Penghiliran
Mineral,
Awal
Era Kebangkitan Industrialisasi
S Witoro Soelarno ;
Praktisi
Pertambangan dan Lingkungan,
Mantan Sesditjen Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi
Kementerian ESDM
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Januari 2014
POLEMIK terjadi setelah adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang
memerintahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencabut
Peraturan Menteri No 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui
Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.
Kontrak karya
kesulitan alasan keekonomian, yaitu tidak layak membangun smelter sendiri,
sehingga diharapkan adanya kebijakan pemerintah untuk mengakomodasi realita
itu. Namun, pemerintah bergeming karena memang tidak bisa menghindar dari
amanah UU 4 Tahun 2009 yang memerintahkan kontrak karya diharuskan memurnikan
produknya paling lambat 12 Januari 2014.
Bagi pemegang IUP
(izin usaha pertambangan), dampaknya juga berat karena produksinya telanjur
besar, yaitu meningkat 5-11 kali jika dibandingkan dengan 2008. Bagi IUP, ada
yang berpendapat tidak secara jelas diatur batasan waktu pemurnian, tapi
dapat diartikan sebenarnya harus sudah memulai program membangun smelter
sejak UU 4 Tahun 2009 diterbitkan. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah No
23 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Mineral dan Batu Bara mempertegas bahwa
bijih hasil tambang dari IUP pada 12 Januari 2014 harus sudah dimurnikan di
dalam negeri.
Baik kontrak karya
maupun IUP tidak harus mendirikan smelter sendiri, dia bisa bekerja sama
dengan pemegang izin pertambangan lain yang sudah melakukan pemurnian, atau
didirikan khusus untuk mengolah-memurnikan dari penambang lain yang berizin.
Kekisruhan pada IUP
sekarang dimulai dengan meledaknya jumlah IUP yang terbit setelah Surat
Edaran Dirjen Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi (Minerbapabum) No
03E/31/DJB/2009 tanggal 30 Januari 2009 (yang meminta kepada seluruh daerah
untuk tidak menerbitkan izin baru sebelum peraturan pelaksanaan UU No 4 Tahun
2009 diterbitkan), diperintahkan dicabut oleh MA melalui amar putusan
tertanggal 9 Desember 2009.
Tersandera
Jumlah KP (kini IUP)
yang tercatat sebelum era otonomi sekitar 600. Setelah terbitnya U U 4 Tah u
n 2009 ke mudian diikuti PP No 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan,
dilakukan inven tarisasi intensif untuk penetapan Wilayah IUP (WIUP) yang
sudah ada sebagai dasar pene tapan wilayah pertambangan (WP), mulailah
terjaring data lebih dari 10 ribu IUP. Sangat banyak nya IUP tersebut
mendorong besarnya peningkatan produksi, yang tentunya terpicu oleh akan
adanya pelarangan ekspor bahan mentah mulai 12 Januari 2014.
Sekarang pemerintah
disandera oleh sinyalemen akan adanya PHK 800 ribu pekerja seperti yang
disampaikan Kadin, juga penurunan hingga 60% produksi konsentrat tembaga PT
Freepot Indonesia (FI) dan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang sangat
berdampak terhadap penerimaan negara dan daerah, serta kasus ketenagakerjaan.
Pemerintah akan kehilangan pendapatan lebih dari US$5 miliar per tahun. Apa
bila smelter berdiri, baik penerimaan negara maupun peluang kerja dipastikan
dapat segera recover. Bahkan, akan
meningkat jauh lebih besar karena besarnya efek ganda. Selama ini, efek ganda
mineral Indonesia tersebut dinikmati negara lain.
Ada pengalaman sangat
menarik pada pertemuan pembahasan pelaksanaan penghiliran mineral April 2013
di Balai Prajurit di Jalan Dr Saharjo Jakarta, yang dihadiri para pihak
terkait, yaitu pendapat seorang warga negara asing yang kebetulan berada
dekat dengan penulis. Dia mengatakan bahwa ini kebijakan bagus untuk bangsa
ini, tetapi heran mengapa banyak yang menentangnya.
Saya jelaskan, ya beginilah bila banyak pemain baru.
Bagi perusahaan dengan
bisnis inti tambang, pasti akan berupaya keras menerapkan konsep sustainable
mining, karena sadar bahan tambang tidak terbarukan sehingga pengelolaan
perlu efisiensi tinggi, agar selama mungkin tambang tersebut bertahan, bisa
lebih bertahan terhadap berba gai tekanan, memberi ruang berkarya bagi
penambang lebih lama. Penerapan konsep tersebut terutama melalui eksplorasi
intensif untuk perluasan cadangan, penambangan terpadu dengan reklamasi dan
pascatambang, penerapan program CSR, prime mover pembangunan di daerah
terpencil, serta selaras dengan pembangunan berkelanjutan.
Indonesia hingga kini
masih banyak mengimpor logam yang seharusnya tidak perlu karena sumbernya
banyak di negeri ini. Devisa bisa kita hemat sangat besar apabila penghiliran
bisa berjalan dengan baik.
Pada 2011, ekspor
bijih bauksit mencapai 40,6 juta ton. Jumlah itu, bila diolahmurnikan, akan
menghasilkan aluminium sekitar 10 juta ton. Bandingkan dengan kebutuhan
industri dalam negeri saat ini masih diimpor sekitar 700 ribu ton aluminium
per tahun. Artinya, ekspor setahun tersebut setara dengan jumlah kebutuhan
dalam negeri 15 tahun.
Belum lagi bijih
nikel, yang bukan hanya nikel dan kobalt yang bisa diekstrak, kandungan besi
juga lumayan untuk diperhitungkan. China, penguasa pasar dunia untuk NPI
(nickel pig iron), mendapat bahan baku mayoritas dari Indonesia. Kita ini
masih mengimpor baja sekitar 70%80% dari kebutuhan nasional, karena kapasitas
produksi dalam negeri masih rendah. Susahnya, produksi baja nasional kita ini
juga mengandalkan impor untuk bahan bakunya, sedangkan bijih besi mengalir
deras ke luar.
Harga komoditas logam
aluminium dan nikel tersebut saat ini terseok-seok di pasar. Hal itu diduga
kuat karena banjirnya ekspor bijih dari Indonesia. Penghentian aliran ekspor
bijih dipastikan akan memperbaiki harga logamlogam tersebut di pasaran.
Akhirnya, sejauh mana kemanfaatan
kekayaan mineral yang dimiliki bangsa ini, tergantung kepada semangat para
pengusaha serta konsistensi kebijakan pemerintah.
Perlu dicatat, bahwa
suksesnya penghiliran mineral akan jadi pendorong dimulainya era
industrialisasi di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar