Jumat, 24 Januari 2014

Banjir Proyek Infrastruktur

Banjir Proyek Infrastruktur

Tasroh   ;    Ahli pengadaan barang-jasa infrastruktur Pemkab Banyumas,
Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang 
MEDIA INDONESIA,  23 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         

SALAH satu dampak langsung bencana banjir, erupsi gunung berapi, dan longsor di banyak wilayah di seluruh Indonesia ialah ‘banjir’ proyek infrastruktur. Bencana itu seolah mengamini apa yang telah ‘direncanakan’ sekaligus diwacanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dalam Renstra 2014 yang menyebutkan untuk tahun ini setidaknya pembangunan, perbaikan, dan pemeliharaan infrastruktur khususnya jalan, jembatan, dan fasilitas publik lain diperlukan tak kurang dari Rp867 triliun (Bisnis Indonesia, 21/1).

Nilai uang yang sebanding dengan anggaran APBD di 34 provinsi dan 543 kabupaten/ kota seluruh Indonesia itu bukan sekadar membuat semua orang harus bilang wohttp://www, tetapi jauh lebih substantif ialah menjadikan bencana itu sekaligus untuk alasan ‘memuluskan’ berbagai proyek infrastruktur yang selama ini terus berjalan nyaris tanpa kontrol publik yang memadai.

Bencana alam memang siapa pun tidak pernah ada yang menghendakinya, kecuali kehendak Tuhan. Atas dasar itulah datangnya bencana diperlukan ‘persiapan’ sekaligus ‘kesigapan’ semua pihak, khususnya elite dan negara sebagai representasi kehendak rakyat untuk melakukan persiapan dimaksud. Tentu bukan dalam rangka membatalkan bencana itu, melainkan semata-mata untuk mengurangi dampak bencana yang bakal timbul selanjutnya.

Dampak bencana yang paling potensial ialah kerusakan jaringan lalu lintas, remuknya jalan-jalan dan jembatan serta terganggunya fasilitas dan keamanan publik. Dampak itu secara langsung jelas mengganggu aktivitas sosial-ekonomi dunia usaha/perusahaan dan pengusaha/investor. Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman, misalnya, mengakui banjir di Jabodetabek telah menelan kerugian on cash mencapai Rp1,2 triliun. Demikian pula apa yang disampakan Ketua Apindo Sofjan Wanandi bahwa banjir di Jabodetabek secaran langsung mengganggu aktivitas perusahaan di berbagai bidang, khususnya distribusi logistik dan mobilitas barang ke dan dari daerah dan antardaerah. Ditaksir, banjir kali ini merugikan perusahaan mencapai Rp9,5 triliun karena kemacetan total di mana-mana serta rusaknya jalan-jembatan (Bisnis Indonesia, 22/1).

Dampak ‘fisik’ itu belum termasuk dampak sosial dan psikologis seperti menurunkan keamanan dan kesehatan masyarakat/warga di mana-mana, termasuk stres dan depresi pengungsi serta warga yang terkena bencana. Kementerian Sosial menaksir, setelah berbagai bencana berlalu, diperlukan setidaknya dana segar triliunan rupiah untuk melakukan rehabilitasi kerusakan akibat bencana tersebut, serta memulihkan keamanan dan kesehatan masyarakat. Karena itu, wajar apabila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan Kementerian Keuangan segera bergerak cepat merealisasikan anggaran-anggaran penanggulangan bencana.

Sebaliknya Menko Perekonomian Hatta Rajasa justru mengatakan bahwa bencana banjir itu tidak akan mengganggu ekonomi nasional karena semua sudah ada anggarannya. Opini tersebut tidak hanya menyesatkan, tetapi sekaligus meniscayakan hilangnya sense of disaster pada beberapa pejabat/elite pemerintahan termasuk para wakil rakyat. Lihat, ketika terjadi bencana di mana-mana dan warga butuh bantuan langsung secara cepat dan akurat, para wakil rakyat justru kini sebagian besar menjalani masa `kunjungan kerja' yang sebagian melakukan `perjalanan dinas' ke luar negeri. Entah apa yang ada dalam isi otak mereka sehingga bencana demi bencana yang terus terjadi, justru memuluskan mereka untuk menjadikannya sebagai `banjir proyek'. Sungguh memalukan sekaligus memilukan!

Tetap dikontrol

Kerusakan parah infrastruk tur itu tetap lah perlu pengawasan dan pengendalian, khususnya ketika stakeholders dan pemegang proyek infrastruktur merencanakan dan melaksanakan proyeknya. Bank Dunia baru-baru ini juga menginstruksikan kepada semua negara di dunia bahwa bencana global warming sudah sedang terjadi dan berbagai proyek negara hasil utang luar negeri, termasuk proyekproyek infrastruktur di negara-negara miskin-berkembang, untuk tetap diawasi, dikontrol secara maksimal.

Peringatan itu bukan tanpa alasan. Pertama, disadari atau tidak, dana proyek infrastruktur baik bersumber dari APBN, APBD, maupun pinjaman pihak ketiga/swasta khususnya di Indonesia, diketahui kurang produktif mewujudkan proyek infrastruktur yang berkulitas tinggi. Hal itu bukan disebabkan minimnya anggaran proyek, melainkan justru lantaran banyaknya anggaran yang tidak dipergunakan secara jujur, adil, dan bersih. Sudah menjadi rahasia umum, satire bahwa dana proyek infrastruk tur tidak 100% dipergunakan meningkatkan mutu proyek, tetapi banyak yang masuk `kantong genderuwo' (meminjam istilah budayawan Indra Trenggono) untuk melukiskan betapa menggiurkan `dana lain-lain' yang diatasnamakan proyek infrastruktur tapi banyak yang `hanya numpang lewat'

Pelajaran dari kasus-kasus korupsi, suap, gratifikasi, dan pencucian uang dari berbagai proyek infrastruktur seperti kasus Hambalang dll telah banyak menjadi bukti akan kebenaran tesis itu.

Kedua, sebagian dana proyek ialah hasil utang luar negeri/pihak ketiga. Sebagai catatan, dana proyek infrastruktur 2013 sebesar Rp399 triliun, (lebih tinggi daripada target investasi 2013 hanya sebesar Rp390,01 triliun), 55%-nya merupakan dana talangan dari berbagai pihak termasuk OCDC yang dikendalikan pemerintah Jepang hingga pinjaman Bank Dunia yang dikendalikan negara-negara Eropa dan Amerika. 

Tragisnya, proses penggunaan dana-dana proyek infrastruktur itu belum memenuhi kualifikasi negara donor khususnya terkait `mutu proyek'. Lihat, data laporan BPKP (2013) bidang infrastruktur, yang menyebutkan dari 9.235 proyek infrastruktur di Jawa-Sumatra, `hanya' 25% yang memenuhi spek standar mutu proyek, selebihnya tidak sesuai dengan harga dan jumlah dana yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai proyek tersebut.

Bukan ahlinya

Ketiga, banyak proyek tidak melibatkan teknologi terkini. Akibatnya, jalan dan jembatan mudah rontok dan longsor hanya dalam waktu kurang dari setahun. Proyek infrastruktur seperti digarap oleh bukan ahlinya dan minus keterlibatan teknologi. 

Lihat, permak jalan hingga berlapis-lapis di berbagai kota, tapi di 80% bahu jalan tidak disediakan aliran air/drainase, sehingga ketika jalan diguyur hujan, apalagi banjir, hanya butuh lima hari direndam air, jalan-jalan itu mudah rusak/longsor (riset Dr Sartono dalam Biang Kerok Kerusakan Jalan, 2007:231). Maka, jangan heran apabila kerusakan demi kerusakan infrastruktur (bukan sekadar karena datangnya bencana) dan lahirnya proyek pembangunan, perbaikan, dan pemeliharaan infrastruktur sering hanya menghasilkan jumlah anggaran yang terus menggunung setiap tahun, tetapi kondisi infrastruktur tersebut tidak pernah tuntas. Padahal di negara maju seperti Jepang, rata-rata kerusakan infrastruktur baru terjadi dalam waktu 20-30 tahun ke depan. Itu bisa terjadi lantaran kejujuran, kecermatan, ketelitian, dan keberlanjutan eksekusi pembangunan infrastruktur yang diawasi sejak dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi proyek secara terintegrasi.

Oleh karena itu, untuk mencegah bencana itu sebagai alibi baru banjir proyek infrastruktur, pemerintah melalui Kementerian PU, Bappenas, BPK, dan Kementerian Keuangan serta lembaga/instansi pemerintah dan legislatif terkait, termasuk pemerintah daerah beserta perangkatnya, tetap mau dan mampu mengendalikan, mengawasi jalannya proyek infrastruktur, khususnya terkait dengan mutu infrastruktur itu sendiri.

KPK, jauh-jauh hari sebelum dana-dana rakyat khususnya dari APBN/D dibombardir untuk dan atas nama penanggulangan bencana, harus dilibatkan sejak perencanaan anggaran. Tujuannya bukan dalam rangka menghambat eksekutif melaksanakan tugasnya, melainkan agar jalannya pembangunan, perbaikan, dan pemeliharaan infrastruktur itu `lebih bermutu'. Ingat, babak belurnya infrastruktur secara langsung meningkatkan jumlah bencana sekaligus menentukan laju investasi dan roda ekonomi rakyat-bangsa. Jadi, waspadai tren banjir proyek infrastruktur itu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar