Jumat, 20 Februari 2015

Mimpi Mobil Nasional Hendropriyono

Mimpi Mobil Nasional Hendropriyono

M Taufiqurohman  ;  Wartawan Tempo
KORAN TEMPO, 20 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Apa yang membuat seorang serdadu tua seperti Abdullah Mahmud Hendropriyono turun gunung membuat mobil nasional?  Pertanyaan ini valid karena pasar mobil di Indonesia sesungguhnya tak pernah bersahabat dengan pendatang baru. Embel-embel mobil nasional juga tak serta-merta membuat konsumen melirik merek baru tersebut.

Gempita mobil nasional ini kembali muncul saat Presiden Joko Widodo berkunjung ke Malaysia dua pekan lalu. Proyek kerja sama Proton dengan PT Adiperkasa Citra Lestari diniatkan untuk menghadirkan mobil nasional. Mimpi panjang yang gagal diwujudkan oleh presiden-presiden sebelumnya.

Publik masih mengingat cerita pahit proyek serupa pada era Orde Baru. Pada 1996, Presiden Soeharto menerbitkan Inpres No.2/1996 yang menunjuk PT Timor Putra Nusantara sebagai produsen mobil nasional. Pemilik perusahaan ini adalah Hutomo (Tommy) Mandala Putra. Timor menggandeng Kia Motors, Korea Selatan.

Mimpi punya mobil nasional pun terbayang segera terealisasi. Fasilitas bebas bea masuk dan pajak diberikan kepada Timor asalkan perusahaan ini memenuhi prasyarat komponen lokal. Produsen mobil Korea Selatan itu berjanji akan mentransfer teknologi kepada Timor.

Celaka dimulai ketika Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 42/1996 yang justru menganulir berbagai persyaratan tadi. Timor boleh mengimpor mobil utuh. Maka, 16 ribu Kia Sephia pun berganti nama menjadi  Timor.  Body dan mesinnya sama persis, hanya beda merek dan logo.

Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa meradang. Mereka memenangi gugatan di WTO. Proyek Timor tamat hanya dalam dua tahun. Berbarengan dengan itu, Indonesia dilanda krisis moneter dan IMF masuk. Gara-gara Timor pula, era liberalisasi di Indonesia pun dimulai.

Sekarang, kecurigaan mengarah ke Adiperkasa Citra Lestari tentang fasilitas apa saja yang bakal diperolehnya. Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara, yang juga Direktur Utama Adiperkasa, gesit membantah. Menurut dia, perusahaannya tak mendapatkan fasilitas apa pun dari pemerintah, alias murni swasta.

Penjelasan Hendro tak sepenuhnya menjawab keingintahuan publik soal masa depan mobil nasional yang digagasnya. Jika logika Hendro kita ikuti, pertanyaan besar akan muncul: bagaimana mungkin mobil buatan Adiperkasa bakal berjaya di Tanah Air jika penjualan Proton-perusahaan induknya-di Indonesia hanya 523 unit pada 2014?

Saya menduga kelak akan ada akrobat yang dilakukan Adiperkasa. Perusahaan ini bisa saja dengan gagah menyatakan tak akan mendapatkan fasilitas. Tapi, bagaimana dengan penjualannya kelak? Bukan tidak mungkin Adiperkasa akan "bermain" dalam proyek pengadaan mobil di instansi pemerintah.

Tanpa bantuan, baik dari pemerintah maupun mitra kerja samanya, Proton, akan sulit bagi Adiperkasa masuk ke pasar mobil nasional. Pasar nasional selama ini dikuasai oleh Jepang. Tahun lalu, tujuh merek Jepang, dipelopori Toyota, menguasai 91,3 persen pangsa pasar mobil di Indonesia. Pada 2014, tujuh "samurai" itu menjual 1,103 juta mobil dari total penjualan sebesar 1,208 juta unit.

Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa Proton? Dalam hal teknologi, rasanya Proton bukanlah yang terbaik. Proton mengadopsi teknologi Mitsubishi pada awal-awal pendiriannya, dan belakangan menggunakan Lotus. Dari sisi penjualannya, sebetulnya kita bisa menduga bahwa dalam hal teknologi Proton juga tak setara dengan pesaingnya.

Jika tak ada fasilitas, dan tak ada nilai lebih (keunggulannya), lalu buat apa Adiperkasa ingin membuat mobil nasional? Pada hakikatnya, keuntungan menjadi target utama pendirian sebuah perusahaan. Janggal rasanya jika Adiperkasa nekat masuk ke industri mobil.

Saya sebetulnya heran mengapa Hendro tak memilih Korea Selatan. Sejarah mobil negara itu jauh mengkilap ketimbang Malaysia. Kia-diakuisisi Hyundai pada 1998-tahun lalu menjual 2,9 juta unit di seluruh dunia. Bersama Hyundai, Kia kini nomor lima di dunia.

Tak ada yang menduga bahwa mobil-mobil Negeri Ginseng menjelajah sampai ke Amerika dan Eropa-negara pelopor industri otomotif. Raksasa mobil dunia, seperti Ford atau Honda, sudah tertinggal di belakang. Mestinya, Hendro pergi ke Ulsan di mana Hyundai memproduksi 1,6 juta mobil per tahun, bukan ke Shah Alam, Selangor.

Industri mobil sesungguhnya bukan sekadar bagaimana memproduksi mobil. Korea bisa menjadi contoh yang bagus. Pengembangan industri otomotif sangat memerlukan dukungan riset dan pengembangan (R&D) serta nasionalisme konsumen. Korea Selatan kini menjadi negara dengan belanja riset dan pengembangan (R&D) terbesar di dunia, mengalahkan Amerika dan Jepang.

Namun nasionalisme juga menjadi faktor pendukung yang membuat suatu produk bisa berjaya. Kalau Anda ke Korea Selatan, jangan berharap ada merek asing di jalan, di rumah, atau di hotel-hotel di Seoul atau kota-kota lain di sana. Nasionalisme yang kuat membuat perusahaan Korea kuat. Tapi Korea Selatan membutuhkan hampir empat dekade untuk mewujudkan mobil berkelas dunia.

Bagaimana dengan Indonesia? Belanja R&D Indonesia hanya 0,08 persen PDB, jauh di bawah Malaysia (0,6 persen), atau Cina (2 persen). Hampir 85 persen belanja riset dan teknologi dilakukan pemerintah. Nasionalisme juga tidak bisa tumbuh begitu saja. Cintailah produk dalam negeri selama ini hanya jadi slogan.  Hendropriyono dan pasukannya mesti mengubah banyak hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar