Keputusan
Jokowi
Refly Harun ; Pakar Hukum Tatanegara
|
DETIKNEWS,
20 Februari 2015
Tugas pemimpin adalah memutuskan. Sesulit apa pun itu.
Presiden Jokowi telah melakukannya dengan tidak jadi melantik Komisaris
Jenderal Budi Gunawan (BG) sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Kapolri). Jokowi memutuskan mengajukan calon baru Kapolri,
Badrodin Haiti (BH), yang saat ini menjabat sebagai Wakapolri sekaligus
pelaksana tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kapolri.
Dalam pidato, Rabu (18/02/15), Jokowi menyatakan bahwa
(rencana) pengangkatan BG sebagai Kapolri telah menimbulkan perbedaan
pendapat di masyarakat. Maka, untuk percepatan ketenangan di masyarakat dan
memperhatikan kebutuhan Polri untuk segera dipimpin Kapolri yang definitif, ia
mengajukan BH sebagai calon Kapolri untuk mendapatkan persetujuan DPR.
Pro dan kontra, seperti biasa, selalu mengiringi setiap
keputusan apa pun. Tak terkecuali soal Kapolri. Dari perspektif hukum
tatanegara, sudah mulai ada yang bersuara bahwa Jokowi melanggar
undang-undang, terutama UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Alasannya,
nominasi BG sebagai calon Kapolri telah disetujui DPR. Tinggal kewajiban
Presiden untuk mengangkatnya.
Benarkah Jokowi telah melanggar UU Polri? Saya termasuk
yang sejak awal tidak sependapat bila Jokowi dinilai melanggar UU Polri bila
tidak jadi melantik BG dan mengajukan nama baru. Dalam beberapa kesempatan,
saya selalu mengatakan bahwa pengangkatan (dan pemberhentian) Kapolri adalah
hak prerogatif presiden yang dibatasi oleh persetujuan DPR.
Pembatasnya hanya satu, yaitu presiden tidak boleh
mengangkat calon Kapolri yang belum atau tidak disetujui DPR. Misalnya,
secara tiba-tiba Jokowi mengangkat BH sebagai Kapolri, jelas tidak bisa. BH
tetap menunggu persetujuan DPR terlebih dulu. Bila DPR setuju, BH dilantik.
Bila tidak, Jokowi dapat mengajukan nama baru, atau melantik BG. Secara
prosedural, BG telah disetujui DPR. Bila Presiden ingin melantiknya tidak ada
halangan prosedural lagi karena persetujuan DPR sudah didapat.
Namun, presiden tidak bisa disalahkan atau dianggap tidak
berwenang bila tidak jadi mengangkat atau melantik nama yang telah disetujui
DPR. UU Polri tidak mengatur hal ini. Dari sisi logika, andai calon Kapolri
yang telah disetujui tersebut ditolak masyarakat, apakah Presiden harus tetap
melantiknya? Contoh lain, bila calon yang telah disetujui tersebut tertangkap
basah melakukan perbuatan tercela (judi, mabuk, dan sebagainya), apakah tetap
harus dilantik?
Hukum dibuat agar tercipta keteraturan. Bila yang dianggap
menjalankan hukum justru memunculkan ketidakteraturan, protes di sana-sini,
kriminalisasi, pembangkangan, dan lain sebagainya, maka hukum tersebut telah
melenceng dari tujuannya. Hukum yang seperti itu tidak pantas lagi disebut
hukum.
Dalam konteks rencana pelantikan BG, sudah sangat jelas
telah memunculkan kontroversi serius di masyarakat. Banyak penolakan di
masyarakat, diakui atau tidak. ‘Pembebasan’ BG dari status tersangka melalui
putusan praperadilan hakim Sarpin Rizaldi tak juga menyurutkan masyarakat
yang protes dan tidak setuju dengan pelantikan BG.
Putusan praperadilan itu sendiri belum membebaskan BG
secara substantif dari tuduhan berekening gendut. Belum ada pengujian benar
tidaknya dugaan tersebut. Putusan praperadilan hanya mengatakan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berwenang menyidik BG lantaran BG bukan
penyelenggara negara dan penegak hukum saat dugaan tindak pidana dilakukan.
KPK bisa saja menyerahkan penanganan kasus ini kepada
kejaksaan atau kepolisian sehingga BG sewaktu-waktu dapat jadi tersangka
kembali. Bahkan, bisa jadi BG akan menjadi tersangka lagi bila permohonan
peninjauan kembali terhadap putusan hakim Sarpin dikabulkan Mahkamah Agung.
Kewenangan Konstitusional
Secara teoretis, karena UU Polri tidak mengatur mengenai
boleh tidaknya tidak melantik calon yang telah disetujui DPR, Presiden
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dapat menentukannya sendiri
berdasarkan kewenangan konstitusional yang dimiliki berdasarkan Pasal 4 ayat
(1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan
negara.
Perlu dicatat, UU Polri menyatakan bahwa polri berada di
bawah Presiden. Kapolri dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada
Presiden. Jadi tidak seharusnya presiden ‘dipaksa’ untuk melantik seorang
calon Kapolri yang sudah tidak diinginkannya lagi kendati yang bersangkutan
sudah mendapat persetujuan DPR.
Dalam pandangan saya, persetujuan DPR bersifat pasif. DPR
hanya menyetujui atau tidak menyetujui calon yang diajukan. Apakah calon yang
disetujui tersebut bakal dilantik atau tidak, sepenuhnya terserah Presiden
sebagai bagian dari hak prerogatif. DPR tidak berhak memaksa Presiden untuk
melantik calon tersebut.
Seandainya dalam konteks BH, DPR menolak untuk mengadakan
uji kelayakan dan kepatutan dengan alasan sudah menyetujui BG, berdasarkan UU
Polri, BH dapat dilantik Presiden setelah lewat 20 hari setelah surat
pengajuan diterima DPR. Waktu 20 hari tersebut tidak termasuk hari libur dan
masa reses.
Dengan demikian, pilihan bagi DPR adalah mengadakan uji
kepatutan dan kelayakan terhadap BH. Bila pengajuan BH disetujui, the game is
over. BH akan menjadi Kapolri definitif. Setelah itu BH dapat dibebankan dua
urusan penting. Pertama, melakukan audit internal terhadap kerja-kerja
penyidik Mabes Polri dalam penetapan tersangka pimpinan KPK, termasuk penyidik
dan pegawai KPK. Apakah betul yang dituduhkan bahwa telah terjadi
kriminalisasi. Bila memang begitu, BH harus memerintahkan penyidik agar
mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan.
Kedua, BH merestorasi hubungan dengan KPK. Restorasi hubungan
KPK menjadi sangat penting karena baik Polri maupun KPK sama-sama penegak
hukum yang seharusnya saling mendukung dan menghormati kerja-kerja penegakan
hukum, termasuk pemberantasan korupsi. Baik Polri maupun KPK tidak boleh
disandera siapa saja yang mau memanfaatkan kedua institusi untuk menjadi
tameng akan kejahatan yang pernah dilakukan.
BH mungkin akan dilematis menegakkan kebenaran yang
sebenar-benarnya di kepolisian. Namun, seperti Jokowi, BH juga adalah
pemimpin yang harus berani memutuskan. Sepahit apa pun itu.
Mudah-mudahan nominasi BH sebagai calon Kapolri
berlangsung mulus di DPR – saya sendiri memiliki keyakinan yang demikian.
Politisi dan elite sering hanya lantang di depan. Setelah waktu berlalu,
negosiasi telah tercapai, suara pun bisa berubah menjadi merdu. Tidak ada
makan siang gratis bagi politisi. Uang dan kekuasaan sering mengiringi setiap
negosiasi. Panggung depan, yang kebanyakan diisi oleh politisi kelas serdadu,
selalu lebih berisik dibandingkan yang di belakang panggung,yang dihuni para
elite penentu.
Membatalkan pelantikan BG dan mengajukan BH sebagai calon
baru Kapolri adalah sebuah keputusan yang tidak mudah bagi Jokowi. Ke depan,
akan masih banyak lagi keputusan-keputusan yang harus diambil, dalam situasi
di mana Presiden Jokowi, yang notabene bukan darah biru partai, bisa dijepit
oleh semua kekuatan politik.
“I don’t know the key to success,
but the key to failure is trying to please everybody,” kata Bil Cosby, aktor dari AS
(1977). Keputusan Jokowi tidak mungkin menyenangkan semua orang, dan Jokowi
memang tidak boleh melakukannya. Karena siapa pun yang berusaha menyenangkan
semua orang pasti gagal dalam memimpin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar