PELUNCURAN BUKU JELANG
PEMILU
“Selalu
Ada Pilihan”
yang
Dipikirkan dan Dilakukan SBY
St Sularto ; Wartawan Senior
Kompas
|
KOMPAS,
17 Januari 2014
JUDUL utama buku setebal 824 halaman itu Selalu Ada Pilihan. Subjudulnya Untuk Pencinta Demokrasi dan Para Pemimpin
Indonesia Mendatang, dicetak dalam format 15,5 x 23 cm. Setelah sekitar
satu tahun ditulis dan diproses, Jumat, 17 Januari, buku ini diluncurkan.
Ditulis sendiri oleh Susilo
Bambang Yudhoyono, dicicil selama satu tahun, selesai 70 persen pada
pertengahan Juli 2013. Semula sebelum hurufnya diperkecil, tebalnya 1.084
halaman.
Ketika tim penerbitnya, Penerbit
Buku Kompas, diundang SBY ke Puri Cikeas, 14 Oktober 2013, dia sampaikan
kronologi penulisan, garis besar isi buku, dan beragam kemungkinannya. ”Atas kehadiran buku ini, segala
kemungkinan sudah saya pikirkan dan kalkulasikan baik-baik, termasuk respons
negatif dan komentar minor, seperti Presiden, kok, menulis buku. Harusnya
bekerja atau SBY, kan, hanya mau curhat,” kata SBY.
Dengan iPad, SBY menulis buku itu
di tengah tugas kenegaraan, di keheningan malam, di sejumlah kota, dalam
perjalanan ke luar kota atau ke luar negeri.
Setidaknya baru ada lima kepala
negara atau kepala pemerintahan yang menulis sendiri bukunya, satu di
antaranya presiden ke-6 RI ini. Di Indonesia inilah yang pertama kali. Yang
lainnya adalah Nelson Mandela, Luiz Inacio Lula da Silva, Ariel Sharon, dan
Lee Myung-bak. Empat di antaranya dalam bentuk otobiografi, sementara buku
SBY bukanlah otobiografi.
Kata SBY, ”Dalam tiga-lima tahun ke depan, saya akan menulis dua buku lagi.
Yang satu semacam memoar politik, lainnya otobiografi.”
Dengan cover putih,
kecuali judul berwarna merah, nama penulis, dan subjudul, tidak ada foto
kecuali headshot penulis berwarna di sampul belakang, buku ini
menyiratkan kejujuran dan maksud baik penulis SBY. Mau berbagi refleksi dan
pengalaman yang semoga bermanfaat bagi masyarakat, termasuk mereka yang saat
ini siap-siap berlaga dalam Pilpres 2014. SBY berharap kandungan buku ini
bisa dijadikan bahan belajar.
Capres itu superstar
Terdiri atas empat bab dan setiap
bab terdiri atas beberapa artikel, isinya menarik karena peristiwanya sedang
bergulir dalam masyarakat. Misalnya, artikel ”Yang Menentukan Capres (”Super Star”) Bukan Tim Sukses dan Para
Pengurus” (hal 371-373) serta artikel ”Pers dan Media Massa Biasanya Tidak
Berpihak kepada ’Incumbent’” (hal 440-445).
Menurut SBY, penentu kemenangan
dalam pilpres adalah calon itu sendiri (60 persen). Faktor infrastruktur
partai pengusung 10 persen dan tim sukses 30 persen. Capres disebutnya
superstar, yang dirujuk dari kemenangannya pada Pilpres 2004 dengan pengusung
Partai Demokrat yang baru berusia tiga tahun.
Pada pilpres putaran pertama, SBY
hanya memperoleh 33,57 persen, tetapi pada putaran kedua mendapatkan dukungan
suara 60 persen lebih. Pada putaran kedua, dari sisi partai politik
pendukung, jumlah suara pemilu legislatif dari Partai Demokrat hanya 20,8
persen, sementara perolehan suara SBY tiga kali lipat dari perolehan Partai
Demokrat. Tulis SBY, ”Ini menunjukkan,
sekali lagi, bukan partai politik pendukung yang lebih menentukan kemenangan
dalam pemilihan presiden” (hal 373).
SBY menyarankan, ”Rajinlah para capres berkomunikasi di
dunia media sosial. Anda tidak khawatir menghadapi tebang pilih versi pers.
Anda tidak pusing dengan barriers media tertentu terhadap Anda
karena sikap politik dan kebijakan pemiliknya. Anda bisa berkomunikasi
langsung dengan followers Anda” (hal 441).
Tentang korupsi, dia tegaskan,
pertama, Partai Demokrat mendukung penuh pemberantasan korupsi, tidak tebang
pilih, tidak pandang bulu. Kedua, jika ada kader yang memang terlibat
korupsi, partai tak akan melindungi. Jika ada kader yang dijadikan tersangka,
partai tak akan berteriak dan mengatakan, ”Ah, itu pesanan politik. Itu
campur tangan politik. Itu konspirasi, partai kami tidak bersalah” (hal
442-443). SBY mengapresiasi netralitas TNI dan Polri. Rakyat Indonesia ingin
TNI dan polisinya netral (hal 473-477).
Bukan hanya soal pemilu dan
pilpres dengan tali-temalinya persoalan nasional dan saran bagi para peserta
Pilpres 2014 dalam bab III dan bab IV. Bab I dan bab II berkisah tentang
kondisi aktual negeri ini. Dia tunjukkan bagi para calon presiden kalau
terpilih siap-siaplah dikecam dan dikritik (hal 121-127), tentang baju batik
yang dikenakan dan lain-lainnya, dalam kedua bab di atas. Mengenai kritik
pers, pengamat, dan banyak orang, SBY sering menghibur diri. Dia kutipkan
kalimat bijak, di antaranya, ”A critic
is a man who knows the way but can’t drive the car” (hal 127).
Buku ini bukan curhat, bukan pembelaan
diri, melainkan keinginan SBY berbagi pengalaman dan pengetahuan.
Aktualitasnya tinggi menyangkut tahun politik 2014. Penuturan dengan kosakata
sederhana dan bukan dengan analisis ilmiah menjadi daya tarik lainnya. Tanpa
sengaja menjadi bonus plus untuk legacy SBY: bukan hanya tentara,
presiden, melainkan juga penggubah lagu dan penulis buku. Begitu sebuah buku
tersaji di ranah publik, terbuka untuk pujian, kajian, kecaman, dan kritik! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar