Masihkah
Perlu Kita Membaca Buku?
Iqbal Aji Daryono ; Praktisi Media Sosial, Penulis
Buku "Out of The Truck Box"; Kini ia tinggal sementara di Perth,
Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi
|
DETIKNEWS, 25 April 2017
Akhirnya dia
keluar juga. Gadis bermata bening itu berjalan pelan, mendekat. Lalu di
sebelah saya ia duduk, sambil menoleh melihat buku setengah terbuka di tangan
saya.
"Baca apa
to, Mas?"
Sambil menahan
desir di dada akibat wajah teduhnya yang tersapu pandangan saya, juga wangi
badannya yang terhirup sekejap di hidung saya, saya menjawabnya. "Ini,
novel. Ca Bau Kan."
Wajahnya
langsung mengernyit heran. "Loh. Kan sudah ada filmnya? Kok baca
bukunya?"
Saya tercenung
mendengarnya. Memang benar, novel karya Remy Silado tentang kisah cinta
seorang perempuan Betawi dan saudagar kaya peranakan Tionghoa pada zaman
kolonial itu baru saja difilmkan. Namun kalimat si gadis bermata bening
membuat saya gundah. "Loh. Kan sudah ada filmnya? Kok baca
bukunya?"
Lepas dari
malam itu, saya merenung lama. Akhirnya, karena terlalu gundah mengingat
kalimat yang ia ucapkan, saya memutuskan untuk meninggalkannya.
Kisah dan
dialog itu melintas lagi di ingatan saya pada H+2 Hari Buku Sedunia 23 April
2017. Satu kisah yang terjadi hampir dua dasawarsa silam, jauh sebelum saya
menikah. (Informasi latar waktu wajib saya tekankan, agar ibunya Hayun tidak
menyuruh saya tidur di garasi malam nanti.)
Tentu cerita
tersebut mengandung sedikit fiksi, terutama pada bagian "saya
meninggalkannya". Yang benar adalah dia yang mencampakkan saya ahahay.
Tapi bukan itu yang mau kita obrolkan hari ini. Saya cuma sedang memberikan
gambaran, bahwa pada masa belasan tahun lalu, faktor kelaziman menjadi salah
satu tantangan terberat kita dalam membaca.
Banyak orang
di lingkungan kita malas membaca bukan semata karena rendahnya kesadaran,
melainkan karena merasa aneh dan tak lazim. Mungkin Anda tidak sepakat dengan
teori saya. Namun, percayalah, tidak sedikit di antara kita yang pada masa
itu senang membaca, tapi mereka terkendala problem kenyamanan sosial.
Orang malu
menenteng dan membaca buku di tempat publik. Membaca buku dengan suntuk saat
antre di kantor Samsat untuk mengurus STNK, misalnya, akan membuat kita
tampak sebagai makhluk sok-sokan. Sok pinter, sok intelek, sok berkelas, dan
entah sok apa lagi.
Sialnya,
seringkali kita mendapat waktu luang justru cuma di saat-saat seperti itu. Di
saat menunggu, di dalam angkutan umum, dan sebagainya. Di kantor kita harus
bekerja, di rumah harus menjalankan peran rumah tangga. Bingung, kan?
Saya sendiri
punya banyak contoh kejadiannya. Pernah seorang gadis berbisik terlalu keras
ke teman di sebelahnya, "Ih, sombong bangeet..." sambil keduanya
menatap ke arah saya yang sedang membaca buku Sejarah Indonesia Modern
mahakarya Pak M.C. Ricklefs di dalam sebuah bus jurusan Klaten-Jogja.
Pernah pula
saya ditanyai orang "Kuliah di mana, Mas?" waktu dia melihat saya
sedang tenggelam di sela halaman-halaman sebuah buku tebal. Begitu saya jawab
bahwa saya sudah bekerja dan tak lagi kuliah, ia melancarkan pertanyaan
susulan yang ajaib: "Lho, kok belajar?"
Syukurlah,
hari ini, ketidaknyamanan semacam itu tinggal kenangan masa lalu. Lihat,
tanpa rasa rikuh orang membaca di mana-mana. Saat sedang menunggu entah apa,
saat duduk di bangku kereta, saat berjalan, saat berdiri di pinggir jalan,
bahkan saat berkumpul bersama keluarga dan makan bersama. Mereka membaca,
membaca, dan terus membaca. Hebat sekali, bukan?
Pasti Anda
mengira saya sedang mengigau. O, tidak. Saya sadar sepenuhnya saat menuliskan
ini. Kalau tidak percaya kata-kata saya, tuh, lihat orang-orang yang khusyuk
menatap layar telepon genggam mereka. Bukankah sebagian besar hal yang mereka
lakukan dengan gadget alias gawai mereka adalah aktivitas membaca?
Coba cermati.
Hanya sebagian kecil di antara para pemeluk ponsel itu yang menonton video
dengan alat mereka. Youtube terlalu rakus memakan data internet, dan ia hanya
akan diakses kalau ada jaringan wifi. Gambar-gambar di Instagram, misalnya,
memang mereka amati. Tapi narasi pengiring gambar itu pasti juga disimak agar
konteksnya dapat dipahami.
Selebihnya,
orang-orang itu membaca ratusan obrolan di Whatsapp atau BBM. Mereka pun
membaca linimasa di Facebook dan Twitter. Dari keriuhan akun medsos mereka,
muncul tautan-tautan berita atau tulisan jenis apa saja yang segera mereka
buka, lalu mereka baca. Mereka benar-benar jadi kalap dalam membaca.
Tidak berhenti
di situ. Jauh melampaui harapan para pendiri bangsa, rakyat Indonesia di
zaman ini juga tekun menulis. Jika percakapan di grup Whatsapp sedang
riuh-riuhnya, orang-orang itu tak berhenti sekadar jadi pembaca. Mereka pun
jadi penulis. Apalagi kalau topik di grup mereka sedang nyerempet isu-isu
Pilkada. Jika dikumpulkan, tulisan seorang aktivis Whatsapp spesialis Pilkada
bisa-bisa menyaingi ketebalan novel Arus Balik-nya Pramoedya Ananta Toer!
Masyarakat
kita buta membaca dan lumpuh menulis, kata Dokter Hewan Taufiq Ismail dulu
kala. Saya kira, Eyang Taufiq sekarang sudah bisa hidup tenang. Generasi
penerus beliau pada hari ini sudah tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang sangat
maniak membaca, dan gila menulis. Mengagumkan.
"Wuooo
dasar nyinyir!" Pasti Anda akan melempar komentar begituan setelah
menyimak gambaran dari saya barusan. Hehehe. Saya yakin Anda tidak setuju
dengan asumsi bahwa kegiatan orang-orang dengan gawai mereka merupakan
aktivitas membaca.
Oke. Kalau
memang Anda tak rela dengan deskripsi saya, lantas apa sebenarnya yang bisa
kita definisikan dari aktivitas membaca?
Sejujurnya
saya selalu bingung saat harus menjawab pertanyaan demikian, dan belum pernah
sekalipun menemukan rumusan jawaban yang pasti. Dalam keruwetan semacam itu,
saya membuka kembali berita beberapa waktu lalu, yang mengabarkan bahwa
Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dalam perkara literasi
alias ke-melekbaca-an.
Pemeringkatan
tersebut dilakukan oleh Central Connecticut State University (CCSU), Amerika.
Maka, saya iseng-iseng membuka situs webnya. Dalam situs CCSU, pemeringkatan
yang bertajuk "World's Most Literate Nations" itu mengambil lima
variabel. Kelimanya adalah: surat kabar, perpustakaan, sistem pendidikan,
hasil pendidikan, dan ketersediaan komputer.
Ada yang agak
mengejutkan di sini, yaitu dalam variabel perpustakaan. Ternyata, fasilitas
perpustakaan di Indonesia nangkring di peringkat 36,5 (diposisikan di angka
aneh itu karena setara dengan Tunisia, sehingga harus berbagi peringkat 36
dan 37 bersama-bersama). Ini hebat. Dalam hal perpustakaan, peringkat
Indonesia mengalahkan Singapura (59), Selandia Baru (39), Korea Selatan (42),
Belgia (46), bahkan Jerman (47).
Bayangkan
saja, perpustakaan kita lebih baik dibanding perpustakaan di Jerman! Tapi
kenapa ranking literasi kita tetap rendah? Ya, sebab variabel-variabel
lainnya membuat anjlok skor kita. Sistem pendidikan kita ada di level 54,
output pendidikan di level 45, ketersediaan surat kabar baik cetak maupun
online ada di level 55, dan akses komputer Indonesia (desktop dan laptop)
terperosok di angka 60.
Beberapa hal
bisa kita baca dari data tersebut. Pertama, perpustakaan kita relatif banyak
dan lengkap, tapi hanya segelintir orang yang mau berkunjung ke sana.
Barangkali penyebabnya adalah sistem pendidikan yang levelnya cuma 54 itu
tidak mampu membangkitkan gairah membaca buku yang tinggi. Atau ada sebab lain,
yakni orang Indonesia lebih suka membeli buku sendiri daripada main ke
perpustakaan.
Kedua, meski
data dari CCSU sangat aneh karena tidak menghitung ponsel dan tablet dalam
variabel komputer (iya, itu aneh sekali), ternyata jumlah "koran"
online yang bejibun di depan mata kita tidak dianggap sebagai bacaan yang
layak.
Ketiga,
aktivitas "membaca" oleh CCSU masih tetap dimaknai sebagai hal-hal
yang cenderung lekat dengan bacaan konvensional, yakni buku dan koran.
Sementara, aktivitas membaca twitwar atau perdebatan di grup Whatsapp agaknya
tidak masuk dalam hitungan mereka hahaha.
Jadi, apakah
Anda sepakat dengan CCSU terkait definisi-tersirat mereka atas aktivitas
membaca?
Melihat
realitas sosial yang berkembang di era medsos, kita bisa melihat bahwa tidak
semua aktivitas membaca dapat mengantarkan kita kepada literasi. Terlalu
banyak bacaan di era kekuasaan internet yang justru menjauhkan kita dari
pengetahuan, kecerdasan, dan kebijaksanaan. Saking gampangnya internet
menyebarkan tulisan, bahkan tulisan sampah sebusuk apa pun bisa bertebaran
dengan ganasnya.
Lalu
bagaimana? Apakah perlu dirancang kampanye agar kita kembali kepada buku
cetak konvensional, sembari meninggalkan bacaan yang limpah ruah di internet?
Tentu saja tidak. Zaman terus berubah, teknologi terus berkembang, dan siapa
pun yang melawan teknologi akan mampus tergilas.
Maka secara
gampangan, saya ingin menyepakati CCSU yang meletakkan buku dan koran sebagai
dua instrumen paling pokok dalam aktivitas membaca. Dalam hal ini saya lebih
sepakat jika bacaan di internet, termasuk tulisan ini, diposisikan sebagai
pengganti koran. Bukan pengganti buku.
Sementara itu,
posisi buku sementara ini tetap tidak bisa dilenyapkan. Bukan dalam artian
semata buku tercetak (sebab kertas ataukah PDF bukan soal penting), melainkan
buku dalam makna tulisan yang mendalam, yang terperinci, yang membahas suatu
hal ihwal dalam konstruksi pemahaman yang utuh. Seperti itulah pada hemat
saya makna buku yang semestinya.
Tanpa fondasi
dasar kebiasaan membaca suatu hal secara utuh, kita jadi terkondisi menangkap
informasi dangkal, sepotong-sepotong sambil lalu, untuk kemudian secara
reaktif membuat respons atas cuilan-cuilan informasi tersebut. Itu semua pada
akhirnya membentuk cara belajar kita, membentuk cara berpikir kita, bahkan
membangun karakter kita sebagai manusia. Silakan buka linimasa di media
sosial, dan Anda akan langsung menjumpai contoh-contoh hidupnya.
Jadi, bagaimana? Anda sepakat dengan pendapat saya tersebut?
Tidak? Tak mengapa. Saya cuma ingin mengucapkan selamat Hari Buku Sedunia
bagi yang merayakan. Bagi yang tidak merayakan, mohon hormati umat yang
merayakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar