2014,
Memudarnya Romantisme Demokrasi
J Kristiadi ;
Peneliti
Senior CSIS
|
KOMPAS,
07 Januari 2014
TAHUN Baru 2014 dirayakan
bergairah dan meriah hampir di seluruh wilayah Nusantara untuk menyambut
harapan baru. Namun, di wilayah politik justru cenderung terjadi anomali.
Praktik demokrasi justru dinilai memproduksi perilaku korup dan menguras
deposit moral masyarakat. Romantisisme demokrasi sebagai tatanan politik yang
diharapkan dapat menghadirkan kesejahteraan rakyat telah pudar dan malah
menimbulkan kecemasan dan kegentaran berlebihan. Mungkin suasana kebatinan
dan kejiwaan semacam itu dalam bahasa Søren Kierkegaard (1813–1855) disebut angst atau Angst Psychose.
Kegalauan antara lain
diungkapkan melalui kritik tajam dan sarkartis oleh Radhar Panca Dahana
terhadap demokrasi (Kompas, 12/12/2013) yang ditanggapi tenang, dingin,
tetapi bernas dan meyakinkan oleh Magnis-Suseno (Kompas, 2/1). Tidak kurang
Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso tega-teganya mengatakan demokrasi telah
menggerus nilai-nilai luhur bangsa. Salim Said juga mencemaskan kelelahan
demokrasi dapat meng- undang kekuatan yang militeristik (Kompas, 5/1). Bahkan
Panglima Kostrad ikut-ikutan bersuara bahwa demokrasi kini salah arah (Basis,
Nomor 11-12/2013). Sementara itu, beredar stiker bergambar mantan Presiden
Soeharto dengan senyum khasnya meledek: piye
kabare le, isih enak jamanku to (Gimana,
masih enak zaman saya, kan)? Ungkapan sinikal terhadap situasi kekinian.
Kecemasan praktik
demokrasi bukan monopoli Indonesia. Di negara-negara kapitalis, terutama
Amerika Serikat, publik juga galau dengan demokrasi kapitalis yang tidak
dapat mengatasi persoalan kronis dan akut, inequality(ketimpangan
ekonomi) serta insecurity (rasa tidak aman) terhadap jaminan
pekerjaan, ancaman globalisasi, panas bumi, perubahan iklim, kerusakan
lingkungan hidup, dan sebagainya (Jerry Z Muller, ”Capitalism and
Inequality”, Foreign Affairs;
Maret/April, 2013). Bahkan lama sebelumnya, Robert Reich (Supercapitalism: The Battle for Democracy
in an Age of Big Business, 2007), menguraikan panjang lebar demokrasi
kapitalis dikangkangi oleh superkapitalisme. Fenomena tersebut muncul setelah
oligopoli ekonomi tidak dapat dipertahankan akibat berlimpahnya hasil
produksi berkat revolusi teknologi dan modernisasi.
Korporasi raksasa
memerlukan penetrasi pasar global. Ideologi pasar bebas menjadi landasan
pembenar penetrasi ekonomi ke negara lain. Mereka juga memerlukan kepastian
pasar, stabilitas jalur pemasok, serta meminimalkan kompetisi.
Konsekuensinya, para pemilik modal raksasa menyewa para pelobi, pengacara,
juru bicara, serta mendanai kampanye politik untuk mengamankan bisnisnya.
Kedaulatan rakyat telah dibajak oleh pemilik modal raksasa. Superkapitalisme
telah meluber dan menenggelamkan demokrasi. Standar untuk mengatasi penyakit
tersebut, yaitu pajak progresif, jaminan pensiun, jaminan sosial, subsidi,
dan sejenisnya, sudah tidak manjur.
Sebenarnya bangsa
Indonesia beruntung karena pendiri bangsa menyadari bahaya demokrasi
liberal-invidualistik. Perdebatan mereka berujung pada kesepakatan, demokrasi
Indonesia bersumber pada semangat musyawarah dan mufakat. Spirit tersebut
diharapkan dapat menghindarkan Indonesia dari diktator mayoritas dan tirani minoritas
serta terwujudnya keadilan ekonomi.
Sayangnya, gagasan besar
itu tidak berkelanjutan dan hampir lenyap dalam ingatan publik. Para pemegang
otoritas politik terlelap dan terlena dengan nikmatnya kekuasaan dan memuja
ritus-ritus demokrasi tanpa memaknai esensinya. Hakikat dan etika dipaksa
tunduk dengan prosedur. Pendangkalan kehidupan politik menghasilkan mantra
bahwa proses menjadi sarana absah dan ampuh meraih kekuasaan. Oleh sebab itu,
tidak benar sama sekali kalau demokrasi telah menggerus nilai-nilai luhur
bangsa. Perusak moral bangsa bukan demokrasi, melainkan perilaku korup para
petualang politik yang kalap dan rakus kekuasaan.
Momentum pudarnya
romantisisme demokrasi justru harus dijadikan motivasi untuk memaknai politik
sehingga praktik demokrasi tidak semakin dangkal. Orientasinya adalah roh
bangsa yang digali melalui perdebatan keras dan sengit oleh pendiri bangsa:
Pancasila. Pemikiran besar untuk menggali lebih dalam gagasan cemerlang,
seperti sosio-demokrasi, harus menjadi agenda perdebatan yang diharapkan
dapat menghasilkan model tatanan kekuasaan sesuai martabat bangsa. Memudarnya
romantisisme demokrasi harus digantikan dengan kerja keras disertai niat
politik yang luhur. Pelajaran penting, demokrasi bukan mantra yang sekejap
dapat menyulap situasi buruk menjadi baik. Demokrasi adalah pilihan buruk di
antara alternatif lain yang lebih buruk.
Namun, di balik
kegelisahan, masih banyak sekali generasi muda yang rela berjibaku untuk
memperbaiki praktik penyelenggaraan negara agar lebih baik. Mereka dengan
gigih dan pantang menyerah bergabung dalam berbagai aktivitas untuk
meluruskan dan mengoreksi praktik demokrasi yang dimanipulasi oleh elite
politik.
KPK juga dengan heroik
memberikan kontribusi signifikan bagi penguatan demokrasi melalui perjuangan
memiskinkan koruptor. Demikian pula PPATK, yang dengan jeli dan cerdas
membongkar harta haram penjarah kekayaan negara, juga memprakarsai menyusun
UU Perampasan Harta Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang. Pemilik harta harus
menjelaskan asal-usulnya, jika gagal, harta dapat dirampas negara (Kompas,
4/1). Bertolak dari dinamika tersebut, tidak ada alasan untuk pesimistis.
Tatanan negara memang kacau, tetapi bangsa Indonesia terlalu kuat untuk gagal
hanya gara-gara segelintir elite politik yang korup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar