Refleksi
tentang Pembangunan Kesejahteraan
Dharendra Wardhana ; Kandidat Doktor
Bidang Studi Pembangunan Negara Berkembang di King’s
College London
|
JAWA
POS, 20 Februari 2015
AWAL tahun ini Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan
data terbaru kemiskinan. Meskipun terdapat penurunan jumlah penduduk miskin
dari 28,3 juta jiwa (10,96 persen populasi) menjadi 27,7 juta jiwa (11,25
persen), tersirat adanya perlambatan laju turunnya angka kemiskinan.
Akumulasi laju penurunan tingkat kemiskinan selama kurun sepuluh tahun
terakhir sebesar 5,74 persen. Namun, tahun ini laju penurunan hanya 0,29
persen atau jauh di bawah rata-rata dekade terakhir sebesar 0,57 persen.
Melambatnya laju penurunan kemiskinan disebabkan berbagai
faktor. Faktor utama adalah berkurangnya peran pertumbuhan ekonomi dalam
penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan. Teori-teori konvensional yang
mengagung-agungkan efek rembesan (spillover)
terbukti usang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sektor manufaktur yang
digadang-gadang sebagai andalan penyerap tenaga kerja ternyata semakin
bersifat padat modal.
Faktor kedua adalah keberadaan kelompok sangat miskin (extreme poor atau hardcore poor) yang susah dientaskan. Berbagai program
penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan sejak lama umumnya berhasil
mengentaskan sebagian besar kelompok miskin penerima bantuan. Namun, hal
tersebut ternyata menyisakan sebagian kelompok tertentu seperti penyandang
disabilitas berat dan lanjut usia telantar yang memerlukan bantuan khusus
secara intensif, bahkan sepanjang hayat. Persoalan itu hanya dapat
diselesaikan dengan implementasi sistem bantuan sosial yang terarah dan
efektif. Untung, perubahan mekanisme subsidi BBM yang dimulai tahun ini akan
memberikan ruang fiskal yang cukup besar. Tidak kurang dari Rp 140 triliun
akan tersedia bagi perluasan dan pengembangan program perlindungan sosial
mulai tahun anggaran 2015.
Melihat pengalaman sebelumnya, strategi pengentasan
kemiskinan melalui penciptaan stimulus ekonomi terbukti kurang efektif. Untuk
menghadapi persoalan tersebut, setidaknya terdapat dua cara: mengakselerasi
laju pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya dan menciptakan pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas. Gustav Papanek, pakar ekonomi yang mendalami
Indonesia sejak akhir 1950-an, mengatakan, dengan kisaran pertumbuhan ekonomi
saat ini (5 persen), hanya akan tercipta satu juta lapangan kerja baru yang
layak. Lebih lanjut dia berpendapat, untuk mencapai laju pertumbuhan dua
digit, akan diperlukan reformasi yang sungguh-sungguh. Khususnya di bidang
perizinan usaha, pemberian insentif usaha, upah buruh, dan penciptaan
lapangan kerja di pedesaan.
Kemiskinan adalah persoalan klasik yang umumnya terjadi di
tiga tempat. Yaitu, sektor pertanian, sektor informal, dan kawasan pedesaan.
Data BPS terbaru menunjukkan bahwa 61,4 persen kelompok miskin tinggal di
desa. Meskipun demikian, sektor pertanian sudah tidak dapat diandalkan
sebagai pencipta lapangan kerja dan pemberi imbalan yang layak. Sebanyak 34
persen dari angkatan kerja pada 2014 mengandalkan sektor pertanian sebagai
mata pencaharian utama, menurun dari kisaran 44 persen pada 2004. Hal
tersebut menunjukkan sempitnya (atau tidak atraktifnya) bekerja di sektor
agraris. Fakta bahwa kelompok petani gurem dan buruh tani mendominasi
struktur pekerja mengindikasikan rendahnya kesejahteraan pekerja. Salah satu
terobosan yang dapat dilakukan adalah memperkuat aspek pemberdayaan
masyarakat pedesaan dengan memanfaatkan alokasi anggaran khusus sebagaimana
amanat UU Desa yang disahkan tahun lalu.
Profil demografis kesejahteraan di Indonesia saat ini
didominasi oleh populasi kelompok ”rentan” atau ”hampir miskin” yang sangat
rawan jatuh ke golongan miskin. Fakta itu dapat dilihat pada perhitungan Bank
Dunia yang menunjukkan bahwa 75 persen rumah tangga masih berada dalam
kategori rentan. Guna mengatasi masalah tersebut, perhatian khusus perlu
ditujukan pada pemeliharaan kesejahteraan melalui mekanisme jaminan sosial
untuk melindungi masyarakat dari guncangan ekonomi. Relevan dengan hal
tersebut, penyiapan pelaksanaan jaminan ketenagakerjaan yang sesuai amanat UU
BPJS akan dimulai pada pertengahan tahun ini untuk melengkapi jaminan
kesehatan nasional yang telah dimulai pada 2014. Perhatian khusus perlu
diberikan pada aspek pengelolaan dana iuran serta penghitungan manfaat yang
akan diterima oleh pekerja.
Selain persoalan kemiskinan yang belum selesai, gejala
peningkatan ketimpangan kesejahteraan selama lima tahun terakhir juga perlu
diwaspadai. Sebagaimana yang ditulis oleh Thomas Piketty tahun lalu, laju ketimpangan
yang meningkat dikhawatirkan mengancam tatanan masyarakat yang ideal.
Ketimpangan secara mencolok dapat ditemui di perkotaan dengan tren yang
meningkat secara drastis. Pertumbuhan yang Jawa-sentris turut memperparah
kondisi tersebut. Strategi yang dapat diambil adalah menerapkan pola
perpajakan yang lebih adil serta menciptakan pusat pertumbuhan di kawasan
luar Jawa.
Tahun ini menandai berakhirnya masa pelaksanaan Tujuan
Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) serta dimulainya era
baru pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development
Goals/SDGs) yang segera difinalkan dalam waktu dekat. Dalam konteks tersebut,
perlu digagas sasaran-sasaran pembangunan yang lebih luas dan inklusif untuk
melengkapi serta memperbaiki hasil yang telah dicapai pada era sebelumnya.
Namun, berbagai indikator yang ada dalam SDGs hendaknya tidak diadopsi
mentah-mentah. Melainkan sebaiknya diselaraskan dengan arah dan konsep
pembangunan sebagaimana yang tertuang dalam dokumen rencana pembangunan
jangka menengah (RPJM) di tingkat pusat maupun daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar