Solusi
Elegan Jokowi
Iding Rosyidin ; Dosen Komunikasi Politik
FISIP UIN Jakarta dan
Deputi Direktur the Political Literacy Institute
|
KORAN
SINDO, 20 Februari 2015
Setelah sekian lama didesak baik oleh publik, para elite
politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), kalangan DPR, dan
sebagainya, akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan juga
sikapnya.
Rabu (18/02) sore Jokowi secara resmi mengumumkan tidak
akan melantik Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Budi Gunawan (BG), melainkan
mengajukan nama baru sebagai penggan-tinya yaitu Komjen Polisi Badrodin Haiti
yang sekarang menjabat pelaksana tugas (Plt) kepala Polri.
Pada saat yang sama Jokowi mengumumkan pergantian pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua orang komisionernya yang telah
berstatus tersangka, Abraham Samad (AS) dan Bambang WIdjojanto (BW),
diberhentikan untuk sementara. Kemudian Jokowi menunjuk tiga orang untuk
mengisi kekosongan pimpinan KPK yaitu Taufiequrrahman Ruki, Indriyanto Seno
Adji, dan Johan Budi SP. Mereka ditunjuk Jokowi sebagai pelaksana tugas (Plt)
pimpinan KPK.
Win-Win Solution
Bagi sebagian kalangan, keputusan Jokowi tersebut cukup
mengejutkan. Ketika BG yang akhirnya tampil sebagai pemenang dalam proses
praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan belum lama ini, Jokowi
diduga bakal segera melantik BG sebagai kepala Polri baru. Namun, ternyata
Jokowi mengambil sikap yang berbeda. Ia justru membatalkan pelantikan BG dan
menunjuk Badrodin sebagai penggantinya.
Apakah langkah yang diambil Jokowi ini merupakan sikap
yang tepat? Dilihat dari perspektif teori negosiasi politik, langkah yang
diambil Jokowi di atas termasuk ke dalam kuadran kolaboratif yakni negosiasi
yang menekankan win-win solution.
Pihak-pihak yang bertikai, dalam hal ini Polri dan KPK, termasuk Jokowi yang
terkait dengan pertikaian tersebut, sama-sama mendapatkan keuntungan dan pada
saat yang sama juga terhindar dari kerugian atau potensi buruk yang
kemungkinan didapatkannya.
Bagi BG secara personal, meski keputusan Jokowi terlihat
merugikan karena kesempatan menjadi orang nomor satu di jajaran kepolisian
yang sudah di depan mata menjadi hilang, sebenarnya dapat menguntungkan
dirinya. Perlu diketahui, betapapun BG memenangkan praperadilan, bukan
berarti ia bisa bebas sepenuhnya.
Pasalnya, yang dianggap tidak sah oleh hakim Sarpin
Rizaldi adalah mekanisme atau prosedur penetapannya oleh KPK, bukan substansi
tindakan pidananya. Dengan demikian, bisa saja jika prosedur penetapan
diperbaiki kembali oleh KPK, BG dapat kembali menjadi tersangka. Sekalipun BG
dilantik menjadi kepala Polri, tidak akan menghalanginya untuk dijadikan
tersangka.
Itu akan jauh lebih menyakitkan jika seorang pemimpin
tertinggi kepolisian menjadi tersangka. BG tentu akan menanggung malu yang
sangat besar kalau benar-benar terjadi. Bagi Polri secara kelembagaan,
keputusan Jokowi untuk membatalkan pelantikan BG juga menguntungkan.
Boleh jadi kalau BG tetap dilantik, konfliknya dengan KPK
akan terus berlanjut karena bukan tidak mungkin unsur balas dendam tetap ada.
Padahal konflik kelembagaan tersebut telah banyak menguras energi, tenaga,
dan pikiran yang sia-sia, bahkan mengancam matinya proses penegakan hukum,
terutama pemberantasan korupsi di negeri ini.
Sementara Badrodin yang tidak terkait langsung dengan
konflik diharapkan bisa menjadi pereda suasana ketegangan itu. Sementara itu,
KPK yang nyaris lumpuh karena semua komisionernya terancam menjadi tersangka
juga diuntungkan dengan langkah Jokowi. Secara kelembagaan, KPK bakal pulih
kembali dengan ditunjuknya tiga orang sebagai Plt pimpinan sehingga lembaga
ini dapat berjalan secara sempurna.
Tanpa ada solusi tersebut, KPK mungkin akan sulit berjalan
normal karena dua orang pimpinannya telah ditetapkan sebagai tersangka.
Memang dalam situasi seperti ini, agaknya ada komisioner KPK yang dirugikan
secara personal yakni AS dan BW. Namun, karena undang-undang sendiri
menyatakan bahwa komisioner yang menjadi tersangka harus nonaktif, tidak ada
jalan lain bagi mereka berdua selain nonaktif dari KPK. Dalam situasi seperti
ini, boleh jadi dua komisioner nonaktif tersebut bisa menjadi martir demi
terus tegaknya pemberantasan korupsi di negeri ini. Mereka berdua boleh
”mati”, tetapi KPK harus tetap hidup.
Dukungan Publik
Langkah yang telah diambil Jokowi untuk membatalkan
pelantikan BG jelas akan berdampak positif besar baginya, terutama terkait
dukungan publik. Seperti diketahui, suara publik selama ini tampaknya lebih
condong pada pembatalan pelantikan BG. Dengan kata lain, publik lebih
memercayai KPK ketimbang kepolisian dalam penegakan hukum, terutama
pemberantasan korupsi.
Karena itu, sekalipun BG menang di praperadilan, dukungan
mereka terhadap KPK tetap tidak surut. Dengan keputusan Jokowi tersebut,
publik akan menganggap bahwa mantan wali Kota Solo itu masih tetap memiliki
komitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi di republik ini.
Meski tidak menghentikan sepenuhnya upaya kriminalisasi
terhadap KPK, setidaknya dengan membatalkan pelantikan BG, Jokowi dipandang
telah bisa mencairkan ketegangan antara dua lembaga penegak hukum tersebut.
Satu hal lain yang akan disikapi positif oleh publik terkait langkah Jokowi
di atas adalah mampunya sang Presiden keluar dari tekanan-tekanan eliteelite
partai politik, khususnya yang berada di dalam KIH.
Selama ini Jokowi dianggap tidak berdaya menghadapi
tekanan itu sehingga berbagai keputusannya cenderung lebih berpihak pada
kepentingan para elite politik tersebut ketimbang kepentingan publik. Namun,
kali ini Jokowi ternyata lebih mendengarkan aspirasi publik dan lebih
mempertimbangkan masukan-masukan dari Tim Independen atau Tim 9 yang
dibentuknya sendiri.
Seperti diketahui, langkah yang diambil Jokowi di atas
persis seperti yang direkomendasikan oleh tim yang dipimpin Buya Syafii
Maarif tersebut. Pengumuman sikap oleh Jokowi sendiri dilakukan tidak lama
setelah ia berkonsultasi dengan tim. Tentu realitas ini akan sangat
diapresiasi publik. Satu-satunya hal yang mungkin menjadi batu sandungan
Jokowi atas keputusannya tersebut adalah reaksi DPR.
DPR yang selama ini bersikukuh agar BG tetap dilantik,
bahkan sebelum proses praperadilan selesai, agaknya tidak menerima begitu
saja langkah Jokowi dengan dalih merusak kewibawaan lembaga tinggi negara.
Ini karena mereka merasa tidak dihargai karena keputusannya yang menyetujui
BG sebagai calon kepala Polri tidak digubris oleh Jokowi.
Namun, Jokowi tampaknya tidak akan terlalu sulit
menghadapi lembaga legislatif itu. Selain telah mendapatkan dukungan publik,
yang membuat para anggota Dewan tidak bisa begitu gegabah untuk bereaksi
keras, hubungan Jokowi juga kini relatif sudah lebih cair, terutama dengan
elite-elite partai politik dalam Koalisi Merah Putih (KMP) sehingga Jokowi
pun bisa melenggang aman. Karena itu, boleh dikatakan, langkah Jokowi di atas
merupakan solusi yang elegan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar