Momentum
Revisi UU KPK
Romli Atmasasmita ; Guru Besar (Emeritus)
Universitas Padjadjaran
|
KORAN
SINDO, 20 Februari 2015
Peristiwa demi peristiwa yang melibatkan pimpinan KPK
Jilid III dalam tindak pidana sebagaimana diungkap Bareskrim semakin
mendekati kenyataan. Kondisi saat ini merupakan peristiwa kedua kali setelah
peristiwa ”cicak versus buaya”.
Kendati demikian, mayoritas masyarakat khususnya lembaga
swadaya masyarakat (LSM) antikorupsi tidak percaya dan bahkan menuding
sebagai bentuk kriminalisasi dan pelemahan terhadap KPK. Jika objektif dan
jernih mengamati penetapan tersangka untuk BW dan AS, penulis berpendapat bahwa
ada perbedaan. BW diduga telah melakukan perbuatan ”menyuruh
melakukan saksi-saksi untuk memberikan keterangan tidak benar di dalam sidang
MK”, ketika dalam kedudukan sebagai penasihat hukum suatu perkara.
Sedangkan AS justru diduga telah
menyuruh (..?)
melakukan tindak pidana pemalsuan surat dalam posisi sebelum menjadi pimpinan
KPK. Dari tempus delicti kedua-duanya bukan pimpinan KPK sehingga tidaklah
tepat jika dikatakan bahwa penetapan tersangka bagi BW dan AS mutatis mutandis pelemahan terhadap
KPK. Penulis bertanya-tanya, siapa yang melemahkan siapa jika tempus dan locus delicti peristiwa terkait dugaan tindak pidana oleh dua
pimpinan KPK Jilid III tersebut belum berstatus pimpinan KPK?
Penulis sebagai ahli hukum dan pengamat
terhadap kinerja KPK sejak Jilid I sampai Jilid III saat ini telah
memperkirakan peristiwa ini bakal terjadi. Ini didasarkan beberapa alasan.
Pertama, pimpinan KPK Jilid III tidak terbuka dan
komunikatif terhadap para ahli hukum pidana kecuali terhadap ahli hukum
pidana yang selalu ”membenarkan” tindakan mereka tanpa reserve.
Kedua, penolakan permintaan
audiensi para pengurus pusat Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi
(Mahupiki) yang diinisiasi oleh para guru besar hukum pidana, tidak pernah direspons
dengan baik. Bahkan ada permintaan tersebut ada kesan diabaikan,
sedangkan maksud audiensi untuk memberikan masukkan yang dipandang dapat
membantu kinerja mereka.
Ketiga, pimpinan KPK telah
buta terhadap kritik para ahli hukum pidana karena telah telanjur memperoleh
sanjungan yang luar biasa dari kelompok LSM antikorupsi bahwa apa pun
tindakan hukum yang dilakukannya telah ”on
the right track” dan selalu benar. Sedangkan pihak-pihak yang
berpendapat lain dipandang apriori tidak benar, bahkan dimasukkan ke dalam
kelompok anti-KPK dan antipemberantasan korupsi.
Keempat, pimpinan KPK dan
kelompok pendukung fanatiknya lupa dan tidak menyadari bahwa tidak ada
manusia yang sekelas malaikat di dunia ini. Karena itu, selalu terbuka
kelemahan-kelemahan yang hanya dapat dirasakan oleh manusia yang memiliki
keimanan yang kuat dan rendah diri serta mau mendengar nasihat orang lain,
apalagi orang yang lebih tua dan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang
lebih banyak dari mereka.
Kelima, yang sangat memprihatinkan adalah sikap pimpinan KPK yang mencerminkan bahwa hanya
merekalah yang paling mengetahui filosofi, visi, dan misi UU KPK dari orang
lain sekalipun terhadap penyusun dan inisiator UU KPK itu sendiri.
Sedangkan tindakan hukum yang dipandang benar oleh lima pimpinan KPK dari
sudut ahli hukum pidana ternyata tidak selamanya menaati asas-asas hukum dan
norma-norma serta tidak memahami nilai-nilai yang berada di balik norma-norma
tersebut.
Keenam, ada pandangan keliru
dari pimpinan KPK entah masukan ahli hukum pidana siapa yang beranggapan bahwa UU KPK adalah lex specialis untuk semua tindakan
hukum yang telah ditentukan di dalam KUHAP. Sedangkan sejatinya (jika
benar dipahami) UU KPK hanyalah bersifat lex
specialis khusus terhadap proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
semata-mata bukan pada status penyelidik, penyidik, dan penuntut.
Apalagi KPK dipandang sebagai ”regulatory body”, suatu pandangan keliru tentang status
”independen” yang melekat pada KPK sehingga menjadi tidak tepat jika dirujuk
pada Pasal 3 UU KPK. Pandangan tersebut bahkan menjadi tidak tepat jika
disimak teliti Penjelasan Umum UU KPK khusus alinea pertama sampai alinea
ketiga (halaman 26) antara lain dicantumkan, ”bahwa KPK memiliki fungsi ‘trigger mechanism’ mendorong institusi
kepolisian dan kejaksaan menjadi efektif; dapat menyusun jaringan kerja yang
kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada (kepolisian dan kejaksaan)
sebagai ‘counterpartner’ yang kondusif; dan KPK tidak memonopoli tugas dan
wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tipikor.
Ketujuh, pimpinan KPK telah
melupakan atau mengabaikan berlakunya UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan yang telah disahkan dan berlaku pada 17 Oktober
2014. Karena terhitung sejak pemberlakuan UU tersebut, aparatur
penegak hukum termasuk pimpinan KPK sebagai pejabat publik wajib mematuhi
ketentuan larangan penyalahgunaan wewenang (Pasal 17 hingga Pasal 20).
Dalam kaitan hal tersebut, seyogianya ketentuan mengenai
praperadilan yang terbatas pada lingkup kewenangan untuk memutuskan keabsahan
lima alasan permohonan praperadilan, di masa yang akan datang diselesaikan
melalui sarana hukum peradilan administrasi negara sejalan dengan
undang-undang tersebut.
Dengan begitu, dapat diwujudkan tuntutan penghormatan dan
perlindungan hak asasi setiap orang yang telah dicantumkan dalam UUD 1945 dan
ketentuan Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak
Politik, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dengan UU RI Nomor 12
Tahun 2005 dan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Momentum
peristiwa-peristiwa yang melibatkan pimpinan KPK saat ini terlepas dari ”kriminalisasi”
atau bukan yang akan dan harus diuji pada sidang pengadilan yang terbuka dan
dibuka untuk umum menekankan bahwa kondisi sangat mendesak agar pemerintah
dan DPR RI melakukan revisi terhadap UU KPK yang bersifat terbatas.
Harapan saya adalah revisi sungguh-sungguh mencermati
pasal-pasal UU KPK yang rentan terhadap pelanggaran HAM dan memberikan
rambu-rambu hukum yang dapat mempertahankan asas proporsionalitas dan asas
akuntabilitas KPK dalam tindakan hukum penyelidikan dan penyidikan.
Salah satu yang pernah saya usulkan adalah pembentukan Dewan Pengawas
untuk menggantikan posisi penasihat KPK yang selama ini tidak efektif
sebagaimana diharapkan awal penyusunan UU KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar