua golongan.
Di dalam alam
demokrasi, siapa pun warga harus diberi ruang untuk menyampaikan pendapat.
Namun, penyampaian pendapat itu harus ada tata aturannya. Tidak boleh
mengusung konsep yang mengancam keutuhan negara yang menjadi komitmen
bersama.
Untuk itulah,
jika HTI ingin menyuarakan aspirasi, sudah seharusnya mereka menggunakan
instrumen prosedur demokrasi. Selama ini HTI sebenarnya sudah menggunakan
jalur demokrasi. Mereka sudah berkali-kali bergerak untuk menyurakan
aspirasinya. Namun, sangat disayangkan karena mereka masih dalam tahap
mengusung wacana di jalanan melalui unjuk rasa, seminar, maupun
kegiatan-kegiatan lain. Sebenarnya alam demokrasi sudah mengatur.
Salah satu
instrumen demokrasi di Indonesia adalah melalui partai politik. Jika sebuah
kelompok ingin menyuarakan aspirasi, bisa melalui partai politik. Partai
politik ini bisa melahirkan konsep regulasi jika memiliki kursi di DPR. Kursi
DPR bisa diperoleh melalui seleksi pemilu. Pemilu menjadi instrumen untuk
menyeleksi siapa saja wakil rakyat yang akan duduk menjadi DPR. Melalui DPR inilah, pemerintahan/negara
membuat sebuah aturan/sistem. Aturan ini yang akan mengikat pemerintahan dan
publik. Maka, jika ada kelompok tertentu yang ingin membuat regulasi, akan
lebih fair bila itu dilakukan melalui prosedur demokrasi yaitu pemilu.
Dari sisi
bahasa, hizbut tahrir itu artinya adalah partai pembebasan. Namun, hingga
kini organisasi ini di Indonesia masih sebatas menjadi organisasi masyarakat.
HTI sebenarnya bisa mendirikan partai politik untuk mengusung aspirasinya.
Namun, partai politik di Indonesia tak boleh berideologi yang bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945.
Melalui
pemilu, kita akan bisa mengukur apakah sebuah konsep bisa diterima masyarakat
(publik) ataukah tidak. Di Indonesia sudah ada puluhan partai yang gulung
tikar akibat setiap pemilu tak mendapatkan perolehan suara gara-gara tidak
dicoblos pemilih. Jadi, silakan saja HTI menjadi partai politik.
Tapi, sekali
lagi, partai HTI itu tidak boleh mengusung konsep yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945. Mereka akan bisa disahkan sebagai sebuah partai jika
memenuhi syarat, termasuk syarat harus mematuhi Pancasila dan UUD 1945.
Berkompetisi di alam demokrasi merupakan sebuah kodrat. Tapi, kita juga tidak
boleh memaksakan kehendak, paham, atau tafsir agama yang diyakini sebagai
kebenaran tunggal. Sebab, selalu ada ruang tafsir yang berbeda dan tafsir
ulang sesuai dengan konteks dan zamannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar