Memperebutkan
Suara Warga DKI
Karel Susetyo ;
Penulis ikut
mendirikan UBK, Analis politik Point Indonesia
|
KORAN
JAKARTA, 03 Januari 2014
Pemilu 2014 sebentar lagi
berlangsung. Jakarta sebagai ibu kota negara menjadi barometer politik
wilayah lain. Meski tak cukup menentukan bagi kemenangan parpol secara
nasional karena pemilihnya hanya sekitar tujuh juta, tetap saja menarik
membaca persaingan parpol di Jakarta.
Tak seperti wilayah lain yang
dapat dipetakan ke dalam basis konstituen tradisional sebuah politik aliran
tertentu, Jakarta memang berbeda. Misalnya, Jateng sebagai basis
nasionalis-soekarnois cenderung menjadi wilayah PDIP atau Jatim dengan NU
yang identik PKB. Jakarta bisa disebut sebagai wilayah "tak
bertuan" yang bebas direbut parpol mana pun. Tulisan ini akan
menganalisis Jakarta tahun 2014 dengan data elektoral dan kecenderungannya.
Sebagai pusat pemerintahan,
bisnis, dan perekonomian, Jakarta jauh melampaui wilayah lain dalam banyak
hal. Ketersediaan infrastruktur, tingkat pendidikan yang baik, dan masifnya
jaringan komunikasi membuat warga Jakarta well-informed voters. Isu apa pun
yang berkembang di tingkat nasional, bahkan daerah, mudah sampai ke Jakarta
karena banyak media.
Pola penyerapan informasi
inilah yang kemudian memengaruhi pengambilan keputusan politik warga, baik
secara personal maupun kolektif. Sebagai warga kota urban, penduduk Jakarta
sangat menjaga betul sikap independensi politiknya.
Hanya sebagian kecil yang
berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik praktis seperti menjadi anggota
parpol ataupun organ sayapnya. Bahkan, secara ekstrem, sikap independensi ini
mengarah pada tindakan golput yang mencapai 33,2 persen pada putaran kedua
pilkada tahun lalu.
Mencermati data elektoral, bisa
dikatakan bahwa Jakarta adalah wilayah bebas. Pemilihnya cenderung kejam
karena memiliki ekspektasi politik tinggi.
Mengapa demikian? Pada Pemilu
1999, PDIP berhasil menjadi pemenang di Jakarta dengan perolehan suara tingkat
DPR sebesar 1.895.864. Pemilu demokratis pertama pasca-Orde Baru (Orba) ini
menyajikan fakta bahwa Jakarta ketika itu berada dalam kondisi merah total
(metal).
Faktor ketokohan Megawati
sebagai figur teraniaya sepanjang Orba dan ekspresi kebebasan dari
cengkeraman tirani era tersebut mendorong warga Jakarta memilih PDIP.
Bahkan, tanpa melihat lagi
kualitas calegnya, pemilih seakan tutup mata atas hal-hal substansial seperti
program kerja, platform partai, dan sikap politiknya. Ribuan posko PDIP didirikan
dari jalan besar sampai gang-gang sempit. Jelas PDIP menuai keuntungan dari
euforia politik.
Namun, sikap ini tak bertahan
sampai lima tahun karena pada pemilu tahun 2004 perolehan suara PDIP jeblok.
Dengan hanya mendulang 610.653 suara, PDIP ditinggalkan pemilihnya. Sikap
PDIP yang kembali mendukung Gubernur DKI, Sutiyoso, yang dianggap gagal,
ditengarai berkontribusi atas anjloknya suara partai banteng gemuk ini.
Selain tentunya putusan itu
juga mengundang kontroversi karena Sutiyoso dianggap sebagai salah satu aktor
kasus 27 Juli 1996.
Pemilu 2004 menjadi saksi PKS
mampu merebut simpati warga Jakarta. Meski miskin figur nasional, PKS justru
muncul melalui gagasan politik yang bersih dan santun. PKS merebut dukungan
1.035.834 suara.
Bahkan, calegnya, Hidayat Nur
Wahid, melampaui hitungan BPP untuk maju ke Senayan dari daerah pemilihan
Jakarta, sedangkan dukungan untuk tingkat DPRD dikumpulkan 941.648 suara.
Pada saat itu, jelas PKS diuntungkan kampanye caleg bersih dan kepemimpinan
muda yang digaungkan kekuatan kelompok sipil.
Masifnya serangan iklan Partai
Demokrat dan kekuatan figur SBY mampu menggoyahkan simpati warga Jakarta
terhadap PKS pada Pemilu 2009.
Tak urung, suara PKS pun
tumbang dan hanya menyisakan dukungan 696.076 suara. Partai Demokrat menjadi
idola baru di Jakarta dengan meraih 1.326,894 suara. Hal yang sama terjadi
pada tingkat DPRD dengan 1.208.885 suara atau setara dengan 32 kursi. Ini
menempatkan Demokrat sebagai fraksi terbesar di Kebon Sirih.
Peta
Lalu, bagaimanakah peta politik
Jakarta pada tahun 2014? Perlu dilihat berbagai kecenderungan politik dan
sosial yang berkembang. Isu berubah secara dinamis dan besar pengaruhnya.
Pemilu 1999, saat reformasi masih seumur jagung, menggotong isu antistatus
quo Orba. Tak pelak, parpol yang mengusung semangat ini menjadi pilihan.
Pada sisi lain, parpol yang
dianggap sebagai representasi Orba ditinggalkan pendukung. Isu politik bersih
menjadi magnet besar Pemilu 2004. Tak banyak yang mampu memanfaatkan
kekecewaan pemilih Jakarta atas sistem pemerintahan yang masih korup
pasca-Orba, sedangkan isu perubahan justru menjadi dominan di hati para
pemilih.
Harapan akan adanya kehidupan
yang lebih baik pada periode kedua kepemimpinan dan ketokohan SBY serta
berbagai program populis pemerintah mendukung pembentukan citra kepemimpinan
Partai Demokrat. Jelas, pada Pemilu 2014, isu antikorupsi, antidinasti
politik, dan pencitraan sagat dicermati pemilih.
Tampaknya Partai Demokrat sulit
mengelak, meski tak ada jaminan bahwa parpol lain juga bisa mengambil
keuntungan dari "kartu mati" Partai Demokrat tersebut. Guna
memenangi pertarungan juga perlu memahami karakteristik pemilih. Selain
heterogenitas sosial yang tinggi, pemilih Jakarta langsung berinteraksi
dengan pusat kekuasaan dan isu-isu nasional.
Swing voters tinggi karena
masyarakatnya memiliki pendidikan yang baik dan mampu menyerap informasi yang
luas. Situasi ini kemudian diperumit karena regulasi kampanye semakin ketat
dan tak bisa masif lagi. Akibatnya, metode blusukan menjadi bentuk sosialisasi
yang banyak dilakukan caleg.
Berbeda dengan Jokowi dalam
Pilkada 2012, saat warga memandang Gubernur Fauzi Bowo sebagai musuh bersama
karena dianggap gagal, blusukan para caleg justru cenderung absurd. Sebab
program kampanye legislatif yang ditawarkan tidak solutif. Programnya bukan
jalan keluar problematika sosial warga Jakarta.
Ketokohan figur nasional bisa
menjadi daya tarik kembali bagi pemilih. Beruntung parpol seperti PDIP (dan
Gerindra) karena memiliki political booster Jokowi dan Ahok pada tingkat
lokal. Kinerja dan pola laku Gubernur-Wagub petahana ini bisa membantu
membangun citra parpolnya sebagai prorakyat.
Sebaliknya, bila persepsi
pemilih memandang negatif kepemimpinan mereka berdua, bukan tak mungkin
pemilih mengalihkan dukungan kepada parpol lain yang dianggap menjadi
representasi atas politik ideal pemilih.
Adu kebijakan pemerintah pusat
dan DKI terjadi, terutama berkaitan dengan isu-isu populis seperti kemacetan,
transportasi massal, bahan bakar, kebutuhan pokok, jaminan kesehatan, dan lain-lain.
Ini juga akan menjadi bagian nyata persaingan politik antarparpol
memperebutkan simpati tujuh juta pemilih.
Tak ada parpol yang menang dua
kali berturut-turut. Untuk merebut suara warga, perlu kerja keras mendekati
pemilih dan memahami karakteristik sambil menawarkan program kampanye yang
riil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar