Senin, 01 Mei 2017

Dengarkan Rakyat, Bung!

Dengarkan Rakyat, Bung!
M Subhan SD  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                        KOMPAS, 29 April 2017



                                                           
Di zaman kolonial, anggota Dewan Rakyat (Volksraad) ternama, Mohammad Husni Thamrin, berpidato. Isinya, antara lain, ”Setiap pemerintah harus mendekati kemauan rakyat. Ini sudah sepatutnya dan harus menjadi dasar untuk memerintah. Pemerintah yang tidak memedulikan atau menghargai kemauan rakyat sudah tentu tidak bisa mengambil aturan yang sesuai dengan perasaan rakyat…. Untuk mengetahui keinginan rakyat, harus didengar dan dipelajari suara yang terdengar dari kalangan anak negeri sendiri….”

Dahulu negeri ini selalu dipenuhi dengan jiwa-jiwa heroik, patriotis, mulia, dan pengabdian. Tidak berpikir untuk diri sendiri, bahkan untuk sekelompok sekalipun. Maka, mereka dikenang sepanjang masa sebagai pejuang dan pemimpin sejati. Para putra bangsa itu harum namanya dan tertulis dengan tinta emas dalam sejarah bangsa. Sayangnya, hari ini jiwa-jiwa terpuji, seperti HOS Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, Soekarno, Moh Hatta, Moh Yamin, dan Sam Ratulangi—sekadar menyebut contoh—nyaris tak terpatri lagi. Mereka berjuang demi bangsa, demi rakyat. Jadilah Indonesia yang selalu dilukiskan indah sebagai untaian Zamrud Khatulistiwa.

Komponis Ismail Marzuki mendendangkan ”Indonesia Pusaka”: ”Indonesia tanah air beta/pusaka abadi nan jaya/Indonesia sejak dulu kala/tetap di puja-puja bangsa”. Tahun 1930 di depan pengadilan (Landraad) di Bandung, dalam pembelaannya, suara Soekarno lantang terdengar, ”Kami punya dari hulu yang indah, kami punya masa silam yang gemilang. Ah, tuan-tuan hakim, siapakah orang Indonesia yang tidak mengeluh hatinya kalau mendengarkan cerita tentang keindahan itu.... Siapakah orang Indonesia yang tak mengeluh hatinya kalau ingat benderanya yang dulu ditemukan dan dihormati orang sampai Madagaskar, Persia, Tiongkok.”

Bisa jadi suara Bung Karno sudah tak terdengar lagi. Buktinya sikap dan tindakan para pemimpin kita sekarang ini sulit dicerna secara logis, apakah menyuarakan rakyat atau menyuarakan diri sendiri atau kelompok? DPR, misalnya, mungkin sedang senang-senangnya setelah Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengetukkan palu persetujuan pengusulan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Tampaknya putusan buru-buru diambil, tak peduli lagi ada anggota DPR yang interupsi atau walk out. Beginikah cara pemimpin bertindak?

Kalau DPR kerap marah kepada KPK, rasanya begitu banyak orang yang sudah paham. Sebab, selama ini KPK bertindak keras terhadap anggota DPR yang terhormat. Sebab, DPR seperti tak kapok-kapok, apalagi mengambil pelajaran, dari kasus korupsi yang melibatkan anggotanya. Hasil survei Global Corruption Barometer, DPR menjadi lembaga paling korup di Indonesia pada 2016. Kasus megakorupsi KTP elektronik yang dibongkar KPK berputar-putar di sekitar ”nama-nama besar” anggota atau mantan anggota DPR bersama birokrat. Dan, pemberantasan korupsi itu agenda besar tuntutan rakyat hasil reformasi. Jadi, dengarkan suara rakyat, bung!

Runyamnya, bukan semangat dukungan bersama-sama KPK untuk membersihkan rumah rakyat di Senayan yang muncul. Namun, justru bersekongkol menggertak KPK dengan hak angket. Awalnya ingin meminta rekaman penyelidikan terhadap anggota DPR, Miryam S Haryani, politikus Partai Hanura, anggota DPR semangat teken persetujuan hak angket. Namun, ironisnya, mereka tidak bersemangat untuk membantu menemukan Miryam yang menghilang jadi buronan KPK setelah mangkir dalam tiga kali panggilan. Begitukah sikap para pemimpin sekarang?

Memang, aneh-aneh saja pemimpin sekarang. Ketika lebih dari 2.000 karangan bunga ucapan terima kasih kepada pasangan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat memenuhi areal Balai Kota dalam beberapa hari ini, Wakil Ketua DPR Fadli Zon justru menuding sebagai pencitraan. ”Saya rasa masyarakat sudah tahulah. Itu bisa bukan efek positif yang didapat, tetapi efek negatif, apalagi kalau ketahuan sumbernya itu-itu juga. Jadi, pencitraan murahan,” kata politikus Partai Gerindra itu. Mengapa selalu nyinyir dan berprasangka? Padahal, pasangan Basuki-Djarot legawa menerima kekalahan (berdasarkan hasil hitung cepat) dalam Pilkada DKI Jakarta putaran kedua 19 April lalu.

Wajar saja apabila politikus PDI-P, Charles Honoris, bereaksi keras juga. Tudingan seperti itu, ujar Charles, tak layak dilontarkan seseorang yang memegang posisi wakil Ketua DPR. Charles pun menuding balik sebagai sikap kekanak-kanakan. Ah, jadi ingat Gus Dur yang menyindir DPR mirip TK. Belum lupa, kan, ya? Padahal, kalau mau jujur, bisa jadi baru kali ini apresiasi warga begitu antusias melepas pasangan gubernur/wakil gubernur yang kalah. Rasanya belum pernah ada sebelum-sebelumnya. Biarlah warga yang mengekspresikan diri dengan caranya sendiri, tak perlu ditanggapi sinis. Semoga saja bukan karena iri.

Semirip Thamrin, pemimpin itu memang harus paham kemauan rakyat. Namun, kata Sir Winston Churchill, bangsa akan merasa sangat sulit mencari pemimpin yang menjaga telinganya sampai ke tanah. Begitulah pemimpin zaman sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar