Korupsi
dan Keterwakilan Politik Perempuan
Umbu TW Pariangu ; Dosen
Fisipol Undana, Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Januari 2014
PENETAPAN Ratu Atut Chosiyah
sebagai tersangka terkait dengan sengketa pemilu kepala daerah (pemilu kada)
Kabupaten Lebak, Banten, dan korupsi pengadaan alat kesehatan memperpanjang
deret perempuan Indonesia yang berurusan dengan hukum.
Mereka memang hanya secuil sosok
dari ekses demokrasi kita yang kerap menjadikan politik sebagai kosmetik
untuk membalut libido kekuasaan. Namun, jika menilik penelitian Dollar (dalam
Branisa & Ziegler, 2011), perempuan sebenarnya memiliki tingkat imunitas
korupsi yang lebih tinggi ketimbang laki-laki karena selain memiliki standar
moral dan etika yang tinggi, juga memiliki karakter merawat dan memelihara
yang merupakan fungsi reproduksi perempuan (Tong, 2009), yang fungsi tersebut
dianggap berlawanan dengan mentalitas korupsi.
Akan tetapi, eksperimentasi Dollar
secara empiris hanya terbukti jika tingkat keterwakilan politik perempuan di
sebuah negara tinggi. Pada negara yang tingkat keterwakilan perempuannya
rendah, peluang perempuan melakukan korupsi tidak lebih kecil daripada
laki-laki. Dengan demikian, aspek partisipasi politik warga yang dimotori
oleh prinsip demokrasi sesungguhnya memegang peranan penting untuk membangun
perilaku politik yang bersih dan beradab.
Pada awal kemunculannya, konsep
demokrasi berasal dari warisan tradisi Yunani yang tidak mengikutsertakan
perempuan dan budak di dalamnya. Perempuan hanya menjadi kelas nomor dua yang
tidak memiliki hak pilih selain sebagai sosok domestik. Baru pada pertengahan
abad ke-18 dan 19, saat gerakan feminisme mewarnai demokrasi dunia seperti di
Denmark, Brasil, Australia, ataupun Swedia, kaum perempuan mulai menemukan
eksistensi lewat berbagai pembentukan undang-undang kesetaraan gender.
Belum
paralel
Kini tuntutan ekualitas perempuan
dalam dunia politik khususnya di Indonesia kian memperoleh gaung dalam agenda
dan kaukus sosial-politik. Keberadaan perempuan di parlemen mulai meningkat.
Pada 2004 keterwakilan perempuan di DPR mencapai 11,8% dan meningkat lagi
menjadi 18,05% di 2009. Angka itu jauh lebih tinggi daripada hasil Pemilu
1955 yang hanya menempatkan 17 perempuan (6,25%) terpilih dari 272 anggota
DPR. Di level DPRD provinsi, keterwakilan perempuan di parlemen pada 2004
hanya 10%, tetapi meningkat menjadi 15% pada 2009. Untuk DPRD kabupaten/kota
mengalami peningkatan dari 18% pada 2004 menjadi 27% pada 2009.
Sebenarnya, dibukanya keran
politik bagi pencalonan perempuan di parlemen telah mendorong animo perempuan
berkompetisi dalam pemilu. Bahkan pada Pemilu 2004 ada sekitar 2.507 (33%)
bakal calon perempuan yang mengisi daftar bakal calon legislatif, dan
meningkat menjadi 3.910 (34,70%) bakal calon legislatif di Pemilu 2009.
Sayangnya, animo yang tinggi ini belum didukung sistem pencalonan internal
partai yang adil seperti dalam penempatan nomor urut yang masih menempatkan
calon anggota legislatif (caleg) perempuan di nomor sepatu. Meski Peraturan
KPU No 7/2013 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi/kabupatenkota
mensyaratkan penempatan caleg perempuan di nomor urut jadi, tidak sedikit
partai yang berdalih bahwa sistem pemilihan dengan suara terbanyak tidak akan
memengaruhi nomor urut. Padahal menurut survei Puskapol UI, penetapan nomor
urut ikut menentukan probabilitas keterpilihan caleg. Pada Pemilu 2009,
misalnya, ada 44% caleg perempuan DPR RI yang terpilih menempati nomor urut
1, 29% terpilih dari nomor urut 2, 20% terpilih dari nomor urut 3, dan 7%
terpilih dari nomor urut 4.
Pada bagian lain, harus diakui,
animo politik yang tinggi belum paralel dengan perwujudan politik kehadiran (the political of presence) perempuan
yang signifikan dalam hal integritas, pengalaman, ataupun kapasitas. Sistem
pemilihan terbuka, popularitas, ataupun sensitivitas ketokohan kerap menjadi
batu sandungan bagi daya tembus perempuan di parlemen. Adapun politisi
laki-laki hanya sibuk mengonsolidasi diri dan kepentingannya untuk mendominasi
distribusi modal dan kekuasaan.
Kalaupun perempuan bisa menembus parlemen,
mereka masih minim dipercaya mengisi badan kelengkapan DPR strategis seperti
badan legislasi, panitia anggaran, komisi I, dan alat kelengkapan lainnya
untuk menggodok agenda krusial terkait masalah-masalah perempuan.
Perempuan belum bisa berbuat
apa-apa karena untuk mewarnai persaingan di tingkat partai saja mereka masih
kalah baik dari segi manajemen kampanye, logistik, jejaring, maupun rekognasi
dalam hal penyampaian gagasan di muka publik. Apriori terhadap kapasitas
perempuan disebabkan juga oleh faktor adat, religius, dan norma yang berlaku
di masyarakat yang disokong sikap tokoh agama dan tokoh adat yang bias
gender.
Resistensi kelompok masyarakat
terhadap kepemimpinan Lurah Lenteng Agung, Susan Jasmine beberapa waktu lalu
merupakan salah satu contoh.
Lemahnya tingkat pendidikan, pengalaman, masih kuatnya kebijakan diskriminatif dalam hal perlindungan terhadap perempuan, pembagian upah, penganggaran pembangunan berbasis gender, kebiasaan hukum yang bias gender menjadikan kepercayaan publik terhadap ekstensifikasi perempuan ke sektor publik ataupun politik masih sangat terbatas.
Isu
utama
Apalagi dalam politik hari ini
berlaku hukum besi; siapa yang kuat modal dialah yang akan memegang
kekuasaan. Ironisnya, hukum besi tersebut belum menjadi sumber kegelisahan
moral-kolektif karena publik khususnya perempuan memiliki informasi terbatas
dalam membangun alternatif sikap. Dengan demikian, men jadi tantangan bagi
partai politik untuk mendefinisikan ulang makna demokrasi dalam konteks
pemerataan kesempatan politik.
Jadi, isu besar hari-hari ini
bukan soal seberapa jauh kecenderungan perempuan melakukan korupsi, melainkan
terutama bagaimana meningkatkan keterwakilan perempuan dalam sektor
pengambilan keputusan strategis khususnya dalam sektor politik. Kalaupun ada
perempuan yang terseret di pusaran korupsi, hal tersebut bukanlah indikasi
tamatnya sejarah emansipasi perempuan, melainkan justru tantangan untuk
menyemai kader-kader perempuan yang memiliki jiwa dan mentalitas kepemimpinan
yang kritis dan tangguh.
Kebutuhan mendesak dan investatif
bagi partai tentunya menyeriuskan rekrutmen dan kaderisasi perempuan
potensial sejak sekarang. Untuk itu, dibutuhkan aktor politik lakilaki di
partai yang memiliki sensitif gender untuk mempermulus terciptanya saluran
kaderisasi perempuan lewat berbagai program pendidikan dan pelatihan
kepemimpinan bagi perempuan. Di sisi lain, perempuan juga perlu membangun
kemampuan diri dan jejaring sosial untuk memperkuat modal sosial dan posisi
tawar mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar