Merajut
Optimisme Pemilu 2014
Syamsuddin Haris ;
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
11 Januari 2014
PERTANYAAN besar yang
menggantung di langit-langit pikiran kita memasuki 2014 adalah apakah pemilu
legislatif dan pemilu presiden menjanjikan perubahan politik yang bermakna
bagi bangsa ini ke depan?
Pertanyaan semacam ini
sangat wajar diajukan mengingat pengalaman pahit dan memalukan bangsa kita
pada ”tahun politik” 2013. Betapa tidak, tahun politik yang semestinya lebih
mengedepankan etika berpolitik dan kebajikan berpemerintahan justru diwarnai
korupsi dan persekongkolan politik hampir tiada tara.
Ketua Mahkamah
Konstitusi, institusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir penegakan
konstitusi, tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ketika diduga
menerima suap terkait sengketa hasil Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan
Tengah. Sebelum itu KPK menggiring Presiden Partai Keadilan Sejahtera ke
Pengadilan Tipikor karena dituduh terlibat pengaturan kuota impor daging sapi
di Kementerian Pertanian. Ketua umum Partai Demokrat dan sekretaris Dewan
Pembina Partai Demokrat jadi tersangka kasus proyek pembangunan pusat
olahraga Hambalang, Bogor.
Semangat luar biasa
KPK memberantas korupsi saling berkejaran dengan temuan baru kasus korupsi
dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat publik. Di luar kasus dugaan
suap dan korupsi yang menimpa Akil Mochtar, Luthfi Hasan Ishaaq, Anas
Urbaningrum, dan mantan Menpora Andi Mallarangeng, tahun (korupsi) politik
2013 juga ditandai antara lain penangkapan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini
dan penetapan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka sejumlah
kasus hukum oleh KPK.
Problem skema pemilu
Sulit dimungkiri,
skema pemilu-pemilu kita sejauh ini lebih didesain untuk memenuhi aspek
prosedural demokrasi ketimbang menghasilkan para pejabat publik yang amanah
dan bertanggung jawab. Format pemilu legislatif, misalnya, lebih
mengedepankan persyaratan formal administratif daripada faktor kompetensi,
kapabilitas, dan integritas para kandidat yang diajukan parpol.
Perangkat hukum pemilu
hanya memfasilitasi mereka yang mampu menjual popularitas, yang acap kali
semu, ketimbang rekam jejak teruji sebagai calon wakil rakyat. Peluang publik
semakin terbatas lagi ketika 70-80 persen kandidat yang diajukan parpol
adalah para legislator yang selama ini cenderung berkinerja buruk.
Seusai
pemilu, lagi-lagi hampir tidak ada ruang bagi publik menggugat kinerja para
wakil terpilih yang tidak bertanggung jawab. Skema pemilu presiden tidak jauh
berbeda. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden yang
menjadi dasar pilpres mendatang lebih memfasilitasi para ketua umum parpol
sebagai calon presiden ketimbang menjadi wadah bagi tampilnya tokoh-tokoh
terbaik negeri ini. Sebagian capres bahkan ditetapkan secara oligarkis
dan tertutup oleh segelintir pimpinan pusat parpol masing-masing.
Di atas segalanya,
format pemilu legislatif dan pilpres tidak menjanjikan hadirnya pemerintahan
hasil pemilu yang terkoreksi dan akuntabel. Skema pemilu-pemilu di satu
pihak, dan penegakan pemerintahan yang bersih, efektif, dan akuntabel di
pihak lain, seolah-olah dua agenda terpisah yang tak terkait satu sama lain.
Tak mengherankan jika, ketika pemilu-pemilu kian bebas, demokratis, dan
bahkan langsung, praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan tak berkurang.
Ruang optimisme
Lalu, masih adakah
ruang yang tersisa bagi optimisme publik?
Pertama, di tingkat
negara, masih ada lembaga KPK yang menjanjikan optimisme dengan para
komisioner dan penyidik yang tidak mengenal lelah, serta (semoga) tidak
terkontaminasi kepentingan politik jangka pendek. Di luar KPK, ada institusi
peradilan seperti Mahkamah Agung yang akhir-akhir ini memberi harapan dengan
melipatgandakan hukuman dan ganti rugi bagi beberapa terpidana koruptor.
Sementara itu, di tingkat daerah, masih ada tokoh fenomenal seperti Gubernur
DKI Jakarta Joko Widodo dan sejumlah kepala daerah lain yang layak memperoleh
apresiasi atas kinerja mereka dalam menegakkan pemerintahan yang relatif
bersih, efektif, dan akuntabel.
Kedua, di tingkat
masyarakat, ada organisasi-organisasi luar biasa seperti Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama yang tidak henti-hentinya menyikapi secara kritis arah kebijakan
negara dan pemerintah serta mengawal demokrasi kita agar tetap berpihak pada
kepentingan kolektif bangsa. Di luar itu, terdapat anak-anak muda volunter,
seperti tecermin dari fenomena Indonesia Corruption Watch (ICW), yang setiap
saat siap membongkar korupsi, kebusukan politik, dan penyalahgunaan kekuasaan
yang dilakukan para penyelenggara negara di semua tingkat pemerintahan, di
pusat dan daerah.
Ketiga, masih di
tingkat masyarakat, ada kekuatan media sebagai salah satu elemen utama
tegaknya pemerintahan demokratis. Meskipun ada beberapa media yang menjadi
bendera politik bagi parpol ataupun kandidat tertentu, hal itu tidak
mengurangi kontribusi media pada umumnya, termasuk media online dan
media sosial, dalam turut mengawal rasionalitas demokrasi kita. Melalui
berbagai media ini pula para penjaga hati nurani bangsa seperti Buya Syafii
Maarif dan kaum akademisi yang masih peduli dapat mengingatkan para elite
politisi dan penyelenggara agar kembali ke jalan benar.
Menyelamatkan pemilu
Kendati KPK, ICW, dan
berbagai elemen masyarakat sipil tidak terkait langsung dengan urusan
persiapan pemilu, kepedulian lembaga dan tokoh-tokoh perorangan tersebut
sekurang-kurangnya memberi harapan akan hari esok yang masih cerah.
Artinya, dalam situasi
ketika skema pemilu tidak menjanjikan dan para politisi parpol hanya sibuk
bersolek diri menghitung potensi elektabilitas, harapan bangsa ini terletak
pada potensi kerja sama dan konsolidasi berbagai elemen masyarakat sipil,
baik dalam mendukung kerja KPK maupun mengawal proses pemilu dan pemerintahan
hasil pemilu.
Harapan akan perubahan
politik yang lebih bermakna bisa dirajut apabila segenap jajaran
penyelenggara pemilu, mulai dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu), hingga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), bisa
mempertahankan independensi mereka dari pengaruh berbagai kepentingan
politik. Selain itu, optimisme publik akan lebih kuat lagi jika ada
kerja sinergis antara lembaga-lembaga penyelenggara pemilu dan berbagai
elemen masyarakat sipil dalam mengawal pemilu dan demokrasi kita.
Oleh karena itu,
komitmen KPK untuk turut mengawal Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014
antara lain dengan mengundang para capres untuk menyampaikan visi dan
komitmen mereka dalam pemberantasan korupsi (Kompas.com, 30/12/2013), patut
diapresiasi. Jajaran KPU, Bawaslu, dan DKPP perlu merespons secara positif
tawaran KPK tersebut bukan hanya dalam rangka kualitas penyelenggaraan
pemilu, melainkan juga sebagai momentum untuk memulihkan kembali kepercayaan publik
terhadap pemilu itu sendiri.
Pemilu 2014 akan
menjadi pesta demokrasi yang amat mahal, tetapi hambar dan tak bermakna jika
tidak ada kepercayaan publik terhadap proses pemilu, parpol, dan para
kandidat. Karena itu, sebelum energi bangsa ini terbuang sia-sia, segenap
elemen masyarakat sipil perlu mendukung langkah apa pun yang sifatnya
menyelamatkan pemilu dari para pembajak demokrasi yang tidak bertanggung
jawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar