Sabtu, 28 Februari 2015

Kompromi Penyelamatan KPK

Kompromi Penyelamatan KPK

Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 28 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

Setelah membaca dan mendengar suara rakyat melalui media massa serta berdiskusi dengan berbagai kalangan, terasalah sekarang ini muncul kecemasan atas masa depan pemberantasan korupsi.

Di kalangan gerakan prodemokrasi dan pegiat antikorupsi banyak yang cemas, pascaperistiwa cicak vs buaya jilid 3, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan lumpuh. Padahal KPK selama ini telah menunjukkan prestasi hebatnya dalam perang melawan korupsi.

KPK bisa memutus rantai penghalang pemberantasan korupsi yang selama puluhan tahun terajut begitu kokoh. KPK bisa mengantarkan ke penjara orang-orang kuat dipolitik dan pemerintahan: pentolan parpol, menteri aktif, dan ketua lembaga negara. Selain itu pengusaha hitam, dan pelaku berbagai mafia.

Dalam prestasinya itu, yang paling mengesankan, KPK tak pernah gagal membuktikan dakwaannya ketika seseorang sudah diajukan ke pengadilan sebagai terdakwa. Semua pesakitan KPK yang diajukan ke pengadilan 100% bisa dikirim ke penjara karena terbukti korupsi.

Pernah ada ”satu saja” kasus yang lolos di pengadilan tingkat pertama, yakni kasus pimpinan BUMN PT Merpati, tetapi pada akhirnya tendangan KPK digolkan oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi: terdakwa dijatuhi hukuman juga. Semua yang naik banding dan kasasi pasti ditolak dan pengadilan banding maupun kasasi selalu memenangkan KPK, bahkan menaikkan hukumannya.

Dengan melihat catatan bahwa KPK tak pernah gagal membuktikan dakwaannya yang diuji oleh pengadilan secara bertingkat, dapat diartikan bahwa KPK sudah profesional. Itulah sebabnya KPK sejak zaman Taufiequrachman Ruki sangat disegani. Ruki telah berhasil meletakkan dasar-dasar profesionalisme dan kegagahan sepak terjang KPK.

Tapi, sekarang ini, pascakonflik orang-orang KPK dan orangorang Polri yang berimbas pada keterlibatan institusi, KPK menghadapi ancaman kelumpuhan. Banyak yang merasa bahwa sekarang ini sedang terjadi kriminalisasi (meski istilah ini bisa diperdebatkan) terhadap orang-orang KPK dan para pendukungnya dan terjadi proses pelumpuhan terhadap KPK sebagai lembaga penegak hukum.

Ini sungguh mengkhawatirkan karena KPK merupakan anak kandung reformasi yang dalam perjalanannya paling berhasil memerangi korupsi. Tapi kalau mau berintrospeksi dalam kasus yang terakhir, kasus cicak vs buaya jilid 3, ini KPK telah bertindak agak ceroboh dan terasa berbau politis.

Ada gejala pelanggaran etis dan kecerobohan dalam prosedur hukum yang harus dibayar mahal sekarang. Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka yang bersambungan dengan pengusulannya sebagai calon kapolri telah menimbulkan kesan kuat adanya unsur politis.

Apalagi kemudian disusul dengan terkuaknya fakta bahwa Ketua KPK Abraham Samad telah melakukan pertemuan-pertemuan politik yang terkait dengan dirinya menjelang Pilpres 2014. Ini adalah pelanggaran serius, bukan pelanggaran pidana, tetapi pelanggaran etika yang menodai KPK dan merusak semua reputasinya yang membanggakan.

Terlebih lagi ternyata di dalam sidang praperadilan KPK tidak mau (atau tidak bisa) menunjukkan adanya dua alat bukti permulaan yang sah saat menjadikan Budi Gunawan sebagai tersangka. Kekalahan KPK di sidang praperadilan telah menggegerkan dunia hukum dan mengacaukan prosedur umum penegakan hukum pidana. Ia membuka peluang, orang-orang yang dijadikan tersangka mengajukan gugatan praperadilan.

Bukan hanya dalam pidana korupsi, tetapi dalam semua kasus pidana; bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di semua daerah di seluruh Indonesia. Materi gugatan praperadilan pun sudah menyentuh soalsoal di luar prosedur, tetapi menyangkut yang seharusnya disampaikan pada sidang peradilan yang sesungguhnya, bukan di praperadilannya.

Yang sangat mengkhawatirkan, KPK sendiri terancam lumpuh dan tidak lagi bisa terus eksis. Langkah-langkah Polri sekarang yang mudah memproses laporan-laporan atas orang-orang atau pendukung KPK merupakan perkembangan yang tidak menggembirakan. Semua musuh KPK, yang putih dan yang hitam, sekarang punya momentum bersatu menyerang KPK.

Masa depan pemberantasan korupsi tentu sangat suram jika tidak ada langkah-langkah penyelamatan atasnya. Menurut saya, maaf kalau ada yang tak setuju, untuk menyelamatkan KPK saat ini kita perlu berkompromi dengan keadaan, yakni melepas kasus-kasus tertentu dulu untuk tidak ditangani KPK sampai tercapai saling pengertian dalam penanganan kasus-kasus tertentu.

Penanganan kasus rekening gendut yang selalu menjadi isu selama bertahun-tahun, misalnya, bisa dilepas dulu dan dicarikan penyaluran penanganan di luar KPK. Begitu juga perlu dipertimbangkan, KPK tidak menangani dulu kasus kakap yang bersumber dari kebijakan yang sah, sebab kebijakan itu tak bisa dipidanakan kecuali nyata-nyata ada tindak pidana dalam pembuatannya.

Kasus BLBI dan Bank Century, misalnya, tak bisa diarahkan pada kebijakan atau pembuat kebijakannya yang sudah sah. Penanganannya cukup difokuskan pada implementasinya yang ternyata diboncengi oleh tindak pidana korupsi. Jadi harus ada garis yang tegas antara pembuatan kebijakan yang sah dengan implementasinya yang koruptif.

Kita tidak boleh berkompromi dengan korupsi karena korupsi adalah kanker pencabut nyawa negara. Tapi sah saja kita berkompromi dengan keadaan daripada KPK-nya menjadi lumpuh bahkan mati sebagai risiko atas kecerobohan KPK sendiri.

Kalau KPK lumpuh karena tak mau berkompromi dengan keadaan, ada sentra-sentra korupsi yang tak terawasi dan bisa terlepas secara liar, misalnya kementerian-kementerian, lembaga-lembaga negara, pemerintah daerah, DPRD. Sungguh mengerikan kalau hal itu terjadi.

Indonesia sebagai Mining Country

Indonesia sebagai Mining Country

Kusnowibowo  ;  Diplomat, Tinggal di Peru
KORAN SINDO, 28 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

Sejak berlaku larangan ekspor produk mentah hasil tambang dengan berlaku Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), masyarakat baru menyadari ada hal penting dan serius dalam pertambangan di Tanah Air.

UU Minerba seolah membangkitkan kesadaran bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam yang harus dikelola dengan baik dan menjadi perhatian bersama. Dengan kata lain, UU Minerba membawa hikmah, blessing in disguise, setelah ada larangan ekspor, isu pertambangan mulai menarik perhatian publik dan pemangku kepentingan yang berkaitan dengan pertambangan.

Sebagai suatu industri, pertambangan sudah lama ada dan dikenal masyarakat. Pertambangan tidak saja menyangkut produk mineral dan batu bara, tetapi juga minyak dan gas (migas). Pertambangan minyak dan gas jauh lebih dikenal oleh masyarakat dibandingkan dengan mineral dan batu bara karena keberadaan Pertamina sebagai perusahaan pertambangan dan eksportir minyak negara.

Minyak pernah membumbung tinggi sehingga membuat Indonesia dikenal di dunia internasional sebagai produsen minyak dunia dan menjadi anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Namun, kemudian keluar dari keanggotaan karena tidak dapat lagi dikategorikan sebagai negara pengekspor minyak setelah menjadi pengimpor minyak (net importer).

Data geologis penelitian lapangan yang dimiliki pemerintah, Direktorat Jenderal Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (SDM) menunjukkan, hampir setiap daerah/provinsi di Indonesia terdapat sumber daya mineral seperti tembaga (copper), emas (gold), nikel, bauksit, dan uranium.

Ini berarti Indonesia memang memiliki kekayaan sumber daya alam (rich in natural resources) seperti yang selama ini diketahui oleh dunia sehingga menjadi kekuatan daya saing ekonomi dan menarik bagi investor asing. Perusahaan-perusahaan tambang kelas dunia seperti Freeport-McMoRan, Newmont Mining, Rio Tinto, Shell, Exxon Mobil, Total Oil, dan Vale yang beroperasi di berbagai belahan dunia juga ada di Indonesia.

Tetapi, meski perusahaan-perusahaan raksasa tersebut beroperasi di Indonesia, tampak Indonesia belum menjadi negara tambang (mining country) yang terdepan dan disegani dalam dunia pertambangan seperti Afrika Selatan, Australia, Chile, dan Peru. Ini dapat mengandung arti bahwa Indonesia memang tidak mau disebut sebagai negara tambang atau Indonesia memang belum memosisikan diri sebagai negara maju dan andal dalam pertambangan.

Dengan kandungan sumber daya alam yang terbukti (proven natural resources) selayaknya Indonesia mulai memosisikan diri menjadi negara tambang yang maju dan diperhitungkan. Ini tidak saja bermanfaat secara ekonomis bagi negara karena mendapatkan penerimaan (revenue) dari pajak dan royalti, tetapi juga akan membuka kesempatan bagi perusahaan dan investor tambang melakukan operasi penambangan di berbagai daerah/provinsi di Indonesia.

Untuk membangun dan mewujudkan Indonesia sebagai negara tambang, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, membangun brand image (branding) Indonesia sebagai negara tambang yang responsible, sustainable, profitable and prosperous mining. Selama ini terkesan urusan dan isu pertambangan hanya berkaitan dengan masalah administrasi dan perizinan.

Masalah pertambangan hanya berputar sekitar masalah konsesi luas wilayah pertambangan, lama proses perizinan, dan kontrak pertambangan. Paradigma dan konsep pertambangan yang bertanggung jawab, menguntungkan, dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya sepertinya kurang tersentuh dan mendapatkan porsi perhatian yang cukup.

Selain itu, pertambangan juga menyangkut aspek teknologi, suplai peralatan (equipment), manajemen bisnis, dan sumber daya manusia. Dalam peralatan, banyak equipment yang digunakan merupakan produk impor. Jika Indonesia sungguh-sungguh, bukan mustahil banyak peralatan dan sarana kebutuhan pertambangan yang dapat diproduksi oleh insinyur dan tenaga ahli lokal.

Jika peralatan dan sarana tersebut dapat dibuat sendiri, industri pendukung sektor pertambangan akan berkembang dan banyak menyerap tenaga kerja. Selain itu, Indonesia juga dapat mengekspor produk tersebut ke negara lain dan pasar internasional. Jika semua kebutuhan dapat dihasilkan oleh produsen dalam negeri, Indonesia dapat menghemat devisa dan memenuhi sendiri rantai suplai (supply chain) industri.

Kedua, diperlukan ada badan/unit promosi tambang yang mempromosikan potensi kekayaan sumber daya mineral dan kemampuansumberdaya manusia tambang Indonesia sehingga perusahaan tambang atau investor asing tidak perlu kesulitan atau mencari tenaga ahli tambang dari luar untuk bekerja dan mengoperasikan wilayah pertambangan yang dikonsesikan.

Jika memiliki institusi ini, akan mudah bagi Indonesia untuk mempromosikan dan mengundang investor menanamkan modal di berbagai daerah/ provinsi. Unit promosi ini merupakan institusi tingkat pusat. Keberadaan lembaga ini akan jauh lebih efisien dan memudahkan daripada harus dilakukan oleh daerah.

Sebagai industri dan bisnis, pertambangan harus dikemas dan ditempatkan dalam konsep pemasaran (marketing). Ketiga, strategic plan dan transparansi. Perlu ada rencana strategis pengembangan industri pertambangan sebagai guidance yang bersifat long term policy sehingga pertambangan Indonesia memiliki keunggulan (competitive advantage) dibandingkan negara lain.

Sebagai bagian dari sistem pengelolaan tambang yang terbuka, otoritas pertambangan harus dapat memberikan informasi yang selalu upto date dan transparan sehingga dari waktu ke waktu berbagai pihak dapat mengikuti perkembangan kemajuan dan perubahan yang terjadi. Transparansi sebagai pilar dari good corporate governance harus menjadi elemen utama dalam industri pertambangan.

Sebagai negara yang diberkahi dengan sumber daya alam yang demikian banyak, sudah waktunya Indonesia membangun dan memosisikan diri sebagai negara tambang (mining country) sehingga Indonesia tidak saja menjadi negara yang terdepan dalam pertambangan dan tujuan investasi tambang, tetapi juga mampu menggerakkan industri pendukung dan melahirkan perusahaan tambang yang andal di tingkat nasional dan internasional.

Mengembalikan Khitah Bulog

Mengembalikan Khitah Bulog

Toto Subandriyo  ;  Praktisi Dunia Pertanian;
Lulusan IPB dan Magister Manajemen UNSOED
KORAN SINDO, 28 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

Gonjang-ganjing harga beras yang telah berlangsung beberapa bulan terakhir mengingatkan kita tentang arti penting mengembalikan Bulog kepada semangat awalnya (khitah).

Semangat awal dibentuk Bulog adalah mengemban dua misi besar. Misi pertama, melindungi konsumen, utamanya warga miskin dan kaum marginal perkotaan dari melambungnya harga kebutuhan pangan pokok. Misi kedua, melindungi petani dari keterpurukan harga jual komoditas pangan hasil panen mereka.

Namun, dengan bergulirnya waktu, sejak 1998 pemerintah atas desakan Dana Moneter Internasional (IMF) ”mempreteli” peran dan fungsi Bulog. Misi heroik yang harus diemban Bulog tersebut semakin pudar ketika lembaga ini kemudian menjelma menjadi perusahaan umum (perum) seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum (Perum) Bulog.

Sejujurnya kita akui, setelah Bulog menjelma menjadi perum, peran lembaga ini tak ubahnya mesin ekonomi liberal lain. Layaknya mesin ekonomi liberal, jika suatu aktivitas menjanjikan keuntungan secara ekonomi, mesin ini akan bergerak. Sebaliknya, jika aktivitas tersebut tidak menjanjikan keuntungan secara ekonomi, mesin ekonomi ini akan memilih ”duduk manis”.

Kompleksitas masalah pangan saat ini dan ke depan akan semakin tinggi. Untuk itu, dituntut keseriusan negara/pemerintah untuk menanganinya. Saatnya Bulog dikembalikan kepada semangat awal saat lembaga ini dibentuk. Sejarah panjang bangsa ini telah mencatat bahwa dalam sebutir beras tidak hanya terkandung dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi kehidupan lain seperti dimensi sosial, keadilan, nasionalisme, spiritual, juga politik.

Jadi komoditas pangan tak sepantasnya diposisikan sebatas komoditas perdagangan layaknya produk manufaktur. Hanya diserahkan kepada mekanisme pasar. Pemerintah/negara harus hadir dalam setiap permasalahan pangan yang membelit rakyat seperti permasalahan meroketnya harga beras beberapa waktu terakhir. Menyerahkan pengelolaan pangan pada swasta merupakan bentuk pengingkaran kewa-jiban negara dalam memenuhi hak rakyat paling asasi tersebut.

Di Bawah Presiden

Semangat itu sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Pasal 126 Undang-Undang Pangan menegaskan bahwa dalam hal mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Lembaga tersebut mempunyai tugas pokok dan fungsi melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi pangan pokok dan pangan lain yang ditetapkan pemerintah. Pilihan paling realistis untuk mengemban tugas pokok dan fungsi tersebut tidak ada lain selain Perum Bulog. Bulog dengan tugas pokok dan fungsi baru tersebut harus menjalankan manajemen pangan sebagaimana diformulakan Saleh Affif dan Leon Mears (1967).

Terdapat lima prinsip dalam formula tersebut. Pertama, ditetapkan harga dasar komoditas (floor price) yang memberikan insentif harga jual bagi petani sehingga mereka tetap bergairah dalam melakukan usaha tani. Untuk tujuan ini, pemerintah mengeluarkan peraturan yang dituangkan dalam instruksi presiden (inpres) yang memuat mekanisme harga dasar komoditas dalam bentuk harga pembelian pemerintah (HPP).

Kedua, perlu ada harga maksimum (ceiling price) yang bertujuan melindungi konsumen dari kenaikan harga yang tak terkendali. Jika mekanisme harga maksimum dapat berfungsi dengan baik, tak perlu terjadi gonjang-ganjing harga beras seperti kita alami beberapa bulan terakhir.

Ketiga, perlu ada selisih yang memadai antara harga dasar dan harga maksimum. Selisih harga yang memadai tersebut akan lebih merangsang aktivitas perdagangan oleh swasta. Keempat, perlu diupayakan relasi harga antardaerah dan isolasi harga terhadap pasar dunia dengan fluktuasi yang lebar.

Kelima, perlu ada stok penyangga (buffer stock) yang dikuasai pemerintah dalam jumlah yang cukup. Stok penyangga ini sangat penting untuk melakukan penetrasi pasar dalam rangka stabilisasi harga pada saat-saat tertentu misalnya pada musim paceklik, Lebaran, atau Natal dan tahun baru.

Hanya Buloglah yang memiliki 1.755 gudang tersebar di seluruh wilayah Indonesia sehingga peran sebagai pengelola stok penyangga pangan tersebut sangat mungkin diembannya. Untuk itulah, Bulog perlu diberi kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan stok pangan, termasuk di dalamnya kebijakan importasi. Dengan catatan, kebijakan importasi tetap harus memprioritaskan penyerapan hasil panen petani domestik untuk kemandirian dan kedaulatan pangan bangsa.

Profesional

Satu hal yang perlu diingat, track record Bulog masa lalu sangat kental dengan aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Secara kasatmata Bulog pernah menjadi mesin uang politik penguasa. Skandal Bulog yang berjilid-jilid menjadi bukti yang tak terbantahkan. Ke depan semua itu harus dijadikan cermin bagi seluruh jajaran Bulog agar tidak terjerumus pada kasus-kasus yang sama.

Dengan tugas pokok dan fungsi yang baru, Bulog harus mampu memerankan diri sebagai lembaga penyangga dan stabilisator harga pangan yang profesional demi kepentingan rakyat. Prinsip good corporate governance harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sehingga akan lebih efisien, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Akhirnya, agar beban berat yang diamanatkan kepada Bulog dapat memenuhi harapan masyarakat, Bulog harus mempunyai hak istimewa. Tanpa hak istimewa tersebut, Bulog tidak akan mampu melawan sepak terjang para ”naga” dan ”samurai” yang sudah menguasai mata rantai perdagangan pangan dari sentra produksi hingga pasar ritel.

Salah satu hak istimewa tersebut antara lain memberikan hak kepada Bulog untuk mengimpor semua komoditas bahan pangan pokok dengan persentase yang besar dibanding pelaku pasar lain. Hanya dengan hak-hak istimewa seperti inilah, Bulog akan mampu melawan kartel pangan yang kini sudah menggurita. Di sinilah komitmen para penentu kebijakan pangan negeri ini tengah diuji.

Misteri Mafia Beras

Misteri Mafia Beras

Khudori  ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
KOMPAS, 28 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

Reformasi telah mengubah peran pemerintah di satu sisi serta peran swasta, warga sipil, dan dunia internasional di sisi lain. Perubahan terjadi di level politik, tetapi tidak pada sistem ekonomi. Ini ditandai dengan peran negara yang kian ciut, sebaliknya swasta dan kaum kapitalis kian sulit diatur. Hasilnya, kehadiran negara lewat pelbagai lembaga pengemban pelayanan publik kian lumpuh. Hari-hari ini kita menjadi saksi negara yang lumpuh, tecermin dari ketidakberdayaan dalam mengendalikan harga beras.

Mengapa dari tahun ke tahun masalah ini tak pernah berubah? Di manakah kehadiran negara? Konstitusi mengamanatkan agar negara selalu hadir dalam setiap permasalahan warga. Dalam UU Nomor 18/2012 tentang Pangan dan UU Nomor 7/ 2014 tentang Perdagangan diatur kewajiban negara untuk menjadi stabilisator harga pangan.

Bahkan, komitmen ”negara hadir” juga dituangkan dalam Nawacita Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam butir 1 Nawacita ditegaskan: ”Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.... ” Adapun dalam butir 2: ”Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya.... ”

Seperti layang-layang putus, tiga minggu terakhir harga beras lepas tak terkendali. Jika semula kenaikan harga beras hanya terjadi di Jakarta dan sekitarnya, kini menular ke sejumlah daerah. Biasanya, saat musim paceklik terjadi kenaikan harga 10%. Tapi kenaikan kali ini sudah mencapai 30%.

Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menuding ada mafia beras yang bermain mengeruk keuntungan dari situasi ini. Ini bukan hal baru. Di pemerintahan lalu, tudingan ada mafia beras berulang kali dilemparkan. Namun tak ada satu pun yang bisa membuktikan. Juga tak ada satu pun yang diseret ke meja hijau. Benarkah ada mafia beras?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi IV, 2013), mafia dimaknai sebagai ”perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal)”. Merujuk pada definisi itu, tidak tepat menyematkan kata ”mafia” pada beras. Lebih tepat kata kartel. Barangkali ini yang dimaksud Menteri Gobel.

Kartel– yang dimaknai sebagai kerja sama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan yang wajar–secara klasik dapat dilakukan melalui tiga hal, yakni harga, produksi, dan wilayah pemasaran.

Mudah didefinisikan, tetapi kartel tidaklah mudah dibuktikan. Apalagi sebagian besar praktik kartel dilakukan secara diam-diam. Inilah yang membuat otoritas pengawas sering kali kesulitan mendapatkan bukti-bukti sahih guna menyeret pelaku kartel. Bahkan, sampai sekarang otoritas Komisi Pengawas Persaingan Usaha belum berhasil mengendus pelaku kartel.

Menurut Kadin dan Komite Ekonomi Nasional, nilai kartel pangan tahun 2013 mencapai Rp11,3 triliun. Namun merujuk pada nilai impor pangan tahun 2013 sebesar USD14,3 miliar, nilai kartel kemungkinan 2-3 kali dari perkiraan Kadin dan KEN. Itu terjadi pada beras, kedelai, jagung, gula, susu, daging dan sapi bakalan serta gandum.

Barangkali, tudingan ”mafia beras” yang disampaikan Menteri Gobel sebagai bentuk warning agar pedagang tidak mainmain dengan pemerintah. Menurut Menteri Gobel, kenaikan harga beras saat ini tidak wajar. Kenaikan harga beras di Jakarta dipicu motif bisnis. Para mafia memainkan harga beras agar pemerintah terpaksa membuka keran impor sehingga bisa mengeruk untung besar.

Gobel tentu punya alasan kuat karena bukan mustahil kenaikan harga sengaja dibuat atau kelangkaan semua guna memburu rente. Sebab harga beras Thailand dan Vietnam setara beras medium di pasar dunia hanya Rp4.000/ kg. Jika dijual di dalam negeri Rp7.400/kg, untungnya luar biasa. Gobel juga mencium kejanggalan dalam sistem distribusi beras di Jakarta.

Sejak Desembe r 2014 hingga Januari 2015, Bulog menggelar operasi pasar 75.000 ton. Beras digelontorkan ke pengelola Pasar Cipinang, PT Food Station, dengan harga gudang Rp6.800. Seharusnya pedagang menjual kepada konsumen Rp7.400/kg. Namun nyatanya tidak ada pedagang yang menjual beras sebesar itu. Padahal dengan menjual Rp7.400/kg, pedagang sudah untung besar.

Gobel menduga ada yang menimbun. Di sisi lain, menurut pedagang, kenaikan harga yang anomali saat ini sesuatu yang wajar. Ini terjadi lantaran suplai menyusut karena musim paceklik masih berlangsung. Jika iklim dan cuaca normal, Februari mestinya mulai panen raya. Namun, karena hujan datang terlambat 1-1,5 bulan, panen raya baru mulai akhir Maret.

Indikatornya bisa dideteksi dari jumlah beras yang masuk ke Pasar Beras Induk Cipinang. Dalam keadaan normal, beras yang masuk berjumlah 3.000 ton, saat ini menyusut 50% (1.500 ton). Karena itu, tidak benar kelangkaan akibat ulah mafia beras, tapi karena pasokan menipis. Apa pun penyebabnya, tidak pada tempatnya terus berwacana.

Negara harus hadir untuk menstabilkan komoditas super penting itu. Ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama , jika jatah beras untuk warga miskin (raskin) bulan Februari belum dibagikan, pemerintah mesti segera membagikannya. Bila harga beras di pasaran masih ada tren naik, pemerintah harus memperbesar volume raskin. Jatah raskin bulan-bulan berikutnya bisa dibagikan pada Februari ini.

Musim paceklik merupakan saat tepat membagikan raskin. Jatah raskin 15 kg per keluarga pada 15,5 juta keluarga akan mengurangi perburuan warga terhadap beras. Berkurangnya perburuan beras akan menekan ekskalasi kenaikan harga. Kedua, mengefektifkan operasi pasar. Caranya ada dua: menggandeng pedagang dan menjual langsung di lokasi-lokasi sasaran.

Pedagang perlu digandeng agar pasokan beras di pasar tetap terjaga. Agar tidak dioplos dan dijual sesuai ketentuan, pedagang perlu diikat dengan perjanjian dan diawasi ketat. Selain itu, Bulog bisa menggelar operasi pasar langsung di kantong-kantong kemiskinan seperti pabrik dan permukiman kumuh.

Dengan harga yang menarik bisa dipastikan operasi pasar akan menarik mereka untuk membeli. Agar tidak jadi misteri, pemerintah dan aparat harus bekerja sama menyeret mafia atau kartel beras ke meja hijau. UU Nomor 7/2014 tentang Perdagangan memberikan wewenang penuh kepada pemerintah untuk menindak perilaku culas seperti manipulasi informasi dan penimbunan persediaan bahan pokok (Pasal 30 dan Pasal 29 ayat 1).

Bahkan menghukum perilaku itu dengan pidana berat: penjara 5 tahun atau denda Rp50 miliar bagi penimbun dan penjara 4 tahun atau denda Rp10 miliar bagi pelaku manipulasi data dan informasi persediaan bahan kebutuhan pokok.

Pada UU Nomor 18/2012 tentang Pangan, sanksinya lebih keras: penimbun bisa dipidana penjara 7 tahun atau denda Rp100 miliar (Pasal 133). Kalau mereka bisa diseret ke meja hijau, mafia beras tak lagi misteri.

Kewajiban Jadi Bumerang

Kewajiban Jadi Bumerang

Hikmahanto Juwana ;  Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia
KOMPAS, 28 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

Setiap negara mempunyai kewajiban melindungi warganya ketika berada di luar negeri. Dalam hukum internasional, kewajiban negara terhadap warganya ini disebut diplomatic protection. Kewajiban untuk melindungi warga tentunya bukan untuk membela atau membenarkan kejahatan yang dilakukan oleh warganya. Pelaksanaan kewajiban ini juga tidak boleh sampai derajat mengintervensi kedaulatan negara.

Bukan anti hukuman mati

Australia melakukan berbagai upaya agar dua warganya, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, tak dihukum mati bukan karena negara itu anti terhadap hukuman mati (abolisionist), melainkan karena kewajiban untuk melindungi warganya. Indikasinya adalah ketika pelaksanaan hukuman mati terhadap terpidana mati terorisme, Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra, PM Australia saat itu, Kevin Ruud, mendukungnya.

Tidak heran jika ketika warga non-Australia dihukum mati, tak ada protes dari Pemerintah Australia. Bahkan, apabila yang menjadi korban kejahatan serius adalah warga Australia, terhadap pelaku yang dihukum mati, mereka merasa keadilan telah dilaksanakan. Pemerintah Brasil pun demikian. Upaya agar Indonesia tak melaksanakan hukuman mati tidak disebabkan negara itu menentang hukuman mati mengingat hukuman mati telah lama dihapuskan di Brasil. Upaya yang dilakukan lebih dalam rangka melindungi warganya.

Hanya saja, upaya menjalankan kewajiban melindungi warganya oleh Australia dan Brasil sudah berlebihan. Ini berbeda dengan Indonesia. Ketika Ruyati, tenaga kerja Indonesia, hendak dihukum mati, Indonesia melakukan berbagai upaya. Presiden SBY pun melayangkan surat kepada Raja Arab Saudi. Namun, ketika permohonan ditolak, Indonesia pun paham kedaulatan negara Arab Saudi tidak mungkin diintervensi.

Tidak demikian dengan Australia. Pemerintah Australia melalui Menlu Julie Bishop telah melakukan ”ancaman” halus dengan menyampaikan kekhawatirannya apabila Indonesia melaksanakan hukuman mati, warga Australia yang ke Indonesia akan menurun. Pernyataan ini disampaikan atas pemikiran adanya ketergantungan Indonesia terhadap wisatawan Australia ke Pulau Dewata.

Belum lagi Sekjen PBB Ban Ki-moon turut bersuara. Ban Ki-moon mengatakan, Indonesia sebaiknya membatalkan pelaksanaan hukuman mati. Bahkan, dinyatakan hukuman mati ditentang oleh PBB. Pernyataan Ban Ki-moon diduga atas permintaan Australia. Hal ini mengingat Ban Ki-moon tak bersuara ketika Ruyati dihukum mati di Arab Saudi. Juga tak bersuara ketika Amrozi dkk menjalani hukuman mati.

Pernyataan Ban Ki-moon yang mengatakan PBB menentang hukuman mati juga janggal. Ini karena PBB bukanlah pemerintahan dunia. Hingga sekarang, sejumlah anggota PBB masih menganut sanksi hukuman mati, seperti Malaysia, Singapura, dan di sejumlah negara bagian di AS. Upaya Pemerintah Australia melibatkan Ban Ki-moon agar Indonesia menganggapnya sebagai representasi dunia. Pada gilirannya, Indonesia diharapkan berubah pikiran karena kekhawatiran tekanan dari dunia.

Sayang, upaya ini gagal karena masih banyak orang cerdas di republik ini. Terakhir, upaya Australia berupa pernyataan PM Australia Tony Abbott yang mengaitkan bantuan Australia setelah tsunami di Aceh. Bantuan Australia ketika Indonesia menghadapi kesulitan setelah tsunami diharapkan dapat dibalas (reciprocate) dengan bantuan Indonesia saat Australia menghadapi kesulitan atas dua warganya yang akan menjalani hukuman mati.

Pernyataan Abbott ini telah menyinggung semua pihak di Indonesia, mulai dari pejabat, politisi, hingga yang terpenting adalah masyarakat, termasuk masyarakat di Aceh. Gerakan coin for Abbott merupakan cerminan ketersinggungan publik. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menyatakan, pemerintah siap mengembalikan bantuan yang pernah diberikan Australia.

Berlebihan

Upaya yang dilakukan Brasil pun berlebihan. Presiden Brasil Dilma Rousseff secara tiba-tiba menunda penerimaan surat kepercayaan Duta Besar RI Toto Riyanto. Padahal, Toto telah berada di istana kepresidenan dan dijemput sesuai dengan keprotokolan yang berlaku. Penundaan ini kemungkinan disebabkan oleh emosi pribadi Rousseff yang kemudian diwujudkan dalam tindakannya sebagai seorang presiden. Secara pribadi bisa dipahami apabila Rousseff kecewa karena permintaannya agar warganya diberi ampunan ditolak Presiden Joko Widodo.

Tindakan berlebihan Presiden Dilma sejatinya merupakan pelecehan terhadap negara, pemerintah, dan bangsa Indonesia. Ini mengingat Dubes Toto saat hendak menyampaikan surat kepercayaan merupakan perwakilan dari negara, pemerintah, dan bangsa Indonesia.

Pemerintah patut diapresiasi karena telah bertindak secara tegas, tepat, dan cepat dengan meminta Dubes Toto kembali ke Indonesia untuk berkonsultasi. Dubes Brasil untuk Indonesia pun telah dipanggil oleh Kementerian Luar Negeri. Pemerintah RI telah menyampaikan protes kerasnya atas perlakuan terhadap Dubes Toto. Saat ini pemerintah tak mungkin mengembalikan Toto Riyanto ke posnya apabila tidak ada permintaan maaf dari Presiden Rousseff.

Upaya berlebihan untuk melindungi warganya yang berlebihan dari Australia dan Brasil telah merusak hubungan yang telah lama terjalin dan saling menguntungkan. Dari kacamata Indonesia wajar apabila pertanyaan muncul, apa yang menjadi halistimewa dari warga Australia dan Brasil untuk menjalani hukuman mati hingga mempertaruhkan hubungan antarnegara? Tidakkah mereka menyadari bahwa warganya telah divonis melakukan kejahatan yang serius bagi bangsa ini?

Kalaulah Australia dan Brasil merupakan pemerintahan abolitionist, mengapa mereka membiarkan pelaksanaan hukuman mati yang bukan warganya? Indonesia melalui pernyataan Presiden Jokowi tidak bergeming dengan berbagai manuver dari Pemerintah Australia dan Brasil. Justru berbagai manuver itu mengukuhkan kebijakannya untuk melaksanakan hukuman mati. Dalam jumpa pers setelah pertemuan dengan Toto Riyanto, Jokowi dua kali menegaskan agar negara lain tak sekali-kali melakukan intervensi atas kedaulatan hukum Indonesia.

Kejaksaan Agung sebagai eksekutor putusan hukuman mati saat ini mendapat dukungan dari rakyat karena dua hal. Pertama, karena pelaksanaan hukuman mati dilakukan terhadap pelaku kejahatan yang menjadi musuh bersama, yaitu narkotika dan obat-obat berbahaya (narkoba). Kedua, pelaksanaan hukuman mati didukung karena mayoritas publik marah dengan manuver berlebihan yang dilakukan PM dan Menlu Australia serta pelecehan yang dilakukan Presiden Brasil.

Bagi sebagian besar rakyat di Indonesia, manuver Australia dan Brasil sudah masuk dalam kategori intervensi terhadap kedaulatan hukum Indonesia. Manuver Australia dan Brasil yang berlebihan dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi warganya ternyata telah menjadi bumerang, bahkan rusaknya hubungan antarnegara.

Optimisme APBN Perubahan 2015

Optimisme APBN Perubahan 2015

Anton Hendranata ;  Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia Tbk
KOMPAS, 28 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

APBN Perubahan 2015 sebagai APBN pertama pemerintahan Jokowi-JK merupakan titik krusial dan fondasi awal pemerintah untuk mencapai Sembilan Agenda Prioritas (Nawa Cita) yang diimpikan.

Dalam Nawa Cita ada dua agenda prioritas yang kental nuansa ekonominya, yaitu (1) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional dan (2) mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Aura optimisme APBN-P 2015 terlihat dari asumsi pertumbuhan ekonomi 5,7 persen di 2015, padahal prediksi para ekonom dan analis hanya 5,35 persen. Saya kira wajar pemerintah harus optimistis, apalagi ada target sangat tinggi dari pemerintahan Jokowi-JK untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 7 persen, hanya dalam tempo tiga tahun.

Dalam dua tahun terakhir, asumsi pertumbuhan pemerintah di APBN selalu tak tercapai. Pertumbuhan aktual jauh lebih rendah dari target. Pertumbuhan ekonomi 2013 hanya 5,6 persen, sedangkan di APBN, asumsi pertumbuhan 6,3 persen. Begitu pula tahun 2014, asumsi pertumbuhan 5,5 persen, tetapi realisasinya hanya 5,0 persen.

Ruang fiskal

Dalam APBN sebelumnya, ruang fiskal sangat sempit karena subsidi BBM sangat besar, Rp 200 triliun-Rp 250 triliun. Tahun ini, ruang fiskal cukup besar karena pemerintah berhasil mencabut subsidi bensin dan hanya memberikan subsidi tetap untuk solar. Realokasi pengeluaran dana subsidi ini memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk menaikkan pengeluaran kapitalnya secara signifikan guna mendorong perbaikan infrastruktur (jalan, jembatan, irigasi, pelabuhan, dan lain-lain) sehingga mampu menyangga pertumbuhan yang dicanangkan.

Agresivitas pemerintahan Jokowi-JK juga terefleksi dari tingginya asumsi pertumbuhan konsumsi pemerintah, 4,2 persen, hampir dua kali lipat dibanding 2014 yang 2,4 persen. Begitu juga pertumbuhan investasi 8,1 persen, dari 4,9 persen 2014. Dari sisi sektoral, yang mendapat perhatian khusus adalah (1) pengadaan listrik dan gas, (2) pengadaan air, (3) transportasi dan pengangkutan, dan (4) industri pengolahan.

Optimisme pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi akan membuat segenap jajaran pemerintah bekerja keras untuk mencapainya. Namun, ada yang harus diwaspadai ketika target pertumbuhan tak tercapai. Pendapatan negara akan turun, terutama dari penerimaan pajak.

Turunnya pendapatan mengakibatkan belanja negara akan dikurangi. Pengurangan belanja negara secara signifikan biasanya tak mudah, akibatnya defisit APBN bisa bertambah. Berdasarkan analisis sensitivitas RAPBN-P 2015, ketika pertumbuhan ekonomi turun 0,1 persen, maka defisit akan naik sekitar Rp 0,95 triliun. Ini berarti, jika pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,7 persen dan ternyata realisasinya hanya sekitar 5,3 persen, maka defisit akan naik sekitar Rp 3,8 triliun.

Dari sisi inflasi, asumsi pemerintah lebih pesimistis dibandingkan prediksi para ekonom dan analis. Pemerintah memperkirakan 5 persen pada 2015, sedangkan pelaku pasar 3,5-4,5 persen. Tingginya inflasi pemerintah disebabkan oleh beberapa kemungkinan risiko, yaitu kenaikan harga minyak dunia di atas 60 dollar AS/barrel (saat ini berkisar 50 dollar AS/barrel). Hal ini berarti ada kemungkinan harga BBM akan naik yang akan mendorong kenaikan inflasi.

Selain itu, melihat keberanian pemerintah menghapus subsidi bensin, ada peluang pemerintah terus berupaya mengurangi subsidi listrik untuk RT 3.500 VA ke bawah dan subsidi elpiji 3 kilogram. Sebenarnya, kenaikan tarif listrik untuk 1.300 VA dan 2.200 VA pernah diusulkan kenaikannya per 1 Januari 2015, tetapi ditunda pelaksanaannya. Jika hal ini berjalan mulus dan tak menimbulkan kegaduhan politik dan sosial, maka akan ada tambahan dana lagi dari pengurangan subsidi listrik dan elpiji.

Oleh karena itu, ruang fiskal pemerintah makin besar lagi, di mana sebelumnya sudah ada tabungan dari pencabutan subsidi bensin dan subsidi tetap untuk solar. Namun, menurut perkiraan kami, agaknya skenario ini sulit dilakukan tahun ini (terutama untuk elpiji 3 kilogram), karena sangat rentan terhadap penolakan dari masyarakat. Kondisi ekonomi kita pun (terutama pasar finansial dan valas) sangat rentan dengan kondisi global yang masih tak menentu.

Pertumbuhan ekonomi global cenderung direvisi ke bawah, kecuali AS. Hanya AS yang diharapkan jadi motor pemulihan ekonomi global, dimana pemulihannya belum terlalu solid. Data ekonomi AS cenderung belum stabil, terutama inflasi yang menurun di bawah 1 persen (target The Fed 2 persen). Kondisi ini meningkatkan ketidakpastian, kapan dan berapa besar AS akan menaikkan suku bunganya tahun ini? Akibatnya, pasar finansial dan valas menjadi sangat rentan bergejolak, termasuk rupiah.

Pemerintah tampaknya sudah mengantisipasi ini. Hal ini terlihat dari asumsi nilai tukar rupiah yang lebih lemah menjadi Rp 12.500 dari Rp 12.200 (asumsi sebelumnya Rp 11.900) per dollar AS. Menarik untuk disimak, dalam analisis sensitivitas, ternyata pelemahan rupiah berdampak positif ke anggaran (tambahan surplus). Kelihatannya ini tidak masuk akal dan sulit dimengerti. Dalam APBN beberapa tahun sebelumnya, ketika rupiah melemah, defisit anggaran pemerintah membengkak. Penyebab utamanya adalah pembengkakan subsidi BBM karena Indonesia importir neto minyak.

Di era pemerintahan Jokowi-JK, pelemahan rupiah tak menyebabkan subsidi BBM meningkat tajam karena hanya solar yang diberikan subsidi tetap. Oleh karena itu, wajar ketika rupiah melemah, pendapatan pemerintah naik lebih tinggi dibandingkan pengeluarannya dan bisa menaikkan surplus anggaran Rp 2,0 triliun-Rp 2,7 triliun untuk setiap pelemahan rupiah sebesar Rp 100 per dollar AS.

Kekhawatiran pemerintah akan kenaikan suku bunga acuan AS pada tahun ini terlihat dari tingginya asumsi suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan sebesar 6,2 persen. Tampaknya, asumsi ini terlalu tinggi mengingat imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun sudah berada di bawah 7 persen. Perkiraan kami, untuk obligasi pemerintah 10 tahun bisa berada di kisaran 6,75-7,25 persen. Ini artinya, suku bunga SPN 3 bulan bisa lebih rendah dari 6,2 persen. Tingginya asumsi suku bunga SPN 3 bulan seharusnya tak menjadi masalah dari sisi pengeluaran negara. Ada potensi suku bunga SPN 3 bulan lebih rendah 6,2 persen dan ini artinya pengeluaran pemerintah untuk membayar bunga menjadi berkurang.

Masih ada tiga asumsi yang tak kalah penting, yaitu (1) harga minyak mentah Indonesia (ICP), (2) lifting minyak bumi, dan (3) lifting gas bumi. Ketiga asumsi ini berkaitan erat dengan pendapatan negara bukan pajak (PNBP), terutama pendapatan sumber daya alam terutama migas bumi.

Perlu kerja keras

Seiring pemulihan ekonomi global yang relatif lambat, wajar kalau tren harga minyak dunia mengalami penurunan. Dan ini berakibat harga ICP pun turun drastis. Oleh karena itu, pemerintah pun menurunkan asumsi harga ICP menjadi 60 dollar AS dari 70 dollar AS/barrel (bahkan sebelumnya pernah diusulkan 105 dollar AS/barrel). Angka ini cukup realistis mengingat harga minyak dunia di bawah 50 dollar AS/barrel diperkirakan tak akan berlangsung lama.

Berkaitan dengan lifting minyak, setelah mengalami peningkatan selama periode 2009-2010, lifting mengalami penurunan selama periode 2011-2014. Salah satu faktor penyebabnya, penurunan produksi secara alamiah, dan lapangan minyak baru seperti Blok Cepu belum berproduksi maksimal. Dengan tren penurunan lifting yang terus berlanjut, wajar pemerintah menurunkan asumsi lifting minyak bumi menjadi 825.000 barrel per hari (bph) dari 849.000 bph.

Asumsi lifting di APBN-P 2015 ini jauh lebih realistis dibandingkan asumsi APBN beberapa tahun sebelumnya. Pada APBN 2014, selalu saja asumsi lifting minyak terlalu tinggi dan akhirnya tak pernah tercapai. Untuk lifting gas bumi, pemerintah lebih optimistis dengan menaikkan asumsi lifting menjadi 1.221 ribu barrel setara minyak dari 1.177 barrel setara minyak per hari.

Secara keseluruhan, asumsi makro APBN-P 2015 cukup realistis, hanya target pertumbuhan ekonomi sangat optimistis. Pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk mewujudkannya.