Indonesia
dan ASEAN
I Gede Wahyu Wicaksana ; Dosen Hubungan Internasional
FISIP
Univesitas Airlangga Surabaya
|
MEDIA
INDONESIA, 29 April 2017
MEMBUAT ASEAN
menjadi organisasi antarbangsa dan antarmasyarakat Asia Tenggara yang kuat,
modern, dan terintegrasi demi perdamaian dan kesejahteraan bersama ialah
agenda utama KTT ASEAN ke-30 yang dilaksanakan pada 26-29 April 2017 di
Manila Filipina.
Para pemimpin
10 negara anggota ASEAN optimis akan mampu menciptakan perubahan positif di
Asia Tenggara dan kawasan sekitar, bahkan di dunia yang sedang dilanda
ketidakpastian ekonomi dan politik.
Berkaca dari
keberhasilan membangun stabilitas dan keamanan setelah 50 tahun didirikan,
ASEAN yakin dapat terus eksis dan bermanfaat bagi banyak pihak.
Sebagai
pendiri ASEAN, peran dan kontribusi Indonesia luar biasa.
Keberhasilan
yang dicapai ASEAN tidak bisa dilepaskan dari konsistensi serta pengorbanan
Indonesia untuk mengimplementasikan setiap kebijakan yang disepakati ASEAN.
ASEAN tanpa
Indonesia tidak akan berfungsi seperti sekarang ini.
Dalam konteks
diplomasi, apa yang disebut dengan The ASEAN Way, yakni prinsip-prinsip
interaksi sesama negara anggota yang meliputi noninterfearence atau tidak
mencampuri urusan dalam negeri sesama anggota ASEAN, pengambilan keputusan
melalui musyawarah mufakat dan penyelesaian konflik dengan cara damai
merupakan kultur kepolitikan Indonesia yang terefleksi dalam arena
multilateral ASEAN.
Berkat The
ASEAN Way pula kawasan ASEAN tetap bisa stabil dan maju meskipun di berbagai
belahan dunia lain berkecamuk perang dan pertikaian antarbangsa.
Indonesia juga
sudah berhasil mendorong pengembangan mekanisme kelembagaan regionalisme
ASEAN hingga mencakup aktor politik dan ekonomi penting di Asia Pasifik dan
Uni Eropa.
Oleh sebab
itulah, ASEAN bukan saja tampil sebagai model perhimpunan internasional yang
mapan, tetapi menginspirasi pembentukan lembaga kerja sama antarbangsa di
berbagai kawasan lain.
Posisi Indonesia makin tergerus
Atas dasar
inilah, sebetulnya Indonesia berhak mengklaim posisi sentral dalam organisasi
ASEAN.
Bukan karena
ukuran kuantitatif seperti luas wilayah dan jumlah penduduk sebagai modalitas
nasional, melainkan kiprah Indonesia untuk menyatukan dan meningkatkan
kekuatan ASEAN.
Namun,
perkembangan setidaknya selama dua dekade terakhir mengindikasikan posisi
strategis Indonesia semakin tergerus beberapa faktor.
Pertama,
krisis multidimensional di dalam negeri yang menyebabkan negara-negara
tetangga dan masyarakat internasional pada umumnya mempersepsi Indonesia
sebagai negara lemah.
Karena itu,
kepemimpinan Indonesia pun kerap dipertanyakan dan yang paling serius ialah
ada anggapan ASEAN membutuhkan kepemimpinan politik baru pascaIndonesia.
Kedua,
berkaitan dengan faktor pertama, kehadiran faktor eksternal seperti Tiongkok
yang kian intensif masuk ke ASEAN melalui jalur perdagangan dan investasi
ternyata merongrong integrasi politik dan sentralitas ASEAN.
Memang banyak
kalangan diplomat yang menolak argumen ini terutama demi menjaga kekompakan
ASEAN.
Fakta
menunjukkan dalam kasus yang melibatkan hubungan ASEAN Tiongkok, misalkan
sengketa di Laut China Selatan (LCS), perang dagang dan monopoli, hingga
gesekan sosial budaya, sikap ASEAN tidak pernah padu.
Beberapa
negara anggota enggan menanggapi karena takut kehilangan dukungan ekonomi dan
politik Tiongkok.
Tuan rumah KTT
Filipina dengan tegas meminta ASEAN untuk tidak memaksa Tiongkok patuh pada
norma dan prinsip ASEAN khususnya dalam sengketa LCS.
Hal ini tentu
bertentangan dengan kepentingan nasional Indonesia.
Dalam bidang
ekonomi inisiatif konektivitas maritim Tiongkok yang dirancang melalui skema
One Belt One Road atau jalur sutra dari Tiongkok melintasi Asia Tenggara
hingga ke Mediterania kelihatan lebih maju dan berkembang jika dibandingkan
dengan proyek konektivitas ASEAN.
Beberapa
negara anggota justru lebih antusias membangun kemitraan perhubungan maritim
bersama Tiongkok daripada sesama anggota ASEAN. Barangkali kucuran modal
besar-besaran dari perbankan Tiongkok untuk membiayai aneka ragam pembangunan
infrastruktur maritim di lingkungan ASEAN sangat berpengaruh secara politis
terhadap pelemahan solidaritas ASEAN.
Akhirnya,
rasionalitas juga yang menentukan pilihan saat berhadapan dengan Tiongkok. Belum
lagi soal rivalitas klasik aktor-aktor eksternal lain seperti Amerika
Serikat, India, Jepang, dan Rusia yang semuanya mengincar ASEAN sebagai pasar
dan sekutu potensial. Setiap negara anggota ASEAN punya fokus kebijakan luar
negeri berbeda terhadap mereka. Akibatnya, produk diplomasi ASEAN melalui
media institusi KTT Asia Timur, ASEAN Regional Forum dan Indo-Pacific
Parternership sering kali gagal di lapangan.
Ketiga, muara
dari dinamika yang tengah berlangsung adalah masa depan ASEAN cenderung
dipengaruhi aktivitas 'pemain asing' daripada kehendak internal.
Tidak bisa
dipungkiri panggung geopolitik Asia Pasifik yang semakin terhubung karena
kekuasaan kapital merupakan tantangan paling besar bagi sentralitas ASEAN. Gejala
ini bisa diamati dengan jelas pada berbagai kasus saat negara anggota ASEAN
lebih mendahulukan kepentingan bersama negara non-ASEAN daripada sesama
anggota ASEAN.
Jadi apa yang
disebut Indonesia sebagai ekosistem perdamaian dan kesejahteraan ASEAN
sebenarnya baru terwujud dalam tataran normatif, belum terealisasi ke dalam
kerangka kolaborasi yang sepenuhnya efektif.
Dan sekaligus tantangan ke depan buat Indonesia untuk
merevitalisasi kepemimpinan di ASEAN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar