Selamat
Datang Tahun Baru
Masduri ;
Pengelola
Laskar Ambisius (LA), Peneliti Teologi dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
|
KORAN
JAKARTA, 02 Januari 2014
Tahun baru selalu ditandai dengan harapan
baru. Harapan untuk mencapai rencana-rencana besar selama satu tahun ke
depan. Tahun baru menjadi semacam epistemologi tentang dunia baru.
Manusia seperti "lahir" kembali
pada dunia yang benar-benar baru sehingga semua rantai sejarah di masa lalu
seolah-olah diputus dengan epistemologi tahun baru. Pada saat itu, manusia
menatap kembali hidupnya selama satu tahun ke depan.
Hal-hal buruk di masa lalu seolah-olah
hendak ditanggalkan begitu saja. Sebab dalam dirinya, menggantung
harapan-harapan baru. Harapan menjadi manusia sempurna, yang bebas dari
perbuatan destruktif (Thomas Hobbes) dan selalu merindukan maslahat bersama
(Murtadha Mutahhari) sebagai manifestasi dari kesadaran eksistensial (Jean-Paul
Sartre).
Manusia hidup pada sebuah ruang dan waktu.
Pemaknaan terhadap hidup selalu didasarkan pada segenap harapan yang
menggantung dalam benak masing-masing. Ruang menjadi tempat manusia dalam
berproses mencari eksistensi dirinya sebagai manifesitasi dari kesadaran
tentang waktu.
Sedangkan waktu adalah sebuah masa tak
terbatas, yang di dalamnya manusia berproses mendialogkan kesadaran diri
dengan ruang tempat manusia itu ada. Ruang dan waktu menjadi semacam sejoli
yang tidak pernah bisa dilepas dalam hidup manusia.
Sebab, di dalam keduanya itu manusia hidup
dan menggerakkan senegap harapan sebagai wujud dari kesadaran dirinya tentang
hidup.
Itulah mengapa kelompok filsuf materialisme
seperti Baron von Holbach, Feuerbach, Moleschott, Buchner, dan Haeckel begitu
mati-matian memperjuangan gagasannya, bahwa inti dari segala yang ada adalah
materi, termasuk manusia. Sebagai buktinya, manusia butuh tempat (materi)
untuk beriksistensi karena manusia itu sejatinya juga materi.
Tetapi kritik filsuf eksistensialisme
terhadap materialisme menarik untuk dicermati pada awal tahun baru ini.
Filsuf materialisme menyebut manusia tak ada bedanya dengan benda-benda
lainnya, sebagai sebuah hasil dari proses-proses hukum-hukum alam, kimia, dan
biologi, sehingga seolah-olah sama seperti hewan dan tumbuhan.
Filsuf eksistensialisme menyangkal
pandangan tersebut karena hal itu mereduksi totalitas manusia. Manusia
memiliki kompleksitas diri yang tak dapat diukur, misalnya ketika berhadapan
dengan momen-momen eksistensial, seperti pengambilan keputusan, kecemasan,
optimisme, takut, berani, galau, tenang, sedih, bahagia, benci, dan suka.
Momen-momen eksistensial itulah yang
memengaruhi diri manusia dalam hidup. Boleh saja di awal tahun memiliki
semangat yang besar dalam melakukan perubahan. Tetapi ketika dihadapkan pada
sebuah realitas yang berbeda, kemudian kesadaran eksistensial manusia
meresponsnya, bisa saja mereka akan berbalik seratus delapan puluh derajat.
Kesadaran Eksistensial
Diktum Rene Descartes, cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), menghadirkan tatanan
dunia baru yang mampu menggerakkan manusia melampaui realitas dalam hidupnya.
Kesadaran untuk berpikir dan mencipta realitas menjadi euforia manusia dalam
menyambut tahun baru.
Mereka merangkai segenap harapan, bahkan
seolah-olah hendak menaklukkan waktu yang tak terbatas, menjadi sebuah
kenyataan (kesuksesan) yang diraihnya selama satu tahun ke depan. Hal itu
menandakan betapa kekuatan berpikir manusia memunyai kekuatan yang sangat
besar dalam hidup.
Dengan kemampuan berpikirnya, manusia dapat
melampaui realitas yang mengungkung dirinya. Bahkan, dengan imajenasi (ide)
yang dibayangkan, manusia mampu menciptakan sesuatu yang dahulu belum pernah
ada (Plato).
Meski demikian, kita juga jangan lupa bahwa
kesadaran eksistensial kadang-kadang tidak mampu juga melampaui realitas
(fenomena) yang ada. Itulah mengapa dalam hidup ini ada manusia yang sukses
dan gagal.
Kesuksesan dan kegagalan dalam hidup
merupakan dampak dari dialog kesadaran eksistensial dengan realitas hidup
manusia. Bahkan kadang, yang menentukan kesuksesan atau kegagalan bukan
kesadaran, tetapi realitas (fenomena) yang ada di dalam hidupnya (Martin
Heidegger).
Oleh sebab itu, dalam mengarungi perjalanan
satu tahun ke depan, bahkan hingga seterusnya, kematangan psikologi kita
menjadi kunci kesuksesan hidup (Sigmund Freud). Kesiapan mental menghadapi
manis-pahitnya perjalanan hidup harus menjadi pengawal setiap harapan yang
kita bangun pada awal tahun.
Karena kenyataan yang ada di depan belum
jelas dan buram. Manusia boleh saja mengusahakan yang terbaik, tetapi Tuhan
bisa mencipta sesuatu di luar perkiraan manusia.
Kesadaran Spiritualitas
Maka, selain menggerakkan kesadaran
eksistensial manusia pada tahun baru, kita perlu menggerakkan kesadaran
spiritualitas kita pada Tuhan agar dalam menjalani hidup, kita tidak hampa
kedamaian dan tidak mudah putus asa.
Kesadaran spiritualitas membuat manusia
mampu membaca makna dan nilai hidup seutuhnya (Neck dan Milliman) sehingga
tidak semua peristiwa atau realitas buruk bagi orang yang memiliki kesadaran
spiritualitas dianggapnya buruk pula. Orang yang memiliki kesadaran
spiritualitas memiliki cara berbeda dalam memahami realitas sehingga
kegagalan seribu kali sekalipun tidak memuat mereka berhenti memperjuangkan
harapan dalam hidup.
Nilai hidup bagi orang yang memiliki
kesadaran spiritualitas bukan pada hasil, tapi lebih pada usaha mencapai
kesempurnaan hidup.
Selain itu, kesadaran spiritualitas mengarahkan manusia pada jalan yang baik
dan menghindarkan manusia dari perbuatan yang buruk.
Dalam mencapai kesuksesan tidak menggunakan
cara-cara curang, seperti korupsi, mencuri, dan merampok. Realitas hidup bagi
orang yang memiliki kesadaran spiritual yang tinggi selalu diarahkan pada
pencapaian yang sempurna sebab mereka sadar bahwa pencapaian apa pun yang
didapatkan di dunia, pada saatnya nanti akan berlalu.
Semua yang ada hanya titipan Tuhan. Manusia
hanya terus berkejaran dengan waktu, bahkan kadang seolah-olah hendak
menaklukkan waktu. Semantara waktu terlampaui besar untuk ditaklukkan
manusia.
Pada saatnya nanti, manusia tidak akan
mampu melawan waktu karena waktu adalah keabadian, tidak memiliki batas awal
dan akhir. Semua waktu sama (Aristoteles). Tahun baru sejatinya hanya
"ilusi" manusia untuk menaklukkan waktu dengan memotong-motongnya
menjadi keratan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun.
Karena itu ilusi manusia, pada saatnya
nanti semua akan berlalu sebab waktu itu sama. Tetapi atas nama ilusi, saya
juga tetap berucap: Selamat Datang
Tahun Baru 2014! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar