Banjir
Proyek Infrastruktur
Tasroh ; Ahli
pengadaan barang-jasa infrastruktur Pemkab Banyumas,
Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Januari 2014
SALAH satu dampak langsung bencana
banjir, erupsi gunung berapi, dan longsor di banyak wilayah di seluruh
Indonesia ialah ‘banjir’ proyek infrastruktur. Bencana itu seolah mengamini
apa yang telah ‘direncanakan’ sekaligus diwacanakan oleh Kementerian
Pekerjaan Umum dalam Renstra 2014 yang menyebutkan untuk tahun ini setidaknya
pembangunan, perbaikan, dan pemeliharaan infrastruktur khususnya jalan,
jembatan, dan fasilitas publik lain diperlukan tak kurang dari Rp867 triliun
(Bisnis Indonesia, 21/1).
Nilai uang yang sebanding dengan
anggaran APBD di 34 provinsi dan 543 kabupaten/ kota seluruh Indonesia itu
bukan sekadar membuat semua orang harus bilang wohttp://www, tetapi jauh
lebih substantif ialah menjadikan bencana itu sekaligus untuk alasan
‘memuluskan’ berbagai proyek infrastruktur yang selama ini terus berjalan
nyaris tanpa kontrol publik yang memadai.
Bencana alam memang siapa pun
tidak pernah ada yang menghendakinya, kecuali kehendak Tuhan. Atas dasar
itulah datangnya bencana diperlukan ‘persiapan’ sekaligus ‘kesigapan’ semua
pihak, khususnya elite dan negara sebagai representasi kehendak rakyat untuk
melakukan persiapan dimaksud. Tentu bukan dalam rangka membatalkan bencana
itu, melainkan semata-mata untuk mengurangi dampak bencana yang bakal timbul
selanjutnya.
Dampak bencana yang paling
potensial ialah kerusakan jaringan lalu lintas, remuknya jalan-jalan dan
jembatan serta terganggunya fasilitas dan keamanan publik. Dampak itu secara
langsung jelas mengganggu aktivitas sosial-ekonomi dunia usaha/perusahaan dan
pengusaha/investor. Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman, misalnya,
mengakui banjir di Jabodetabek telah menelan kerugian on cash mencapai Rp1,2
triliun. Demikian pula apa yang disampakan Ketua Apindo Sofjan Wanandi bahwa
banjir di Jabodetabek secaran langsung mengganggu aktivitas perusahaan di
berbagai bidang, khususnya distribusi logistik dan mobilitas barang ke dan
dari daerah dan antardaerah. Ditaksir, banjir kali ini merugikan perusahaan
mencapai Rp9,5 triliun karena kemacetan total di mana-mana serta rusaknya
jalan-jembatan (Bisnis Indonesia, 22/1).
Dampak ‘fisik’ itu belum termasuk
dampak sosial dan psikologis seperti menurunkan keamanan dan kesehatan
masyarakat/warga di mana-mana, termasuk stres dan depresi pengungsi serta
warga yang terkena bencana. Kementerian Sosial menaksir, setelah berbagai
bencana berlalu, diperlukan setidaknya dana segar triliunan rupiah untuk
melakukan rehabilitasi kerusakan akibat bencana tersebut, serta memulihkan
keamanan dan kesehatan masyarakat. Karena itu, wajar apabila Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menginstruksikan Kementerian Keuangan segera bergerak cepat
merealisasikan anggaran-anggaran penanggulangan bencana.
Sebaliknya Menko Perekonomian
Hatta Rajasa justru mengatakan bahwa bencana banjir itu tidak akan mengganggu
ekonomi nasional karena semua sudah ada anggarannya. Opini tersebut tidak
hanya menyesatkan, tetapi sekaligus meniscayakan hilangnya sense of disaster pada beberapa
pejabat/elite pemerintahan termasuk para wakil rakyat. Lihat, ketika terjadi
bencana di mana-mana dan warga butuh bantuan langsung secara cepat dan
akurat, para wakil rakyat justru kini sebagian besar menjalani masa
`kunjungan kerja' yang sebagian melakukan `perjalanan dinas' ke luar negeri.
Entah apa yang ada dalam isi otak mereka sehingga bencana demi bencana yang
terus terjadi, justru memuluskan mereka untuk menjadikannya sebagai `banjir
proyek'. Sungguh memalukan sekaligus memilukan!
Tetap
dikontrol
Kerusakan parah infrastruk tur itu
tetap lah perlu pengawasan dan pengendalian, khususnya ketika stakeholders
dan pemegang proyek infrastruktur merencanakan dan melaksanakan proyeknya. Bank
Dunia baru-baru ini juga menginstruksikan kepada semua negara di dunia bahwa
bencana global warming sudah sedang terjadi dan berbagai proyek negara hasil
utang luar negeri, termasuk proyekproyek infrastruktur di negara-negara
miskin-berkembang, untuk tetap diawasi, dikontrol secara maksimal.
Peringatan itu bukan tanpa alasan.
Pertama, disadari atau tidak, dana proyek infrastruktur baik bersumber dari
APBN, APBD, maupun pinjaman pihak ketiga/swasta khususnya di Indonesia,
diketahui kurang produktif mewujudkan proyek infrastruktur yang berkulitas
tinggi. Hal itu bukan disebabkan minimnya anggaran proyek, melainkan justru
lantaran banyaknya anggaran yang tidak dipergunakan secara jujur, adil, dan
bersih. Sudah menjadi rahasia umum, satire bahwa dana proyek infrastruk tur
tidak 100% dipergunakan meningkatkan mutu proyek, tetapi banyak yang masuk `kantong genderuwo' (meminjam istilah
budayawan Indra Trenggono) untuk melukiskan betapa menggiurkan `dana lain-lain' yang diatasnamakan
proyek infrastruktur tapi banyak yang `hanya
numpang lewat'.
Pelajaran dari kasus-kasus korupsi, suap, gratifikasi,
dan pencucian uang dari berbagai proyek infrastruktur seperti kasus Hambalang
dll telah banyak menjadi bukti akan kebenaran tesis itu.
Kedua, sebagian dana proyek ialah
hasil utang luar negeri/pihak ketiga. Sebagai catatan, dana proyek
infrastruktur 2013 sebesar Rp399 triliun, (lebih tinggi daripada target
investasi 2013 hanya sebesar Rp390,01 triliun), 55%-nya merupakan dana
talangan dari berbagai pihak termasuk OCDC yang dikendalikan pemerintah
Jepang hingga pinjaman Bank Dunia yang dikendalikan negara-negara Eropa dan
Amerika.
Tragisnya, proses penggunaan dana-dana proyek infrastruktur itu
belum memenuhi kualifikasi negara donor khususnya terkait `mutu proyek'.
Lihat, data laporan BPKP (2013) bidang infrastruktur, yang menyebutkan dari
9.235 proyek infrastruktur di Jawa-Sumatra, `hanya' 25% yang memenuhi spek
standar mutu proyek, selebihnya tidak sesuai dengan harga dan jumlah dana
yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai proyek tersebut.
Bukan
ahlinya
Ketiga, banyak proyek tidak
melibatkan teknologi terkini. Akibatnya, jalan dan jembatan mudah rontok dan
longsor hanya dalam waktu kurang dari setahun. Proyek infrastruktur seperti
digarap oleh bukan ahlinya dan minus keterlibatan teknologi.
Lihat, permak
jalan hingga berlapis-lapis di berbagai kota, tapi di 80% bahu jalan tidak
disediakan aliran air/drainase, sehingga ketika jalan diguyur hujan, apalagi
banjir, hanya butuh lima hari direndam air, jalan-jalan itu mudah
rusak/longsor (riset Dr Sartono dalam
Biang Kerok Kerusakan Jalan, 2007:231). Maka, jangan heran apabila
kerusakan demi kerusakan infrastruktur (bukan sekadar karena datangnya
bencana) dan lahirnya proyek pembangunan, perbaikan, dan pemeliharaan
infrastruktur sering hanya menghasilkan jumlah anggaran yang terus menggunung
setiap tahun, tetapi kondisi infrastruktur tersebut tidak pernah tuntas.
Padahal di negara maju seperti Jepang, rata-rata kerusakan infrastruktur baru
terjadi dalam waktu 20-30 tahun ke depan. Itu bisa terjadi lantaran
kejujuran, kecermatan, ketelitian, dan keberlanjutan eksekusi pembangunan
infrastruktur yang diawasi sejak dari perencanaan, pelaksanaan, hingga
evaluasi proyek secara terintegrasi.
Oleh karena itu, untuk mencegah
bencana itu sebagai alibi baru banjir proyek infrastruktur, pemerintah
melalui Kementerian PU, Bappenas, BPK, dan Kementerian Keuangan serta
lembaga/instansi pemerintah dan legislatif terkait, termasuk pemerintah
daerah beserta perangkatnya, tetap mau dan mampu mengendalikan, mengawasi jalannya
proyek infrastruktur, khususnya terkait dengan mutu infrastruktur itu
sendiri.
KPK, jauh-jauh hari sebelum
dana-dana rakyat khususnya dari APBN/D dibombardir untuk dan atas nama
penanggulangan bencana, harus dilibatkan sejak perencanaan anggaran. Tujuannya
bukan dalam rangka menghambat eksekutif melaksanakan tugasnya, melainkan agar
jalannya pembangunan, perbaikan, dan pemeliharaan infrastruktur itu `lebih
bermutu'. Ingat, babak belurnya infrastruktur secara langsung meningkatkan
jumlah bencana sekaligus menentukan laju investasi dan roda ekonomi
rakyat-bangsa. Jadi, waspadai tren
banjir proyek infrastruktur itu! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar