Demokrasi
Emosional
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 04 Mei 2017
Apakah DPR
bersikukuh meneruskan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi ketika
suara-suara publik menolak keras? Apakah DPR tetap ngotot mencari celah agar
panitia hak angket terbentuk meskipun sejumlah fraksi menarik dukungan? Kalau
jawabannya "iya", barangkali inilah kemuraman demokrasi yang
dicemaskan Aristoteles (384-322 SM) ribuan tahun silam. Demokrasi yang
memperlihatkan kekacauan karena praktik kekuasaan dilandasi emosi
semata-mata. Demokrasi kerap diwarnai eksploitasi kelas berkuasa terhadap
rakyat. Demokrasi yang anarkistis.
Kalau tujuan
hak angket DPR untuk membenahi KPK, sebetulnya banyak mekanismenya,
misalnya mengoptimalkan fungsi pengawasan melalui kegiatan rapat-rapat di
DPR. Kalau mempersoalkan tugas dan kewenangan KPK, tugas dan wewenang apa
yang dinilai melenceng? Kalau untuk mencari rekaman pemeriksaan Miryam S
Haryani-anggota DPR yang baru saja ditangkap karena buron-tentu sudah beda
motifnya.
Kalau DPR
menganggap KPK "salah" sehingga harus diobok-obok, sebaiknya
bangunlah dari tidur siang di Senayan. Bahwa tidak ada kesempurnaan, itu
sudah pasti. Namun, sampai hari ini, KPK masih paling dipercaya publik.
Sebaliknya, DPR tingkat kepercayaannya rendah. Bahkan, jika mencermati
komentar di situs berita atau media sosial, tak sedikit yang menyuarakan
pembubaran DPR.
KPK memang
"keras" memburu para pejabat korup. Dan, DPR sepertinya tak
beringsut dari target KPK. Kasus-kasus korupsi, seperti proyek pusat olahraga
di Hambalang, wisma atlet Palembang, dana infrastruktur penyesuaian daerah,
impor sapi, dan terkini korupsi KTP elektronik, selalu terhubung dengan wakil
rakyat. Untuk DPR periode 2014-2019, KPK menjerat Adriansyah dan Damayanti
Wisnu Putranti (PDI-P), Budi Supriyanto (Golkar), Patrice Rio Capella
(Nasdem), Dewie Yasin Limpo (Hanura), I Putu Sudiartana (Demokrat), Andi
Taufan Tiro (PAN), Yudi Widiana (PKS), dan Musa Zainuddin (PKB).
Pantas saja
DPR tampak marah pada KPK. Pada 2016, Ketua KPK Agus Rahardjo merinci bahwa
KPK sudah menyeret 119 anggota DPR/DPRD, 15 gubernur, dan 50 bupati/wali
kota. Dari sisi penyelamatan uang negara, contohnya 2010-2014 KPK
berkontribusi Rp 270 triliun lewat pencegahan korupsi dan penyelamatan lewat
penindakan senilai Rp 1,3 triliun sejak 2004. Kinerja KPK memang moncer di
tengah gangguan di sana-sini.
Bagaimana
dengan DPR? Fungsi penganggaran tentu berjalan bersama pemerintah. Dalam
fungsi pengawasan, DPR begitu bertaji, bahkan mungkin bisa mendikte
pemerintah. Soal fungsi legislasi, inilah yang jeblok. Tahun 2014, saat
mereka berantem rebutan kuasa, cuma merampungkan satu RUU. Itu pun bukan
program legislasi nasional (prolegnas). Tahun 2015, dari target 40 RUU
prolegnas, hanya 3 RUU yang rampung, selebihnya kumulatif terbuka. Tahun
2016, DPR cuma bisa menyelesaikan 10 RUU prolegnas dari target 50 RUU.
Karena itu,
paling krusial adalah bagaimana berkomitmen terhadap code of conduct dan
sumpah anggota DPR agar tidak terus tergoda rayuan korupsi. Jika hendak
membenahi KPK, jangan dengan amarah dan emosional atau motif tertentu,
apalagi sampai membela sesama kolega. Ingat, rakyat juga bisa marah. Di
change.org, dalam lima hari, sudah lebih dari 30.000 warga meneken melawan
hak angket. Mau melawan rakyat, bisa kualat. Sebab, rakyat adalah pemegang
mandat sesungguhnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar