Palu
Hakim untuk Ahok
Junaedi ; Dosen
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 10
Mei 2017
BERITA tentang
putusan majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang memutus
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai tervonis dua tahun penjara untuk kasus
penodaan agama, telah menjadi trending topic dunia, sebagaimana dilansir
Twitter. Kasus yang telah menyita perhatian publik selama hampir enam bulan
tersebut telah menemui ujung pertama, yaitu dengan putusan pidana terhadap
Ahok yang terbukti secara sah dan meyakinkan telah menoda agama Islam
sebagaimana juga terdapat dalam dakwaan alternatif jaksa penuntut umum (JPU).
Putusan
majelis hakim yang berbeda dengan tuntutan JPU ditegaskan dalam pertimbangan
majelis bahwa majelis hakim tidak sependapat dengan tuntutan JPU dan
pembelaan penasihat hukum yang menyatakan dakwaan penodaan agama tidak terbukti.
Dalam putusan majelis hakim berpendapat bahwa penodaan agama sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 156a KUHP secara sah dan meyakinkan terbukti.
Tulisan ini
akan membahas lebih lanjut tentang berbagai hal yang terkait dengan
perspektif global dan domestik atas penodaan agama, vonis hakim yang lebih
tinggi dari tuntutan JPU, dan penempatan penahanan terhadap Ahok.
Penodaan Agama
Masalah
penodaan agama atau penghinaan terhadap agama (blasphemy or defamation of religion) adalah masalah yang juga dialami
berbagai negara di dunia, yang kerap juga menimbulkan reaksi sangat kuat atas
tindakan tersebut. Masalah penodaan terhadap agama ini juga perhatian global
yang ditandai dengan diterbitkannya Resolusi PBB Nomor 66/167 tentang Perang
terhadap Intoleransi, Stereotipe Negatif, Stigmatisasi, Diskriminasi, Hasutan
yang Mengakibatkan Kekerasan dan Kekerasan Terhadap Orang atas Dasar
Agama/Kepercayaan. Dalam resolusi tersebut, negara-negara mengecam
praktik-praktik intoleransi atas dasar agama termasuk ujaran kebencian yang
menimbulkan kemarahan publik ataupun kekerasan.
Dalam nada
yang juga secara tegas dinyatakan dalam International
Covenant on Civil and Political Right (ICCPR), khususnya Pasal 18 ayat
(3), ”Kebebasan untuk menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan
seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang
diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, atau moral masyarakat atau
hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.”
Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009, bahwa standar internasional yang
terdapat ICCPR pada khususnya Pasal 18 ayat (3) tersebut justru memberikan
legalitas atas pembatasan oleh negara peserta dalam hal ekspresi keagamaan
(forum externum). Dalam hal mana pembatasan tersebut diperlukan untuk
pencegahan terhadap penodaan agama.
Perlu disadari
bahwa penistaan atau penodaan agama yang dilakukan oleh seseorang itu
mempunyai potensi untuk lahirnya hasutan yang berujung penyerangan kepada
seseorang yang mungkin punya karakter sama atau mirip dengan si pelaku yang
sejatinya hanya satu orang. Resolusi PBB tersebut meminta setiap negara
anggota yang dalam hal ini tentu harus dipegang teguh oleh setiap aparatur
negara agar mempromosikan secara penuh terhadap budaya toleransi dan kedamaian
di semua tingkat kehidupan. Di mana promosi toleransi ini dilandasi dengan
pemikiran bahwa hal ini dilakukan dalam rangka penghormatan terhadap hak
asasi manusia dan keberagaman agama serta kepercayaan. Bukan malah melakukan
tindakan yang berpotensi pada kemarahan publik yang menganut agama tertentu
dengan ucapan yang menista atau menodai perasaan beragamanya.
Pengaturan
pemidanaan terkait penodaan agama di Indonesia lebih ditujukan untuk menjaga
atau memelihara ketenteraman beragama. Ketenteraman beragama ini juga lebih
ditujukan pada suatu perbuatan yang dapat menimbulkan rasa ketersinggungan
umat beragama akan adanya sikap kelompok aliran yang mengusik ketenteraman
umat beragama, dalam hal ini peran pimpinan kelompok agama menjadi sangat
penting dalam pelaksanaan undang-undang. Untuk itu, penilaian dari pimpinan
kelompok agama seperti MUI bagi umat Islam, atau PGI dan KWI bagi umat
Kristen dan Katolik, menjadi sangat penting sebagai bukti dalam melakukan
penilaian penistaan terhadap agama tersebut.
Putusan Berbeda dengan Tuntutan
Pengadilan
pidana di Indonesia berasaskan hakim aktif. Majelis hakim adalah figur utama
dalam memutus, bahkan dapat sama sekali berbeda atau mengesampingkan tuntutan
JPU, namun tidak boleh memutus kesalahan di luar pasal dakwaan. Berbeda
dengan perkara perdata yang mana terdapat asas hakim tidak memutus melebih
dari apa yang diminta (ultra petita). Dalam hukum pidana tidak dikenal
larangan ultra petita ini. Namun, hakim dapat memutus pidana sepanjang tidak
melebihi ancaman maksimal dalam undang-undang serta pasal dakwaan itu
terdapat dalam surat dakwaan yang diajukan oleh JPU.
Maknanya,
bahwa kebebasan hakim tidak serta-merta sebebas-bebasnya, akan tetapi
terbatas pada ketentuan ancaman maksimal, surat dakwaan, serta fakta-fakta
yang terungkap di pengadilan. Adapun tuntutan pidana yang diajukan oleh JPU
adalah suatu kesimpulan yang diambil oleh JPU dalam menilai fakta persidangan
sehingga dicapai kesimpulan unsur dalam pasal dakwaan mana yang terpenuhi
sehingga pasal dakwaan menjadi terbukti secara sah dan meyakinkan. Dalam hal
ini maknanya bahwa hakim dalam memutus perkara ini didasarkan pada
sekurangnya dua alat bukti (saksi, ahli, surat dan petunjuk) di mana timbul
keyakinan bahwa memang terdapat tindak pidana dan terdakwalah yang dapat
dipersalahkan.
Hal yang
menarik dalam persidangan ini, dakwaan yang diajukan secara alternatif, namun
dalam tuntutannya JPU seolah-olah bahwa dakwaan disusun secara berlapis
ataupun kumulatif. Di mana JPU membuktikan satu per satu dari kedua pasal
dakwaan yang telah disusun secara alternatif. Majelis hakim dalam putusannya
juga mencermati tentang tuntutan pidana yang dibuat oleh JPU, di mana JPU
menyatakan terdapat hal yang memberatkan, akan tetapi JPU malah menuntut
pidana percobaan. Dalam hal ini majelis hakim hendak mengutarakan bahwa
tuntutan pidana yang dibuat JPU kurang lazim sebagaimana harusnya suatu
tuntutan pidana itu disusun.
Ketidaklaziman
tuntutan pidana percobaan yang di dalamnya terdapat hal yang memberatkan
direspons oleh majelis hakim dengan mengutarakan hal yang memberatkan atas
apa yang diperbuat terdakwa sehingga menghukum terdakwa dengan pidana
penjara, bukan pidana percobaan. Dalam hal ini hakim menyatakan pendapat yang
berbeda sangat tegas dengan JPU, di mana hakim memandang yang terbukti adalah
dakwaan kesatu, yaitu terkait pasal 156a KUHP (penodaan agama) dan bukan
dakwaan kedua sebagaimana yang terdapat dalam pasal 156 KUHP (penodaan
terhadap suatu golongan agama).
Penetapan Penahanan untuk Ahok
Pasal 197k
KUHAP secara tegas mengatur tentang salah satu substansi dalam putusan
pidana, yaitu tentang keadaan atau status penahanan dari terdakwa. Dalam
bagian awal, majelis hakim menyatakan dengan tegas bahwa karena terdakwa
tidak ditahan sedangkan dalam Pasal 197k a quo perlu ditetapkan tentang
status penahanan terdakwa yang disertai perintah kepada JPU apakah terdakwa
ditahan, tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Mengingat apabila tidak
terpenuhinya salah satu unsur dari Pasal 197 tersebut akan berakibat putusan
menjadi batal demi hukum maka hakim harus mempertimbangkan status penahanan
tersebut.
Dalam
putusannya majelis hakim membuat penetapan untuk menempatkan terdakwa dalam
tahanan, hal ini maknanya bahwa sudah selayaknya setelah putusan dibacakan
maka kandungan penetapan dalam putusan tersebut untuk menempatkan terdakwa
dalam tahanan harus segera dilaksanakan oleh JPU. Terkecuali dalam putusannya
majelis hakim memerintahkan agar terdakwa tetap dalam status penahanan yang
sama maka terdakwa tidak perlu ditempatkan dalam rumah tahanan negara (rutan)
guna dilakukan penahanan terhadap terdakwa yang kini tervonis. Jadi, apa yang
terjadi pada Ahok sudah sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku.
Namun,
sepertinya putusan ini di luar bayangan atau dugaan dari banyak pihak, termasuk
penasihat hukum, di mana hakim memutus bersalah dan menjatuhkan pidana dua
tahun penjara yang disertai perintah langsung penahanan terhadap Ahok. Pada
saat pernyataan banding secara lisan sejatinya secara bersamaan telah
dipersiapkan pernyataan banding itu secara tertulis agar segera dicatatkan di
Kepaniteraan PN Jakarta Utara serta diikuti dengan surat permohonan
penangguhan penahanan terhadap Ahok secara simultan.
Apresiasi
Persidangan
kasus penistaan agama yang telah berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta
Utara patut diapresiasi dengan baik karena pemeriksaan saksi tidak secara
langsung televisi sebagaimana opera sabun. Larangan siaran langsung atas
persidangan pemeriksaan saksi sangat tepat serta telah sesuai dengan KUHAP
karena masih sesuai dengan asas segala persidangan dinyatakan dibuka dan
terbuka untuk umum, kecuali perkara kesusilaan dan terdakwanya anak-anak.
Larangan siaran langsung oleh televisi itu adalah untuk mencegah jangan
sampai saksi berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberi keterangan di
persidangan (vide Pasal 159 KUHAP). Maknanya, hakim berusaha dalam
pemeriksaan dilakukan secara berimbang dan adil di mana hal ini ditunjukkan
dengan pemeriksaan saksi secara satu per satu dan untuk mencegah sejauh
mungkin saling memengaruhi di antara para saksi.
Namun, dalam
bagian pembacaan tuntutan pidana, pembelaan maupun pembacaan putusan
diputuskan secara terbuka dan disiarkan secara langsung oleh televisi
sehingga hal ini dapat diketahui secara terbuka oleh publik. Persidangan atas
terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menurut hemat saya, telah
dilangsungkan dengan sangat baik dan sesuai dengan hukum acara pidana yang
berlaku. Apa pun yang menjadi putusan majelis hakim dalam kasus ini harus
diterima dengan baik sebagai cara pengadilan untuk mengadili perkara ini
sebagaimana mestinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar