Sabtu, 11 Januari 2014

Memperebutkan Suara Warga DKI

                           Memperebutkan Suara Warga DKI

Karel Susetyo  ;    Penulis ikut mendirikan UBK, Analis politik Point Indonesia
KORAN JAKARTA,  03 Januari 2014
                                                                                                                     


Pemilu 2014 sebentar lagi berlangsung. Jakarta sebagai ibu kota negara menjadi barometer politik wilayah lain. Meski tak cukup menentukan bagi kemenangan parpol secara nasional karena pemilihnya hanya sekitar tujuh juta, tetap saja menarik membaca persaingan parpol di Jakarta. 

Tak seperti wilayah lain yang dapat dipetakan ke dalam basis konstituen tradisional sebuah politik aliran tertentu, Jakarta memang berbeda. Misalnya, Jateng sebagai basis nasionalis-soekarnois cenderung menjadi wilayah PDIP atau Jatim dengan NU yang identik PKB. Jakarta bisa disebut sebagai wilayah "tak bertuan" yang bebas direbut parpol mana pun. Tulisan ini akan menganalisis Jakarta tahun 2014 dengan data elektoral dan kecenderungannya. 

Sebagai pusat pemerintahan, bisnis, dan perekonomian, Jakarta jauh melampaui wilayah lain dalam banyak hal. Ketersediaan infrastruktur, tingkat pendidikan yang baik, dan masifnya jaringan komunikasi membuat warga Jakarta well-informed voters. Isu apa pun yang berkembang di tingkat nasional, bahkan daerah, mudah sampai ke Jakarta karena banyak media. 

Pola penyerapan informasi inilah yang kemudian memengaruhi pengambilan keputusan politik warga, baik secara personal maupun kolektif. Sebagai warga kota urban, penduduk Jakarta sangat menjaga betul sikap independensi politiknya.

Hanya sebagian kecil yang berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik praktis seperti menjadi anggota parpol ataupun organ sayapnya. Bahkan, secara ekstrem, sikap independensi ini mengarah pada tindakan golput yang mencapai 33,2 persen pada putaran kedua pilkada tahun lalu.

Mencermati data elektoral, bisa dikatakan bahwa Jakarta adalah wilayah bebas. Pemilihnya cenderung kejam karena memiliki ekspektasi politik tinggi.
Mengapa demikian? Pada Pemilu 1999, PDIP berhasil menjadi pemenang di Jakarta dengan perolehan suara tingkat DPR sebesar 1.895.864. Pemilu demokratis pertama pasca-Orde Baru (Orba) ini menyajikan fakta bahwa Jakarta ketika itu berada dalam kondisi merah total (metal).

Faktor ketokohan Megawati sebagai figur teraniaya sepanjang Orba dan ekspresi kebebasan dari cengkeraman tirani era tersebut mendorong warga Jakarta memilih PDIP.

Bahkan, tanpa melihat lagi kualitas calegnya, pemilih seakan tutup mata atas hal-hal substansial seperti program kerja, platform partai, dan sikap politiknya. Ribuan posko PDIP didirikan dari jalan besar sampai gang-gang sempit. Jelas PDIP menuai keuntungan dari euforia politik. 

Namun, sikap ini tak bertahan sampai lima tahun karena pada pemilu tahun 2004 perolehan suara PDIP jeblok. Dengan hanya mendulang 610.653 suara, PDIP ditinggalkan pemilihnya. Sikap PDIP yang kembali mendukung Gubernur DKI, Sutiyoso, yang dianggap gagal, ditengarai berkontribusi atas anjloknya suara partai banteng gemuk ini.

Selain tentunya putusan itu juga mengundang kontroversi karena Sutiyoso dianggap sebagai salah satu aktor kasus 27 Juli 1996. 

Pemilu 2004 menjadi saksi PKS mampu merebut simpati warga Jakarta. Meski miskin figur nasional, PKS justru muncul melalui gagasan politik yang bersih dan santun. PKS merebut dukungan 1.035.834 suara.

Bahkan, calegnya, Hidayat Nur Wahid, melampaui hitungan BPP untuk maju ke Senayan dari daerah pemilihan Jakarta, sedangkan dukungan untuk tingkat DPRD dikumpulkan 941.648 suara. Pada saat itu, jelas PKS diuntungkan kampanye caleg bersih dan kepemimpinan muda yang digaungkan kekuatan kelompok sipil. 

Masifnya serangan iklan Partai Demokrat dan kekuatan figur SBY mampu menggoyahkan simpati warga Jakarta terhadap PKS pada Pemilu 2009.
Tak urung, suara PKS pun tumbang dan hanya menyisakan dukungan 696.076 suara. Partai Demokrat menjadi idola baru di Jakarta dengan meraih 1.326,894 suara. Hal yang sama terjadi pada tingkat DPRD dengan 1.208.885 suara atau setara dengan 32 kursi. Ini menempatkan Demokrat sebagai fraksi terbesar di Kebon Sirih.

Peta

Lalu, bagaimanakah peta politik Jakarta pada tahun 2014? Perlu dilihat berbagai kecenderungan politik dan sosial yang berkembang. Isu berubah secara dinamis dan besar pengaruhnya. Pemilu 1999, saat reformasi masih seumur jagung, menggotong isu antistatus quo Orba. Tak pelak, parpol yang mengusung semangat ini menjadi pilihan. 

Pada sisi lain, parpol yang dianggap sebagai representasi Orba ditinggalkan pendukung. Isu politik bersih menjadi magnet besar Pemilu 2004. Tak banyak yang mampu memanfaatkan kekecewaan pemilih Jakarta atas sistem pemerintahan yang masih korup pasca-Orba, sedangkan isu perubahan justru menjadi dominan di hati para pemilih. 

Harapan akan adanya kehidupan yang lebih baik pada periode kedua kepemimpinan dan ketokohan SBY serta berbagai program populis pemerintah mendukung pembentukan citra kepemimpinan Partai Demokrat. Jelas, pada Pemilu 2014, isu antikorupsi, antidinasti politik, dan pencitraan sagat dicermati pemilih. 

Tampaknya Partai Demokrat sulit mengelak, meski tak ada jaminan bahwa parpol lain juga bisa mengambil keuntungan dari "kartu mati" Partai Demokrat tersebut. Guna memenangi pertarungan juga perlu memahami karakteristik pemilih. Selain heterogenitas sosial yang tinggi, pemilih Jakarta langsung berinteraksi dengan pusat kekuasaan dan isu-isu nasional. 

Swing voters tinggi karena masyarakatnya memiliki pendidikan yang baik dan mampu menyerap informasi yang luas. Situasi ini kemudian diperumit karena regulasi kampanye semakin ketat dan tak bisa masif lagi. Akibatnya, metode blusukan menjadi bentuk sosialisasi yang banyak dilakukan caleg. 

Berbeda dengan Jokowi dalam Pilkada 2012, saat warga memandang Gubernur Fauzi Bowo sebagai musuh bersama karena dianggap gagal, blusukan para caleg justru cenderung absurd. Sebab program kampanye legislatif yang ditawarkan tidak solutif. Programnya bukan jalan keluar problematika sosial warga Jakarta. 

Ketokohan figur nasional bisa menjadi daya tarik kembali bagi pemilih. Beruntung parpol seperti PDIP (dan Gerindra) karena memiliki political booster Jokowi dan Ahok pada tingkat lokal. Kinerja dan pola laku Gubernur-Wagub petahana ini bisa membantu membangun citra parpolnya sebagai prorakyat.

Sebaliknya, bila persepsi pemilih memandang negatif kepemimpinan mereka berdua, bukan tak mungkin pemilih mengalihkan dukungan kepada parpol lain yang dianggap menjadi representasi atas politik ideal pemilih. 

Adu kebijakan pemerintah pusat dan DKI terjadi, terutama berkaitan dengan isu-isu populis seperti kemacetan, transportasi massal, bahan bakar, kebutuhan pokok, jaminan kesehatan, dan lain-lain. Ini juga akan menjadi bagian nyata persaingan politik antarparpol memperebutkan simpati tujuh juta pemilih. 

Tak ada parpol yang menang dua kali berturut-turut. Untuk merebut suara warga, perlu kerja keras mendekati pemilih dan memahami karakteristik sambil menawarkan program kampanye yang riil. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar