Jumat, 24 Januari 2014

Korupsi dan Keterwakilan Politik Perempuan

Korupsi dan Keterwakilan Politik Perempuan

Umbu TW Pariangu   ;    Dosen Fisipol Undana, Kupang 
MEDIA INDONESIA,  23 Januari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         

PENETAPAN Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka terkait dengan sengketa pemilu kepala daerah (pemilu kada) Kabupaten Lebak, Banten, dan korupsi pengadaan alat kesehatan memperpanjang deret perempuan Indonesia yang berurusan dengan hukum.

Mereka memang hanya secuil sosok dari ekses demokrasi kita yang kerap menjadikan politik sebagai kosmetik untuk membalut libido kekuasaan. Namun, jika menilik penelitian Dollar (dalam Branisa & Ziegler, 2011), perempuan sebenarnya memiliki tingkat imunitas korupsi yang lebih tinggi ketimbang laki-laki karena selain memiliki standar moral dan etika yang tinggi, juga memiliki karakter merawat dan memelihara yang merupakan fungsi reproduksi perempuan (Tong, 2009), yang fungsi tersebut dianggap berlawanan dengan mentalitas korupsi.

Akan tetapi, eksperimentasi Dollar secara empiris hanya terbukti jika tingkat keterwakilan politik perempuan di sebuah negara tinggi. Pada negara yang tingkat keterwakilan perempuannya rendah, peluang perempuan melakukan korupsi tidak lebih kecil daripada laki-laki. Dengan demikian, aspek partisipasi politik warga yang dimotori oleh prinsip demokrasi sesungguhnya memegang peranan penting untuk membangun perilaku politik yang bersih dan beradab.

Pada awal kemunculannya, konsep demokrasi berasal dari warisan tradisi Yunani yang tidak mengikutsertakan perempuan dan budak di dalamnya. Perempuan hanya menjadi kelas nomor dua yang tidak memiliki hak pilih selain sebagai sosok domestik. Baru pada pertengahan abad ke-18 dan 19, saat gerakan feminisme mewarnai demokrasi dunia seperti di Denmark, Brasil, Australia, ataupun Swedia, kaum perempuan mulai menemukan eksistensi lewat berbagai pembentukan undang-undang kesetaraan gender.

Belum paralel

Kini tuntutan ekualitas perempuan dalam dunia politik khususnya di Indonesia kian memperoleh gaung dalam agenda dan kaukus sosial-politik. Keberadaan perempuan di parlemen mulai meningkat. Pada 2004 keterwakilan perempuan di DPR mencapai 11,8% dan meningkat lagi menjadi 18,05% di 2009. Angka itu jauh lebih tinggi daripada hasil Pemilu 1955 yang hanya menempatkan 17 perempuan (6,25%) terpilih dari 272 anggota DPR. Di level DPRD provinsi, keterwakilan perempuan di parlemen pada 2004 hanya 10%, tetapi meningkat menjadi 15% pada 2009. Untuk DPRD kabupaten/kota mengalami peningkatan dari 18% pada 2004 menjadi 27% pada 2009.

Sebenarnya, dibukanya keran politik bagi pencalonan perempuan di parlemen telah mendorong animo perempuan berkompetisi dalam pemilu. Bahkan pada Pemilu 2004 ada sekitar 2.507 (33%) bakal calon perempuan yang mengisi daftar bakal calon legislatif, dan meningkat menjadi 3.910 (34,70%) bakal calon legislatif di Pemilu 2009.  
Sayangnya, animo yang tinggi ini belum didukung sistem pencalonan internal partai yang adil seperti dalam penempatan nomor urut yang masih menempatkan calon anggota legislatif (caleg) perempuan di nomor sepatu. Meski Peraturan KPU No 7/2013 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi/kabupatenkota mensyaratkan penempatan caleg perempuan di nomor urut jadi, tidak sedikit partai yang berdalih bahwa sistem pemilihan dengan suara terbanyak tidak akan memengaruhi nomor urut. Padahal menurut survei Puskapol UI, penetapan nomor urut ikut menentukan probabilitas keterpilihan caleg. Pada Pemilu 2009, misalnya, ada 44% caleg perempuan DPR RI yang terpilih menempati nomor urut 1, 29% terpilih dari nomor urut 2, 20% terpilih dari nomor urut 3, dan 7% terpilih dari nomor urut 4.

Pada bagian lain, harus diakui, animo politik yang tinggi belum paralel dengan perwujudan politik kehadiran (the political of presence) perempuan yang signifikan dalam hal integritas, pengalaman, ataupun kapasitas. Sistem pemilihan terbuka, popularitas, ataupun sensitivitas ketokohan kerap menjadi batu sandungan bagi daya tembus perempuan di parlemen. Adapun politisi laki-laki hanya sibuk mengonsolidasi diri dan kepentingannya untuk mendominasi distribusi modal dan kekuasaan. 

Kalaupun perempuan bisa menembus parlemen, mereka masih minim dipercaya mengisi badan kelengkapan DPR strategis seperti badan legislasi, panitia anggaran, komisi I, dan alat kelengkapan lainnya untuk menggodok agenda krusial terkait masalah-masalah perempuan.

Perempuan belum bisa berbuat apa-apa karena untuk mewarnai persaingan di tingkat partai saja mereka masih kalah baik dari segi manajemen kampanye, logistik, jejaring, maupun rekognasi dalam hal penyampaian gagasan di muka publik. Apriori terhadap kapasitas perempuan disebabkan juga oleh faktor adat, religius, dan norma yang berlaku di masyarakat yang disokong sikap tokoh agama dan tokoh adat yang bias gender.

Resistensi kelompok masyarakat terhadap kepemimpinan Lurah Lenteng Agung, Susan Jasmine beberapa waktu lalu merupakan salah satu contoh.
Lemahnya tingkat pendidikan, pengalaman, masih kuatnya kebijakan diskriminatif dalam hal perlindungan terhadap perempuan, pembagian upah, penganggaran pembangunan berbasis gender, kebiasaan hukum yang bias gender menjadikan kepercayaan publik terhadap ekstensifikasi perempuan ke sektor publik ataupun politik masih sangat terbatas.

Isu utama

Apalagi dalam politik hari ini berlaku hukum besi; siapa yang kuat modal dialah yang akan memegang kekuasaan. Ironisnya, hukum besi tersebut belum menjadi sumber kegelisahan moral-kolektif karena publik khususnya perempuan memiliki informasi terbatas dalam membangun alternatif sikap. Dengan demikian, men jadi tantangan bagi partai politik untuk mendefinisikan ulang makna demokrasi dalam konteks pemerataan kesempatan politik.

Jadi, isu besar hari-hari ini bukan soal seberapa jauh kecenderungan perempuan melakukan korupsi, melainkan terutama bagaimana meningkatkan keterwakilan perempuan dalam sektor pengambilan keputusan strategis khususnya dalam sektor politik. Kalaupun ada perempuan yang terseret di pusaran korupsi, hal tersebut bukanlah indikasi tamatnya sejarah emansipasi perempuan, melainkan justru tantangan untuk menyemai kader-kader perempuan yang memiliki jiwa dan mentalitas kepemimpinan yang kritis dan tangguh.

Kebutuhan mendesak dan investatif bagi partai tentunya menyeriuskan rekrutmen dan kaderisasi perempuan potensial sejak sekarang. Untuk itu, dibutuhkan aktor politik lakilaki di partai yang memiliki sensitif gender untuk mempermulus terciptanya saluran kaderisasi perempuan lewat berbagai program pendidikan dan pelatihan kepemimpinan bagi perempuan. Di sisi lain, perempuan juga perlu membangun kemampuan diri dan jejaring sosial untuk memperkuat modal sosial dan posisi tawar mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar