Jumat, 17 Januari 2014

Siapa Kuasai Lautan, Kuasai Dunia

Siapa Kuasai Lautan, Kuasai Dunia

Rokhmin Dahuri  ;  Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Maritim dan Perikanan
KOMPAS,  17 Januari 2014
                                                                                                                        


AMBISI China untuk menguasai dunia makin ekspresif. Sabtu, 23 November 2013, Departemen Pertahanan China mengumumkan pemetaan Zona Identifikasi Pertahanan Udara di Laut China Timur.

Dalam zona ini, Beijing memasukkan rangkaian kepulauan yang disengketakan dengan Jepang sebagai miliknya. Dengan klaim sepihak China itu, sengketa Kepulauan Sinkaku (versi Jepang) atau Diaoyu (versi China) memasuki tahap yang kian genting. Klaim sepihak China itu langsung direspons Jepang dan AS. Washington mengingatkan Beijing bahwa kawasan sengketa tersebut masuk dalam pakta kerja sama militer Jepang dan AS. Artinya, jika China menyerang Jepang, Beijing harus menghadapi AS.

Aksi China tersebut jelas menunjukkan ambisi Beijing untuk menguasai dunia. Apabila dulu ambisi ini didengungkan Beijing dengan mengusung sejarah kekuasaan imperium China yang meliputi Laut China Timur, kini setelah China jadi negeri raksasa ekonomi—nomor dua setelah AS—ambisi itu mulai diimplementasikan melalui berbagai kebijakan penguasaan kelautannya yang ekspansionis.

Sejauh ini, Beijing tampaknya masih menemui ganjalan untuk mengklaim kepemilikan Pulau Diaoyu karena AS masih melindungi Jepang. Jika konstelasi politik internasional berubah, bukan tak mungkin ambisi China tersebut akan diteruskan dengan aksi militer terhadap Jepang. Jika hal itu terjadi, konstelasi politik-ekonomi dunia niscaya akan berubah. Beijing akan makin berani dan leluasa untuk menguasai Laut China Timur, Selatan, dan Pasifik secara keseluruhan. Usaha China untuk menguasai lautan, yang juga berarti menguasai dunia, sudah tergambar dalam strategi China masa depan.

Jika di timur, China berusaha menguasai Kepulauan Sinkaku (Diaoyu); di selatan, China mengklaim Kepulauan Spratley yang juga diklaim milik Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Mengapa China sangat berambisi menguasai Spratley? Karena di wilayah laut yang dipersengketakan oleh China dengan empat negara ASEAN tersebut, konon terkandung sumber daya ikan sedikitnya 2,5 juta ton per tahun (35 persen dari total potensi ikan laut Indonesia), cadangan migas yang sangat besar, dan berbagai mineral lain. Lebih dari itu, penguasaan atas Spratley memperluas akses China untuk menguasai Samudra Hindia.

Integrasi pembangunan

Sejak jauh hari China telah mempersiapkan diri untuk jadi ruler of the wave, mengungguli AS dan menguasai dunia. Bagi China dengan jumlah penduduk 1,4 miliar jiwa, mereka tidak mungkin mampu memenuhi kebutuhan pangan, energi, obat-obatan, dan sumber daya alam (SDA) lainnya hanya dari lahan daratan. Oleh karena itu, Beijing membangun infrastruktur, industri, dan kawasan ekonomi khusus secara masif dan kolosal: diawali dari wilayah pesisir, mulai pantai selatan seperti Kota Shenzhen dan Guangzhou, hingga pantai utara seperti Shanghai dan Dalian.

Pelabuhan laut kelas dunia, industri galangan kapal, elektronik, otomotif, teknologi informasi, perikanan tangkap, budidaya laut, bioteknologi kelautan, dan beragam industri lainnya dibangun di sepanjang wilayah pesisir. Dalam dekade terakhir, para ilmuwan dan entrepreneur China, didukung penuh oleh pemerintahnya melalui aplikasi bioteknologi, telah membudidayakan beberapa jenis tanaman pangan di wilayah laut pesisirnya.

Untuk dapat menguasai dan mendayagunakan laut bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kedigdayaan bangsanya, dalam dekade terakhir China membangun sejumlah perguruan tinggi bidang kelautan. Sebut saja Shanghai Maritime University, Shanghai Fisheries University, dan Guangdong Ocean University.

Pembangunan di wilayah darat dan bagian hulu untuk mendukung perekonomian berbasis kelautannya, disesuaikan dengan potensi lokalnya. Lalu, antara wilayah hulu, pesisir, dan lautan dihubungkan dengan infrastruktur dan sarana perhubungan (darat, laut, udara) sangat modern dengan kualitas internasional.

Strategi pembangunan seperti ini diistilahkan sebagai strategi ”membakar obat nyamuk” (berawal dari pinggir—dalam hal ini laut—lalu menuju ke tengah atau darat). Ternyata strategi ini berhasil: sistem perekonomian China sangat efisien dan kompetitif. Hasilnya, hanya dalam dua dekade ”Negeri Tirai Bambu” ini mampu mentransformasi dirinya, dari bangsa terbelakang dan miskin menjadi bangsa maju dan makmur sejak 2000. Pertumbuhan ekonomi rata-rata dalam 20 tahun terakhir 10 persen per tahun. Sejak 2011, besaran ekonomi (PDB) China menempati urutan kedua di dunia setelah AS dan diperkirakan bakal menggeser posisi AS pada 2017.

Dalam bidang kelautan, misalnya, China produsen perikanan terbesar (65 juta ton), produsen kapal terbesar kedua di dunia, dan kini memiliki kekuatan pertahanan maritim serta menguasai iptek kelautan setingkat dengan AS. Ke depan, di bawah kepemimpinan Xi Jinping yang sangat visioner, China dipastikan bakal lebih mengandalkan laut sebagai sumber pangan, energi, mineral, dan SDA lainnya. Xi Jinping, seperti halnya kaisar- kaisar China masa lalu, meyakini: siapa yang menguasai lautan, maka akan menguasai dunia.

Pelajaran bagi Indonesia

Bagaimana Indonesia, yang 75 persen wilayahnya lautan? Indonesia seharusnya melakukan lebih daripada apa yang telah dilakukan China. Sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia, wilayah laut dan pesisir Indonesia mengandung berbagai macam SDA terbarukan dan yang tidak terbarukan.

Wilayah lingkungan laut serta segenap SDA yang terkandung di dalamnya dapat didayagunakan melalui sedikitnya 11 sektor ekonomi: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) transportasi laut, (8) industri dan jasa maritim, (9) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, (10) coastal forestry, dan (11) SDA nonkonvensional. Total nilai ekonomi dari 11 sektor itu diperkirakan mencapai 1,2 triliun dollar AS per tahun, lebih besar daripada PDB Indonesia saat ini (1 triliun dollar AS). Lebih dari itu, sektor-sektor ekonomi kelautan mampu menciptakan lapangan kerja bagi 40 juta orang.

Dengan mendayagunakan potensi kelautan, ekonomi kelautan tak saja bakal mampu mengeluarkan Indonesia dari permasalahan kekinian, seperti pengangguran, kemiskinan, dan rendahnya daya saing, tetapi juga akan mengantarkan Indonesia sebagai bangsa maritim yang besar, maju, sejahtera, dan berdaulat dalam waktu dekat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar