Sabtu, 11 Januari 2014

Penghiliran Mineral, Awal Era Kebangkitan Industrialisasi

Penghiliran Mineral,

Awal Era Kebangkitan Industrialisasi

S Witoro Soelarno  ;    Praktisi Pertambangan dan Lingkungan,
Mantan Sesditjen Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi Kementerian ESDM
MEDIA INDONESIA,  10 Januari 2014
                                                                                                                        


POLEMIK terjadi setelah adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencabut Peraturan Menteri No 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.

Kontrak karya kesulitan alasan keekonomian, yaitu tidak layak membangun smelter sendiri, sehingga diharapkan adanya kebijakan pemerintah untuk mengakomodasi realita itu. Namun, pemerintah bergeming karena memang tidak bisa menghindar dari amanah UU 4 Tahun 2009 yang memerintahkan kontrak karya diharuskan memurnikan produknya paling lambat 12 Januari 2014.

Bagi pemegang IUP (izin usaha pertambangan), dampaknya juga berat karena produksinya telanjur besar, yaitu meningkat 5-11 kali jika dibandingkan dengan 2008. Bagi IUP, ada yang berpendapat tidak secara jelas diatur batasan waktu pemurnian, tapi dapat diartikan sebenarnya harus sudah memulai program membangun smelter sejak UU 4 Tahun 2009 diterbitkan. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Mineral dan Batu Bara mempertegas bahwa bijih hasil tambang dari IUP pada 12 Januari 2014 harus sudah dimurnikan di dalam negeri.

Baik kontrak karya maupun IUP tidak harus mendirikan smelter sendiri, dia bisa bekerja sama dengan pemegang izin pertambangan lain yang sudah melakukan pemurnian, atau didirikan khusus untuk mengolah-memurnikan dari penambang lain yang berizin.

Kekisruhan pada IUP sekarang dimulai dengan meledaknya jumlah IUP yang terbit setelah Surat Edaran Dirjen Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi (Minerbapabum) No 03E/31/DJB/2009 tanggal 30 Januari 2009 (yang meminta kepada seluruh daerah untuk tidak menerbitkan izin baru sebelum peraturan pelaksanaan UU No 4 Tahun 2009 diterbitkan), diperintahkan dicabut oleh MA melalui amar putusan tertanggal 9 Desember 2009.

Tersandera

Jumlah KP (kini IUP) yang tercatat sebelum era otonomi sekitar 600. Setelah terbitnya U U 4 Tah u n 2009 ke mudian diikuti PP No 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan, dilakukan inven tarisasi intensif untuk penetapan Wilayah IUP (WIUP) yang sudah ada sebagai dasar pene tapan wilayah pertambangan (WP), mulailah terjaring data lebih dari 10 ribu IUP. Sangat banyak nya IUP tersebut mendorong besarnya peningkatan produksi, yang tentunya terpicu oleh akan adanya pelarangan ekspor bahan mentah mulai 12 Januari 2014.

Sekarang pemerintah disandera oleh sinyalemen akan adanya PHK 800 ribu pekerja seperti yang disampaikan Kadin, juga penurunan hingga 60% produksi konsentrat tembaga PT Freepot Indonesia (FI) dan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang sangat berdampak terhadap penerimaan negara dan daerah, serta kasus ketenagakerjaan. Pemerintah akan kehilangan pendapatan lebih dari US$5 miliar per tahun. Apa bila smelter berdiri, baik penerimaan negara maupun peluang kerja dipastikan dapat segera recover. Bahkan, akan meningkat jauh lebih besar karena besarnya efek ganda. Selama ini, efek ganda mineral Indonesia tersebut dinikmati negara lain.

Ada pengalaman sangat menarik pada pertemuan pembahasan pelaksanaan penghiliran mineral April 2013 di Balai Prajurit di Jalan Dr Saharjo Jakarta, yang dihadiri para pihak terkait, yaitu pendapat seorang warga negara asing yang kebetulan berada dekat dengan penulis. Dia mengatakan bahwa ini kebijakan bagus untuk bangsa ini, tetapi heran mengapa banyak yang menentangnya.

Saya jelaskan, ya beginilah bila banyak pemain baru.
Bagi perusahaan dengan bisnis inti tambang, pasti akan berupaya keras menerapkan konsep sustainable mining, karena sadar bahan tambang tidak terbarukan sehingga pengelolaan perlu efisiensi tinggi, agar selama mungkin tambang tersebut bertahan, bisa lebih bertahan terhadap berba gai tekanan, memberi ruang berkarya bagi penambang lebih lama. Penerapan konsep tersebut terutama melalui eksplorasi intensif untuk perluasan cadangan, penambangan terpadu dengan reklamasi dan pascatambang, penerapan program CSR, prime mover pembangunan di daerah terpencil, serta selaras dengan pembangunan berkelanjutan.

Indonesia hingga kini masih banyak mengimpor logam yang seharusnya tidak perlu karena sumbernya banyak di negeri ini. Devisa bisa kita hemat sangat besar apabila penghiliran bisa berjalan dengan baik.

Pada 2011, ekspor bijih bauksit mencapai 40,6 juta ton. Jumlah itu, bila diolahmurnikan, akan menghasilkan aluminium sekitar 10 juta ton. Bandingkan dengan kebutuhan industri dalam negeri saat ini masih diimpor sekitar 700 ribu ton aluminium per tahun. Artinya, ekspor setahun tersebut setara dengan jumlah kebutuhan dalam negeri 15 tahun.

Belum lagi bijih nikel, yang bukan hanya nikel dan kobalt yang bisa diekstrak, kandungan besi juga lumayan untuk diperhitungkan. China, penguasa pasar dunia untuk NPI (nickel pig iron), mendapat bahan baku mayoritas dari Indonesia. Kita ini masih mengimpor baja sekitar 70%80% dari kebutuhan nasional, karena kapasitas produksi dalam negeri masih rendah. Susahnya, produksi baja nasional kita ini juga mengandalkan impor untuk bahan bakunya, sedangkan bijih besi mengalir deras ke luar.

Harga komoditas logam aluminium dan nikel tersebut saat ini terseok-seok di pasar. Hal itu diduga kuat karena banjirnya ekspor bijih dari Indonesia. Penghentian aliran ekspor bijih dipastikan akan memperbaiki harga logamlogam tersebut di pasaran.
Akhirnya, sejauh mana kemanfaatan kekayaan mineral yang dimiliki bangsa ini, tergantung kepada semangat para pengusaha serta konsistensi kebijakan pemerintah. 

Perlu dicatat, bahwa suksesnya penghiliran mineral akan jadi pendorong dimulainya era industrialisasi di negeri ini.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar