Jumat, 24 Januari 2014

Otsus Papua dan Penyelesaian Konflik

Otsus Papua dan Penyelesaian Konflik

Ivan Hadar   ;    Direktur Institute for Democracy Education (IDE) 
SINAR HARAPAN,  23 Januari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         

Di Indonesia, hanya Aceh dan Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) yang diberikan status otonomi khusus (otsus). Meskipun demikian, terdapat perbedaan mendasar tentang latar belakang pemberian otsus kepada Aceh dan Tanah Papua.

Di Aceh, konflik politik berkaitan dengan tuntutan kemerdekaan ini diselesaikan terlebih dahulu sebelum penerapan otsus. Otsus di Aceh adalah kesepakatan produk bersama pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, sehingga pelaksanaannya pun dipahami bersama sebagai bentuk tindak lanjut penyelesaian konflik.

Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Papua. Otsus Papua tidak dapat dikatakan sebagai bentuk kesepakatan bersama, tapi produk dari pemerintah pusat untuk meredam artikulasi ketidakpuasan yang terjadi di Papua. Jika Otsus Aceh adalah bentuk tindak lanjut dari penyelesaian konflik, Otsus Papua dibuat sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik.

Akibatnya, belum ada pemahaman bersama dari pihak-pihak yang terlibat konflik terhadap eksistensi Otsus. Bagi pemerintah pusat, Otsus adalah wujud nyata ikhtiar untuk menyelesaikan konflik. Bagi sebagian masyarakat Papua, Otsus adalah ciptaan pemerintah pusat untuk menghentikan perlawanan mereka.

Permasalahan Otsus

Terhadap Otsus, memang terdapat masyarakat Papua yang terlibat dalam pembentukan dan menerimanya sebagai jalan terbaik bagi terwujudnya kedamaian di Tanah Papua. Demikian pula dari sisi substansi, UU Otsus Papua memang telah memberikan porsi yang lebih besar kepada masyarakat Papua.

Namun, hal itu berubah menjadi sumber konflik ketika UU Otsus Papua tidak dilaksanakan dengan konsisten. Hak wewenang yang diberikan kepada Papua sering dibatasi, dikurangi, bahkan ditarik kembali ke pusat melalui berbagai peraturan perundangan yang bersifat operasional dan sektoral.

Hasil riset Kemitraan (2008) mengenai Kinerja Otsus Papua, menunjukkan tingginya tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap pelaksanaan Otsus Papua. Bahkan, disebutkan untuk beberapa kasus Otsus justru meningkatkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.

Secara umum penelitian Kemitraan menyimpulkan, kinerja otsus selama lima tahun (hingga 2006) implementasi masih belum mencapai kinerja yang diharapkan.
Permasalahan pelaksanaan otsus setidaknya bersumber pada lima hal berikut; 

Pertama, pelaksanaan otsus tidak diimbangi upaya penyelesaian konflik politik secara damai. Pemerintah pusat masih menggunakan pendekatan keamanan yang bertolak belakang dengan tujuan otsus untuk meningkatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).

Kedua, pendekatan keamanan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya,otsus sudah tercerabut dari nilai-nilai dasar yang telah ditetapkan, yaitu perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar orang asli Papua (OAP), HAM, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara.

Masih maraknya kekerasan dan pelanggaran HAM, tidak adanya proses hukum, serta belum terbentuknya pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, serta pengadilan adat menujukkan otsus hanya dilaksanakan secara parsial.

Ketiga, terdapat kecenderungan menggerogoti otsus yang diberikan dengan memperkuat kembali pemerintahan yang sentralistik. Hal ini dapat dilihat, misalnya dari keluarnya Inpres Nomor 21 Tahun 2003 tentang pelaksanaan UU Nomor 45 Tahun 1999, tentang Pemekaran Provinsi Papua, yang sejatinya secara substantif bertentangan dengan UU Nomor 21 Tahun 2001.

Keempat, masih kurangnya kapasitas kelembagaan yang diperlukan untuk menjalankan Otsus, baik karena status legal formal maupun karena kondisi politik yang bersifat khusus. Sebagai contoh adalah keberadaan MRP, yang merupakan representasi kultural, belum mampu mewarnai kebijakan dan mengontrol pelaksanaan pemerintahan.

Kelima, ada kecenderungan memperlambat implementasi otsus dengan menunda pembentukan peraturan pelaksana yang diperlukan. Beberapa kondisi berlarut yang terjadi di Tanah Papua bila tidak diatasi bisa semakin berperan penting memperlambat pembangunan manusia.

Pertumbuhan ekonomi Tanah Papua yang bertumpu pada sektor pertambangan, belum banyak berpengaruh positif terhadap pemerataan pembangunan, pemberantasan kemiskinan, pengurangan kesenjangan sosial-ekonomi khususnya antara OAP dan pendatang non-Papua, serta perbaikan pelayanan publik dan peningkatan lapangan kerja.

Tingginya angka pertumbuhan ekonomi di Tanah Papua belum banyak memberikan kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan bagi kelompok miskin, khususnya bagi OAP yang mayoritasnya masih terbelenggu kemiskinan.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa pemerataan juga menimbulkan kesenjangan sosial-ekonomi antarpenduduk (OAP dan Non-OAP), antarkawasan (pedesaan dan perkotaan), dan antarwilayah (daerah terisolasi dan mudah dijangkau).

Pada saat yang sama, sektor pertanian yang sebenarnya memberikan porsi terbesar terkait lapangan pekerjaan bagi mayoritas masyarakat miskin, khususnya OAP, nyaris diterlantarkan.Pengurasan sumber daya alam yang berlebihan telah merusak lingkungan hidup, menghilangkan sumber mata pencaharian penduduk, dan meningkatkan potensi bencana alam.

Permasalahan Dialog Damai

Secara umum, otsus yang diberlakukan di Tanah Papua sejak 2002, hingga kini ternyata belum memberikan hasil maksimal. Upaya menuju perdamaian di Tanah Papua, misalnya, masih mengalami berbagai kendala.

Setidaknya, beberapa hal berikut ini, ikut menghalangi dialog damai, yaitu belum adanya kerangka acuan yang disepakati, masih adanya ketakutan dan kecurigaan atas niat baik para pihak serta masih adanya standing point yang bertolak belakang.

Selain itu, terdapat tiga akar permasalahan yang perlu diatasi, yaitu pembangunan yang belum membuahkan distribusi kesejahteraan bagi mayoritas masyarakat—khususnya mayoritas OAP, tumpang tindih aturan hukum (yang dikeluarkan) pusat dengan aturan daerah, dan pendekatan penyelesaian masalahsosial-politik yang melupakan aspek budaya.

Salah satu representasi kultural OAP, yaitu Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diusulkan dalam otsus dengan wewenang yang besar, baik dalam pembentukan pemerintahan maupun penyelenggaraan pemerintahan, juga belum banyak berfungsi.
Upaya menuju perdamaian di Tanah Papua masih mengalami berbagai kendala, termasuk upaya dialog damai yang banyak pihak dianggap belum mengacu sepenuhnya pada akar persoalan. Setidaknya terdapat tiga akar persoalan yang perlu dipertimbangkan.

Pertama, implementasi pembangunan yang hingga saat ini belum sepenuhnya menunjukkan kemajuan berarti, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Pertumbuhan ekonomi yang terbilang tinggi belum membuahkan distribusi kesejahteraan bagi mayoritas masyarakat, khususnya mayoritas OAP.

Kedua, penyelesaian konflik Tanah Papua cenderung menggunakan pendekatan keamanan dan kesejahteraan. Meskipun, khusus terkait kesejahteraan, hasilnya belum menunjukkan capaian dan dampak signifikan. Pendekatan kesejahteraan, dalam praktiknya, sering berbasis proyek yang melupakan aspek budaya OAP.

Padahal, sejarah mencatat, pendekatan budaya dalam proses perdamaian, ternyata relatif cukup berhasil. Misalnya, seperti apa yang pernah dilakukan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) dengan mengembalikan nama Papua dari Irian Jaya, serta memperbolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai lambang budaya Papua.

Selain itu, perencanaan pembangunan berbasis budaya akan lebih sesuai dengan pekerjaan dan mata pencaharian OAP, dengan mengacu pada zona ekologi tempat tinggalnya.

Ketiga, tidak efektifnya Otsus Papua karena masih terjadi tumpang tindih aturan hukum yang dikeluarkan pusat dengan peraturan daerah khusus (Perdasus).
Selain itu, secara umum terdapat tiga kepentingan OAP yang hingga kini secara konkret belum sepenuhnya diimplementasikan pemerintah–baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (Saleh, 2011); Pertama, kepentingan substansial yang menyangkut hak-hak sipil politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Kedua, kepentingan formal prosedural terkait pengakuan konkret terhadap peran lembaga adat, peran Majelis Rakyat Papua (MRP), tuntutan dibentuknya komisi kebenaran dan rekonsiliasi dan pengadilan HAM, serta representasi OAP di DPR Papua, sebagaimana telah dicantumkan dalam UU Otsus. Ketiga, kepentingan psikologis OAP menyangkut pengakuan terhadap eksistensi dan simbol-simbol budaya OAP.

Dalam upaya menyelesaikan konflik, Presiden SBY menegaskan perlunya dialog terbuka. Untuk itu, bagi Neles Tebay (2012), Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP), beberapa hal berikut iniperlu diatasi sebelumnya.

Ia menyebut empat hal yang menghalangi proses dialog; belum adanya kerangka acuan yang disepakati, masih ada ketakutan dari kedua belah pihak, masih ada kecurigaan orang Papua atas niat baik pemerintah dan sebaliknya, serta masih adanya standing point yang bertolak belakang antara mempertahankan NKRI dan kemerdekaan Papua.

Tebay termasuk yang mempromosikan dialog, yang disebutnya dialog damai, sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik Papua. Untuk itu, menurutnya berbagai perbedaan persepsi terkait prinsip-prinsip dasar, tujuan, target, agenda, mekanisme dan tahapan, tempat, serta fasilitator perlu disamakan terlebih dahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar