Sabtu, 11 Januari 2014

Panacea untuk Partai Politik

                                    Panacea untuk Partai Politik

Hajriyanto Y Thohari  ;    Wakil Ketua MPR RI
KOMPAS,  11 Januari 2014
                                                                                                                        


BAGAIMANA kita membaca maraknya konvensi calon presiden di luar partai politik? Juga kian menguatnya kelompok penekan terhadap beberapa partai untuk mengajukan calon presiden tertentu akhir-akhir ini? Atau uji materi terhadap UU Pilpres yang menyangkut ambang batas kepresidenan 20 persen serta tekanan untuk diperbolehkannya calon perseorangan atau independen dan gagasan calon presiden alternatif?  

Pertanyaan itu penting, bahkan sangat penting, dalam era demokrasi langsung dan deliberatif sekarang ini. Pasalnya, gejala seperti itu baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah pemilu presiden (pilpres) di Indonesia dan justru berlangsung pada saat konstitusi secara eksplisit menetapkan satu-satunya institusi politik yang berhak mengajukan pasangan calon presiden (dan calon wakil presiden) dalam pemilu adalah dan hanyalah partai atau gabungan partai. Fatalnya, partai-partai politik abai terhadap gejala ini.

Apakah gejala ini merefleksikan kegalauan,  bahkan skeptisisme, masyarakat berkenaan dengan calon presiden 2014 yang akan datang sebagaimana yang diangkat ke permukaan oleh sebagian kalangan? Jika benar demikian yang terjadi, sejatinya partailah satu-satunya yang bertanggung jawab atas situasi ini.

Pasalnya, sekali lagi, sebagai satu-satunya institusi yang berhak mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, partai yang memiliki fungsi menangkap dan menyerap aspirasi rakyat bisa jadi telah salah tangkap dan keliru serap sehingga capres yang dielu-elus tidak paralel dengan aspirasi rakyat.

Tidak ada yang salah

Sungguh tak ada yang salah dengan sistem ini: partai menjadi satu-satunya yang berhak mengajukan calon presiden. Partai, suka atau tidak, adalah tulang punggung demokrasi. Di negara mana pun yang demokratis, partailah yang berhak dan bertanggung jawab menyiapkan kepemimpinan nasional: presiden atau perdana menteri. Semua perdana menteri di negara dengan sistem parlementer pasti dari atau ketua partai. Mustahil orang menduduki jabatan politik tertinggi ini jika tidak menjabat ketua partai atau dari partai dan menang dalam pemilu. 

Dalam konteks dan perspektif ini, gagasan calon presiden tanpa partai justru merupakan anakronisme berat. Susah  dalam sebuah negara demokrasi membayangkan seorang calon presiden muncul tanpa melalui parpol. Seorang calon presiden semestinya orang yang berkeringat dan merasakan susahnya menghidupkan partai: mereka harus berdarah-darah membesarkan partai dan menghirup debu kampanye selama bertahun-tahun. Itulah alasan mengapa konstitusi kita menegaskan bahwa partai politik merupakan satu-satunya pintu masuk bagi calon presiden. UUD 1945 bukanlah teks untuk diperdebatkan, melainkan untuk ditaati. Suka atau tidak, partai diberi keistimewaan politik oleh konstitusi.

Tragisnya, keistimewaan politik ini pula yang menjadi pangkal kegalauan dan skeptisisme di atas! Sulit dibantah bahwa kepercayaan rakyat terhadap partai sekarang ini rendah. Saking rendahnya, institusi politik terkait dengan partai juga mengalami kemerosotan kepercayaan yang parah. Hampir semua jajak  pendapat menyimpulkan hal ini.  Kemerosotan kepercayaan terhadap partai disebabkan faktor internal dan eksternal. Yang pertama adalah perilaku koruptif orang-orang partai; yang kedua adalah kritik pada parpol yang cenderung kelewat batas.

Politik partai dalam persepsi publik sangatlah transaksional: politik yang sedikit-sedikit duit! ”Suara rakyat suara Tuhan” pun sudah mereka geser menjadi ”suara rakyat suara duit”. Jangankan partai-partai besar, bahkan partai-partai gurem sekalipun juga tak kurang transaksional.

Memperbaiki diri

Lantas, bagaimana rakyat akan percaya kepada institusi yang sedang mengalami kemerosotan legitimasi ini menggodok kader-kadernya menjadi calon presiden? Jangan-jangan nama yang muncul sebagai calon presiden hanyalah hasil transaksional belaka dari sistem yang kian oligarkis dan plutokratis itu.

Tak aneh jika respek kepada pemimpin partai juga surut dalam sekali. Alih-alih dipandang negarawan, bahkan publik punya memori unik, benar atau salah, bahwa naiknya seseorang menjadi pemimpin partai bukanlah karena supremasi dalam olah kepiawaian politik, kepemimpinan, ketokohan, dan kenegarawanan, melainkan lebih karena keunggulan bertransaksi belaka.

Yang eksternal adalah kritik luar biasa keras dan begitu intensif, ekstensif, dan eksesifnya sehingga partai tergerus legitimasinya secara institusional. Pasalnya, kritik sering kali dilakukan secara tidak analitis. Yang koruptif hanyalah sebagian, tetapi yang dihantam adalah keseluruhan. Walhasil, pembusukan dan perusakan partai terus berlangsung secara efektif.

Mungkin penilaian tersebut terkesan dramatis. Namun, fakta menunjukkan kritik-kritik terhadap partai cenderung berlebihan. Obat berlebihan yang diberikan kepada seorang pasien pastilah mematikan!

Partai sekarang ini sudah ada tanda-tanda menuju ke arah itu. Memang mengkritik partai itu sangatlah menarik dan tidak berisiko. Benar, kritik kepada penguasa memang juga ada, tetapi tidak seintensif dan ekstensif kritik kepada partai.

Jika faktanya partai sedang dalam situasi yang begitu mengecewakan, lantas apa yang harus dilakukan partai-partai politik sekarang ini? Jawaban ekstrem adalah partai-partai politik harus turun mesin! Benahi secara total dan menyeluruh sistem kaderisasi dan regenerasi, perekrutan kader, dan mekanisme pemilihan pemimpin!

Tradisi politik uang dan politik transaksional yang sangat destruktif itu mutlak harus dihentikan secara kategoris. Kedua, partai harus benar-benar membaca UUD 1945 dalam semangat inklusivisme, bukannya justru eksklusivisme yang monopolistik dan oligarkik dalam penentuan calon presiden. Pasal 6A UUD 1945 sejatinya bersemangat inklusivisme.

Partai harus menjawab kegalauan dan skeptisisme masyarakat dengan langkah-langkah konkret tersebut. Sebagai pilar demokrasi, partai politik harus memiliki mekanisme untuk memperbaiki diri.

Mustahil orang luar partai mau mencarikan obat mujarab jika partainya sendiri tidak merasa sakit. Partai harus mencari panacea sendiri untuk dirinya. Jika tidak, janganlah meratap di kemudian hari jika partai politik ditendang lagi dari kancah politik seperti dulu. Percayalah! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar