Polemik
Praperadilan Sebagai Urgensi Revisi KUHAP
Reda Manthovani ; Atase Kejaksaan
di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Hong Kong
|
DETIKNEWS,
20 Februari 2015
Putusan Praperadilan yang dikeluarkan oleh Hakim Sarpin
Rizaldi pada tanggal 16 Februari 2015 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
atas permohonan Budi Gunawan menjadi trending topik pembicaraan dalam
berbagai media di Indonesia. Putusan tersebut menyatakan penetapan tersangka
Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sah dan tidak
berdasar atas hukum. Putusan tersebut menarik untuk dibahas namun sebelum
membahasnya perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan
Pra Peradilan dan kewenangannya. Berdasarkan Pasal 1 butir 10 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana Praperadilan memiliki wewenang untuk memeriksa dan
memutus:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan,
atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang
berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepntingan demi tegaknya hukum
dan keadilan dan;
3. Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan
ke pengadilan selain putusan Praperadilan atas permohonan Budi Gunawan di
atas.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pernah mengabulkan
permohonan serupa yaitu atas penetapan status tersangka oleh penyidik
Kejaksaan Agung RI yang dilakukan oleh Bachtiar Abdul Fatah (tersangka kasus
proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia). Pada 27 September 2012
hakim tunggal Suko Harsono memutus penetapan tersangka Bachtiar tidak sah.
Namun Kejaksaan tidak mengindahkan putusan praperadilan itu dan Bachtiar
tetap diproses dan diadili ke Pengadilan Tipikor.
Selain itu ada permohonan lainnya yaitu gugatan
praperadilan atas status tersangka Toto Chandra. Pimpinan perusahaan Permata
Hijau Group itu ditetapkan sebagai tersangka oleh Ditjen Pajak pada 2009. Tak
terima dengan penetapan tersangka ini, Toto lalu menggugat dengan mengajukan
praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Agustus 2014. Hakim
tunggal M Razzad mengabulkan permohonan tersebut dan membatalkan penetapan
tersangka oleh Ditjen Pajak.2
Putusan Pra Peradilan oleh Hakim Sarpin Rizaldi atas
permohonan Budi Gunawan, oleh Hakim Suko Harsono atas permohonan Bachtiar
Abdul Fatah dan oleh Hakim M Razzad atas permohonan Toto Chandra telah
memposisikan Hakim Praperadilan sebagai Hakim Komisaris (Hakim Pemeriksa
Pendahuluan) seperti di Belanda, le
Juge de la Liberte; et de la De;tention di Prancis (Civil Law System) atau Hakim pada Magistrates Court seperti di Amerika Serikat dan Hong Kong (Common Law System).
Menurut hemat penulis, beberapa catatan putusan
Praperadilan tersebut di atas telah memutuskan hal yang hampir sama yaitu
tidak sahnya suatu penyidikan namun putusan-putusan tersebut belum dapat
dijadikan sebagai jurisprudensi tapi putusan-putusan tersebut dapat
digambarkan sebagai fenomena hakim yang berupaya memposisikan dirinya sebagai
wasit sejak awal perkara yang selalu memonitor pelaksanaan upaya paksa oleh
penyidik.
Dengan demikian, sebaiknya hindari mencaci dan menghina
Hakim Sarpin Rizaldi atas putusan yang telah dikeluarkan. Namun jadikanlah
putusan tersebut sebagai momentum bagi masyarakat untuk memahami bahwa KUHAP
tidak memiliki check and balance system
atas tindakan penyidik. Mengapa? Oleh karena KUHAP tidak mengenal mekanisme
pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak menerapkan prinsip
pengecualian (exclusionary) atas
alat bukti yang diperoleh secara tidak sah.
Di Amerika Serikat contoh mekanisme pengujian terhadap
keabsahan perolehan alat bukti dapat dilihat dalam kasus Dominique Straus
Kahn yang dituduh melakukan perkosaan terhadap Nafissatou Diallo di Hotel
Manhattan New York pada tahun 2011. Kasus tersebut akhirnya dibatalkan pada
Agustus 2011 di Magistrates Court
New York, setelah adanya keraguan terhadap kredibilitas saksi korban,
termasuk kesaksiannya yang tidak konsisten tentang apa yang terjadi.
Apa yang melatarbelakangi alat bukti harus diuji keabsahan
perolehannya? Menurut Paul Roberts dan Adrian Zuckerman, ada tiga prinsip
yang mendasari perlunya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat
bukti yaitu :
Pertama, rights
protection by the state. Terkadang upaya dari penyelidik atau penyidik
dalam upaya menemukan alat bukti terkadang dilakukan dengan melanggar hak
asasi calon tersangka atau tersangka. Dalam rangka mengembalikan atau
mempertahankan hak yang sudah dilanggar maka diperlukan suatu mekanisme
pengujian perolehan alat bukti untuk mengetahui dan memastikan apakah alat
bukti tersebut sudah benar-benar diambil secara sah.
Kedua, deterrence
(disciplining the police).
Pengesampingan atau pengecualian alat bukti yang diambil atau diperoleh
secara tidak sah, akan mencegah/ menghalangi para penyidik maupun penuntut
umum mengulangi kembali kesalahan mereka di masa mendatang. Apabila hakim
secara rutin mengecualikan/mengesampingkan alat bukti yang di dapat secara
tidak sah tersebut, maka hal itu menjadi pesan yang sangat jelas kepada
aparat penegak hukum bahwa tidak ada manfaatnya yang bisa di ambil dari
melanggar hukum, kemudian motivasi dari aparat untuk melanggar hukum akan
menurun drastis.
Ketiga, the
legitimacy of the verdict. Dalam proses acara pidana diperlukan suatu
sistem yang dapat dipercaya sehingga masyarakat yakin terhadap sistem hukum
atau sistem peradilannya. Apabila hakim sudah terbiasa memaklumi aparat
penyidik dan penuntut umum menyajikan alat bukti yang di dapat secara tidak
sah, maka sistem hukum tersebut akan diragukan legitimasinya dan masyarakat
akan segera mengurangi rasa hormatnya.
Dengan demikian Putusan Pra Peradilan oleh Hakim Sarpin Rizaldi,
Hakim Suko Harsono dan Hakim M Razzad menjadi pembelajaran bagi masyarakat
Indonesia bahwa Hukum Acara Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due process of law secara utuh, oleh
karena tindakan aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti
tidak dapat dilakukan pengujian keabsahan perolehannya.
Sebenarnya Indonesia sedang berupaya memperbaiki celah
hukum tersebut dengan memperbaikinya dalam RUU KUHAP Pasal 111 ayat (1) huruf
a. RUU KUHAP yang memperkenalkan konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan, sehingga
segala tindakan penyidik dapat dikontrol oleh hakim pemeriksa pendahuluan.
Namun langkah
perbaikan hukum acara melalui revisi KUHAP dianggap sebagai bentuk pelemahan
KPK, padahal terbukti dengan KUHAP saat ini KPK malah dibuat lemah.
Perbaikan hukum acara pidana yang berlaku saat ini sangat
diperlukan dan hindari memandang revisi KUHAP sebagai salah satu bentuk pelemahan KPK
dan prokorupsi sebagaimana dikumandangkan oleh aktivis LSM di media
massa di tahun 2014 lalu. Untuk perbaikan ke depan dan polemik putusan Pra
Peradilan tidak terulang kembali sebaiknya RUU KUHAP yang sudah disampaikan
ke DPR sejak Desember 2013 segera dibahas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar