Sabtu, 21 Februari 2015

Industri Penggilingan Padi dan ASEAN

Industri Penggilingan Padi dan ASEAN

M Husein Sawit  ;  Ketua Forum Komunikasi Profesor Riset  Kementerian Pertanian
KOMPAS, 21 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Pada akhir 2015, semua negara ASEAN harus meliberalisasi perdagangan, salah satunya adalah barang, seperti yang disepakati dalam perjanjian ASEAN Trade in Goods Agreement. Komoditas beras adalah salah satu barang yang akan diliberalisasi. Selama ini, beras masuk kelompok barang highly sensitive list sehingga Indonesia dapat memproteksinya dengan hambatan perdagangan seperti tarif dan nontarif. Indonesia menerapkan tarif sebesar Rp 450 per kilogram, kuota impor dan monopoli impor beras oleh Bulog.

Pada saat pasar tunggal ASEAN diberlakukan, petani sebagai produsen padi dan pengusaha penggilingan padi (PP) sebagai produsen beras harus siap bersaing dengan beras impor yang harganya lebih murah dan kualitasnya lebih baik, terutama beras dari Vietnam dan Thailand. Mengapa industri PP kita kurang mampu menghasilkan beras berkualitas dengan harga murah?

Sejak lama, PP di Indonesia didominasi penggilingan padi kecil (PPK) dan sederhana. PP jenis ini tak mampu menghasilkan beras kualitas baik dengan ongkos rendah. Hasil sensus PP BPS pada 2012 mengungkapkan jumlah PP mencapai 182.000 unit. Pangsa penggilingan padi besar (PPB) sangat sedikit hanya 8 persen dari total kapasitas giling. Sebaliknya, pangsa PPK sangat banyak, 80 persen dari total kapasitas giling terpasang.

PPK dan penggilingan padi keliling (PPKL) terus bertambah tanpa kendali. Jumlah PPKL mencapai 11 persen dari jumlah keseluruhan PP. Di beberapa kabupaten, jumlah PPKL lebih banyak dibandingkan dengan jumlah PP tetap. Keberadaan PPKL telah melabrak sejumlah peraturan, seperti lalu lintas, perpajakan, merugikan karena rendemen giling dan derajat sosoh rendah, butir patah tinggi, kualitas beras menjadi rendah. Keberadaan PPKL seperti layaknya keberadaan pedagang kaki lima di kota-kota besar, lebih banyak merugikan daripada bermanfaat buat masyarakat luas dan ekonomi nasional.

Sekarang, produksi gabah lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan gabah sesuai dengan kapasitas giling PP. Karena itulah, 40 persen PP menyatakan urutan teratas kesulitan mereka adalah bahan baku gabah, disusul modal (28 persen). Hal itu berdampak pada kapasitas telantar PPB (10 persen) dan tertinggi PPK (17 persen). Sebagian besar PPK hanya mampu menggiling padi 3-4 bulan per tahun, sisa waktunya 8-9 bulan berhenti giling sehingga mereka harus menanggung beban biaya tetap. Angka kapasitas telantar yang tinggi dapat dipakai sebagai salah satu indikasi tingkat inefisiensi pada usaha PPK.

Dampak dominasi PPKL

Manakala PPK dan PPKL mendominasi jumlah PP, itu telah menghambat upaya pengurangan kehilangan hasil pada tahap pengeringan/penggilingan, rendahnya rendemen giling, serta telah mempersulit upaya peningkatan kualitas beras dan efisiensi yang berdampak pada peningkatan biaya produksi beras dan harga beras menjadi mahal.

Dominasi jumlah PPK juga berdampak pada hasil by product (sekam, katul, menir) yang kurang bermutu sehingga menjadi salah satu kendala kurang berkembang industri hilir modern, seperti rice bran oil, semen, dan keramik. Sejumlah kebijakan perberasan menjadi salah satu faktor penghambat modernisasi pada industri PP untuk skala usaha PPK, misalnya program revitalisasi PP sejak 2012. Program ini di samping cakupannya sempit—hanya sejumlah kecil PPK yang dapat bantuan alat/ mesin dari pemerintah—sejumlah PPK yang kurang berminat juga memperolehnya sehingga bantuan tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal.

Tanpa langkah berani, hampir dipastikan keinginan Presiden untuk tidak mengimpor beras akan sulit diwujudkan. Langkah berani yang perlu ditempuh, pertama, hentikan program belas kasih pemberian alat/mesin untuk PPK seperti sekarang ini. Sebaiknya pemerintah merancang insentif keringanan pajak, skim kredit dengan suku bunga dan persyaratan ringan dalam periode misalnya selama 10 tahun, sehingga terbuka peluang untuk semua PPK yang berminat dan bersedia menggunakan alat pengeringan mekanis (dryers) dan kelengkapan alat/mesin penggilingan.

Kedua, jumlah PPK harus diperketat persyaratan perizinannya. Penggunaan dryers dan kelengkapan alat/mesin penggilingan perlu dijadikan sebagai salah satu syarat dalam perpanjangan izin usaha PPK. Ketiga, usaha PPKL perlu ditutup dalam jangka waktu tertentu, misalnya dalam periode lima tahun mendatang.

Keempat, keberadaan PPB harus mampu mendorong perbaikan kualitas beras yang dihasilkan oleh PPK. Salah satu caranya adalah PPK hanya memproduksi beras pecah kulit, selanjutnya beras pecah kulit diolah oleh PPB. PPB akan memperoleh manfaat tambahan dari hasil ikutan yang berasal dari beras pecah kulit, terutama katul dan menir, hal tersebut harus dicari ”formulanya yang adil” agar PPK juga memperoleh bagian atas katul dan menir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar