Macron
dan Tantangan Kualitas Demokrasi
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Senior Advisor, Atma Jaya
Institute of Public Policy
|
KORAN
SINDO, 10
Mei 2017
SAYA
menyimpulkan dalam artikel pekan lalu bahwa memenangkan kompetisi pemilu
dengan memolitisasi SARA dan menyebarkan ketakutan akan menjadi bumerang
politik dan membuka ketidakstabilan politik dalam jangka panjang. Dampaknya
tidak berhenti di sana.
Populisme
dengan mengeksploitasi rasa takut dan SARA menutup mata para pemilih untuk
mempertimbangkan gagasan atau program-program rasional yang mungkin lebih
progresif dari kelompok lain. Lingkungan politik semacam ini tercipta karena
partai-partai politik sudah kendur kepada ideologi mereka sendiri dan tidak
lagi menjadi tempat bagi para fungsionarisnya untuk berkompetisi sehingga
mengalami defisit kepemimpinan; tidak hanya dari sisi figur, tetapi juga
gagasan.
Ini yang
mungkin berkembang sejalan dengan meningkatnya populisme di daratan Eropa dan
Amerika Serikat. Partai-partai gurem mendapatkan suara mereka sedikit demi
sedikit setiap empat atau lima tahun sekali selama mereka dalam gagasan
antiglobalisasi, xenofobia anti-muslim, anti-imigran dan menyokong sepenuhnya
gagasan proteksionis.
Melalui cara
itu mereka berhasil mendapatkan kekuasaan dan menggunakan kekuasaannya untuk
menjalankan agenda mereka seperti di AS dan Inggris. Mereka mungkin juga
tidak berkuasa seperti yang terjadi di Italia dan Prancis, namun tetap
membatasi akses radar pemilih pada gagasan yang rasional dan progresif.
Artinya, dalam setiap periode pemilihan umum, warga akan selalu harus memilih
the best from the worse (siapa yang
terbaik dari yang terburuk).
Kemenangan
Macron adalah salah satu contoh nyata bagaimana lingkaran setan itu semakin
mengakar. Setelah pemilihan putaran pertama, warga Prancis dapat memilih
Macron, seorang mantan bankir yang mendukung pemotongan anggaran pelayanan
publik, mendukung globalisasi, mendukung Uni Eropa, yang mereformasi
undang-undang perburuhan agar buruh mudah dipecat namun juga mudah untuk
dikontrak lagi, mengizinkan perusahaan mempekerjakan pekerja lebih 35 jam
seminggu dan menaikkan batas usia pensiun menjadi 62 tahun.
Warga Prancis
juga dapat memilih Marine Le Pen yang anti-globalisasi, anti-EU,
anti-imigran, anti-Muslim, anti-Yahudi, tetapi mendukung penciptaan pekerjaan
melalui proteksionisme, menerapkan pajak yang tinggi bagi pekerja asing,
membatasi jam kerja 35 jam per minggu dan mempertahankan usia pensiun di
bawah 60 tahun.
Garis politik
kedua kandidat itu amat berbeda dengan garis politik partai sosialis yang
biasa dikategorikan kiri dan partai-partai konservatif atau liberal yang
biasa dikategorikan kanan. Kita juga sulit lagi membedakan mana yang kiri dan
mana yang kanan seperti yang diutarakan oleh Ian Buruma (2017).
Kedua kandidat
sama-sama disukai, tetapi juga sekaligus dibenci. Dalam definisi kiri, Macron
dan Le Pen dalam kategori kandidat neoliberal, tetapi dalam kenyataannya, Le
Pen yang dianggap menyuarakan fasisme lebih disukai oleh suara para pekerja
yang dalam sejarahnya adalah pendukung utama Partai Sosialis. Dalam definisi
kanan, Macron dan Le Pen sangat tidak probisnis, tetapi dalam kenyataan para
industrialis dan pebisnis yang umumnya menyokong partai konservatif lebih
menyokong Macron yang tengah.
Yanis
Varoufakis (2017), seorang sosialis mantan Menteri Keuangan Yunani yang
terlibat dalam proses negosiasi Brexit menyarankan agar warga Prancis memilih
Macron karena dua alasan. Pertama adalah mencegah ideologi Le Pen, yang
dikategorikan sebagai fasis, meraih dan menggunakan kekuasaan.
Le Pen yang
berkuasa lebih berbahaya karena ia dapat menggunakan aparat untuk kekerasan
seperti menggerakkan tentara dan polisi untuk menyerang kelompok oposisi. Ia
memberi contoh kebijakan anti-imigran yang dikeluarkan oleh Presiden AS
Donald Trump beberapa hari setelah ia berkuasa.
Kedua,
terlepas dari banyaknya pandangan yang saling berbeda, Yanis menganggap bahwa
Macron lebih memiliki motivasi dan kepentingan untuk menyelamatkan Yunani
pada masa itu, walaupun berbeda sengit dalam proses intervensinya daripada Le
Pen yang memiliki motivasi fasis. Dia merasa apabila Macron berkuasa dan
menjadi wakil dari Uni Eropa yang sangat keras, minimal dia dapat menjadi
oposisi yang energik dibandingkan bila Le Pen yang berkuasa.
Slavoj Zizek,
seorang filsuf, mengatakan bahwa pandangan itu sama seperti pemerasan oleh
kaum liberal. Pemerasan ini terjadi di Inggris, di daratan Eropa yang lain, di Amerika, dan sekarang terjadi di
Prancis.
Atas nama
perlawanan terhadap proteksionisme Trump, para pemilih di Amerika harus
memilih Hillary Clinton tanpa mempersoalkan hubungannya yang erat dengan
birokrasi Wall Street. Demi mencegah fasisme Marine Le Pen, warga Prancis
harus mendukung Macron yang mendukung kebijakan-kebijakan EU yang selama ini
gagal dan sebetulnya menjadi penyebab menguatnya sentimen populisme di
daratan Eropa.
Kedua kandidat
mengeksploitasi ketakutan. Le Pen mengeksploitasi ketakutan atas invasi
imigran, namun Macron juga mengeksploitasi ketakutan terhadap bahaya fasisme.
Zizek ingin mengingatkan apabila tidak perbaikan dalam sistem demokrasi,
terutama di gagasan dan tindakan politik, maka setiap empat tahun atau lima
tahun sekali dalam pemilu kita akan menghadapi kepanikan terus-menerus.
Kepanikan itu
yang membuat kualitas dialog politik ke depan terus berkurang kualitasnya dan
tidak bermanfaat untuk memperbaiki kesenjangan antara yang kaya dan miskin,
atau menyelesaikan problem-problem sosial ekonomi atau sosial budaya lain
yang sebenarnya mendesak untuk diselesaikan. Fenomena ini pun patut
diwaspadai dalam rangkaian pemilu di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar