Tahun
Permainan Politik
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah
Tinggi Teologi Jakarta
|
KOMPAS,
20 Januari 2014
“Barang siapa mempermainkan permainan akan menjadi
permainan-permainan. Bermainlah untuk bahagia, tetapi janganlah mempermainkan
bahagia.” Driyarkara
PEMILIHAN
umum seperti sebuah permainan. Ada pemain (lama dan baru) dan wasit.
Permainannya ada yang cantik, juga ada yang kasar. Ada akrobat politik untuk
memenangkan hati rakyat dan merebut kursi kekuasaan.
Yang jelas, kalau motivasi dasar
sang politisi bukan memperjuangkan kepentingan rakyat, pesona citra menjadi
lebih utama daripada kemampuan dan integritas pribadi. Partai juga tak peduli
kompetensi dan rekam jejak calon yang diusungnya. Tiada pertarungan
ideologis. Yang penting logistik calon dan penampilannya. Rakyat sebenarnya
cukup cerdas untuk memilih, tetapi persoalannya adalah apakah cukup banyak
calon cerdas.
Banalitas politik
Dalam sebuah diskusi di Jakarta
(Kompas, 19/12/2013), Wakil Ketua DPR berkomentar tentang wajah DPR periode
2014-2019 yang lebih dari 70 persen akan diisi wajah lama. Praktik politik
transaksional masih berlanjut. Motivasi banyak anggota legislatif masih demi
kursi kekuasaan dan kepentingan ekonomi. Dalam kesempatan yang sama, Wakil
Ketua KPK menambahkan, banyak pejabat tinggi rendah kompetensi dan integritas
sehingga negara terus-menerus dibiarkan merugi. Kualitas keputusan politik
untuk menempatkan pejabat tinggi pada posisi-posisi strategis sangat
berorientasi kekuasaan. Hakim konstitusi yang seharusnya jadi tumpuan akhir
untuk peninjauan kembali undang-undang dan putusan final sengketa hasil
pemilu justru jadi penyebab ambruknya tatanan bernegara. Ini dosa politik
eksekutif dan legislatif bersama-sama.
Demokrasi kita baru sebatas
menghasilkan pemimpin yang siap maju, tetapi tak siap mundur, penguasa dan
bukan pelayan rakyat. Bupati yang tak mendapat tiket pesawat dan kemudian
memblokir bandar udara sipil adalah contoh pejabat tinggi yang rendah adab
publik. Kepala daerah dilantik di rutan. Pejabat dengan heroik tetap menjabat
dari dalam tahanan. Perasaan rakyat yang butuh pemimpin benar dan bersih
diabaikan. Air mata politisi kita hanya cukup untuk menangisi diri, tetapi
tak untuk menangisi penderitaan rakyat. Dengan kualitas politisi seperti itu,
legislatif tak punya kompetensi dan kapasitas moral untuk mengoreksi
kebijakan eksekutif, untuk menjadi corong suara rakyat, untuk memperjuangkan
kepentingan bangsa. Eksekutif juga miskin terobosan dan prestasi. Banyak
terjadi kejahatan birokrasi yang sengaja membuat celah untuk praktik
bernegara yang rendah akuntabilitas dan efisiensi.
Korupsi seperti tak ada matinya,
kini menurun ke generasi lebih muda. Politisi korup adalah parasit bangsa
yang menurunkan kualitas demokrasi. Indeks Demokrasi Indonesia memperlihatkan
tren penurunan dari skor 67,30 (2009) menjadi 63,17 (2010), 65,48 (2011), dan
62,63 (2012). Penyelenggara negara seperti tak peduli kapal besar republik
yang bisa tenggelam bersama rakyat di dalamnya. Yang penting, diri sendiri
selamat.
Politik (dan) ekonomi
Indonesia sedang mengalami tekanan
defisit neraca perdagangan yang membuat rupiah kehilangan keperkasaan. Impor
lebih besar daripada ekspor. Lebih besar belanja negara daripada pendapatannya.
Pemerintah membiarkan dengan bebas pembayaran transaksi dengan mata uang
asing. Kini koruptor pun ikut-ikutan.
Fenomena defisit transaksi
berjalan itu, yang baru pertama kali terjadi sejak krisis ekonomi 1997-1998,
berlangsung sejak 2012, tanpa kerja keras pemerintah untuk membalik arah
neraca perdagangan. Pemerintah nyaris tak berbuat sesuatu dengan
deindustrialisasi dan pelemahan ekspor manufaktur dua dekade terakhir. Pernah
jadi eksportir sapi pada 1960-an sampai 1970-an ke Singapura dan Hongkong, setelah
itu Indonesia puas jadi importir dengan harga beli daging sapi jauh lebih
mahal daripada di negeri kaya.
Daripada membenahi fundamental dan
infrastruktur ekonomi, pemerintah membiarkan pasar domestik dikuasai produk
impor. Indonesia sudah kalah berdagang di pelataran negeri sendiri. Para nabi
ekonomi seperti suara yang berseru-seru di padang gurun, sementara pemerintah
sibuk berwacana. Republik berjalan seperti tanpa kemudi, lemah koordinasi
antar-kementerian dan antar-pemda.
Rakyat harus jeli memilih calon
yang benar-benar paham untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam dunia
dagang. Dulu, selama hampir 200 tahun, Nusantara dikuasai hanya oleh Kompeni
(Verenigde Oost Indische Compagnie),
sebuah kongsi dagang Hindia Timur, sebelum akhirnya dijajah Kerajaan Belanda.
Setelah merdeka, pertumbuhan tinggi ekonomi Indonesia yang dibangga-banggakan
lebih ditopang konsumsi domestik dan ekspor bahan mentah. Eksploitasi sumber
daya alam kian liberal di era Reformasi dalam kerangka perdagangan bebas.
Dengan Singapura, negeri tanpa sumber daya alam saja, hubungan dagang
Indonesia defisit signifikan.
Bahkan, urutan Indonesia sebagai negara
eksportir jauh di bawah negeri kecil yang jadi mitra kental kapitalis Barat.
Kepentingan ekonomi Indonesia dan kekuatan rupiah pun ditentukan dari salah
satu pusat keuangan dunia itu.
Indonesia dikenal lunak dan mudah
mengalah dalam memperjuangkan kepentingan nasional. Kita harus belajar dari
kegigihan India dalam Konferensi Tingkat Menteri Ke-9 Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO) di Bali, bulan lalu, sehingga negara boleh meningkatkan cadangan
pangan nasional sampai 15 persen. India yang berpenduduk 1,2 miliar sadar
bahwa mereka sendirilah yang harus menjamin ketahanan pangan dalam negeri.
Ketidakberdayaan Indonesia di
tingkat internasional sebagian ditentukan oleh kapasitas manusianya.
Menjelang pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, kualitas manusia
Indonesia masih pada peringkat ke-121 (dari 185 negara) dan tingkat
korupsinya pada peringkat ke-118 (dari 174 negara). Dengan kapasitas sumber
daya manusia yang rendah, orang kita masih membius diri dengan agama.
Tengoklah, kunci kemajuan negara Islam seperti Qatar dan Uni Emirat Arab
bukan agama, melainkan investasi besar dalam pendidikan dan keseriusan
memberantas korupsi. China menjadi negara berkembang yang disegani dunia juga
bukan karena agama, melainkan ekonominya yang kuat. Dari situ, bangsa itu
berjaya di bidang olahraga, di laut, sampai ruang angkasa.
Ekonomi dan politik di era modern
bagai dua sisi dari keping mata uang. Politik sejatinya menyangkut
kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang dan untuk itu ekonomi adalah
jalannya. Kini Indonesia hampir pasti tak berhasil tepat waktu untuk naik
kelas menjadi negara dengan pendapatan menengah-atas, terperangkap dalam
kelompok negara berpendapatan menengah-bawah.
Evaluasi akhir tahun
memperlihatkan realisasi pemasukan pajak dan produksi minyak nasional tak
mencapai target. Program perumahan rakyat jauh dari realisasi. Penyerapan
anggaran belanja rendah dan sisa anggaran dihabiskan dengan iklan layanan
masyarakat. Inefisiensi belanja negara pada gilirannya melemahkan kapasitas
sosial negara. Dalam keadaan memprihatinkan itu, masuklah kita semua dalam
kemeriahan menyongsong pesta demokrasi. Rakyat akan menilai mana politisi
yang memperjuangkan ketahanan pangan, energi, dan fiskal dengan
langkah-langkah konkret dan radikal, mana pula yang menjadikan politik
permainan untuk membahagiakan diri, keluarga, dan kroni. Berpolitiklah untuk
bahagia, tetapi jangan mempermainkan politik. Jangan mempermainkan
kebahagiaan rakyat. Politik sejatinya membahagiakan rakyat. Selamat datang tahun politik! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar