Otsus
Papua dan Penyelesaian Konflik
Ivan Hadar ; Direktur Institute for Democracy Education
(IDE)
|
SINAR
HARAPAN, 23 Januari 2014
Di Indonesia, hanya Aceh dan
Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) yang diberikan status otonomi
khusus (otsus). Meskipun demikian, terdapat perbedaan mendasar tentang latar
belakang pemberian otsus kepada Aceh dan Tanah Papua.
Di Aceh, konflik politik
berkaitan dengan tuntutan kemerdekaan ini diselesaikan terlebih dahulu
sebelum penerapan otsus. Otsus di Aceh adalah kesepakatan produk bersama
pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, sehingga pelaksanaannya pun dipahami
bersama sebagai bentuk tindak lanjut penyelesaian konflik.
Hal ini berbeda dengan yang
terjadi di Papua. Otsus Papua tidak dapat dikatakan sebagai bentuk
kesepakatan bersama, tapi produk dari pemerintah pusat untuk meredam artikulasi
ketidakpuasan yang terjadi di Papua. Jika Otsus Aceh adalah bentuk tindak
lanjut dari penyelesaian konflik, Otsus Papua dibuat sebagai upaya untuk
menyelesaikan konflik.
Akibatnya, belum ada
pemahaman bersama dari pihak-pihak yang terlibat konflik terhadap eksistensi
Otsus. Bagi pemerintah pusat, Otsus adalah wujud nyata ikhtiar untuk
menyelesaikan konflik. Bagi sebagian masyarakat Papua, Otsus adalah ciptaan
pemerintah pusat untuk menghentikan perlawanan mereka.
Permasalahan Otsus
Terhadap Otsus, memang
terdapat masyarakat Papua yang terlibat dalam pembentukan dan menerimanya
sebagai jalan terbaik bagi terwujudnya kedamaian di Tanah Papua. Demikian
pula dari sisi substansi, UU Otsus Papua memang telah memberikan porsi yang
lebih besar kepada masyarakat Papua.
Namun, hal itu berubah
menjadi sumber konflik ketika UU Otsus Papua tidak dilaksanakan dengan
konsisten. Hak wewenang yang diberikan kepada Papua sering dibatasi, dikurangi, bahkan
ditarik kembali ke pusat melalui berbagai peraturan perundangan yang bersifat
operasional dan sektoral.
Hasil riset Kemitraan (2008)
mengenai Kinerja Otsus Papua, menunjukkan tingginya tingkat ketidakpuasan
masyarakat terhadap pelaksanaan Otsus Papua. Bahkan, disebutkan untuk
beberapa kasus Otsus justru meningkatkan ketidakpercayaan terhadap
pemerintah.
Secara umum penelitian Kemitraan
menyimpulkan, kinerja otsus selama lima tahun (hingga 2006) implementasi
masih belum mencapai kinerja yang diharapkan.
Permasalahan pelaksanaan
otsus setidaknya bersumber pada lima hal berikut;
Pertama, pelaksanaan otsus
tidak diimbangi upaya penyelesaian konflik politik secara damai. Pemerintah
pusat masih menggunakan pendekatan keamanan yang bertolak belakang dengan
tujuan otsus untuk meningkatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia
(HAM).
Kedua, pendekatan keamanan
tersebut sekaligus menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya,otsus sudah
tercerabut dari nilai-nilai dasar yang telah ditetapkan, yaitu perlindungan
dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar orang asli Papua
(OAP), HAM, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan
kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Masih maraknya kekerasan dan
pelanggaran HAM, tidak adanya proses hukum, serta belum terbentuknya
pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, serta pengadilan adat
menujukkan otsus hanya dilaksanakan secara parsial.
Ketiga, terdapat
kecenderungan menggerogoti otsus yang diberikan dengan memperkuat kembali pemerintahan yang
sentralistik. Hal ini dapat dilihat, misalnya dari keluarnya Inpres Nomor 21
Tahun 2003 tentang pelaksanaan UU Nomor 45 Tahun 1999, tentang Pemekaran
Provinsi Papua, yang sejatinya secara substantif bertentangan dengan UU Nomor
21 Tahun 2001.
Keempat, masih kurangnya
kapasitas kelembagaan yang diperlukan untuk menjalankan Otsus, baik karena
status legal formal maupun karena kondisi politik yang bersifat khusus. Sebagai
contoh adalah keberadaan MRP, yang merupakan representasi kultural, belum
mampu mewarnai kebijakan dan mengontrol pelaksanaan pemerintahan.
Kelima, ada kecenderungan
memperlambat implementasi otsus dengan menunda pembentukan peraturan pelaksana yang diperlukan.
Beberapa kondisi berlarut yang terjadi di Tanah Papua bila tidak diatasi bisa
semakin berperan penting memperlambat pembangunan manusia.
Pertumbuhan ekonomi Tanah
Papua yang bertumpu pada sektor pertambangan, belum banyak berpengaruh
positif terhadap pemerataan pembangunan, pemberantasan kemiskinan,
pengurangan kesenjangan sosial-ekonomi khususnya antara OAP dan pendatang
non-Papua, serta perbaikan pelayanan publik dan peningkatan lapangan kerja.
Tingginya angka pertumbuhan
ekonomi di Tanah Papua belum banyak memberikan kontribusi dalam meningkatkan
kesejahteraan bagi kelompok miskin, khususnya bagi OAP yang mayoritasnya
masih terbelenggu kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi yang
tinggi tanpa pemerataan juga menimbulkan kesenjangan sosial-ekonomi antarpenduduk
(OAP dan Non-OAP), antarkawasan (pedesaan dan perkotaan), dan antarwilayah
(daerah terisolasi dan mudah dijangkau).
Pada saat yang sama, sektor
pertanian yang sebenarnya memberikan porsi terbesar terkait lapangan
pekerjaan bagi mayoritas masyarakat miskin, khususnya OAP, nyaris
diterlantarkan.Pengurasan sumber daya alam yang berlebihan telah merusak
lingkungan hidup, menghilangkan sumber mata pencaharian penduduk, dan
meningkatkan potensi bencana alam.
Permasalahan Dialog Damai
Secara umum, otsus yang diberlakukan di
Tanah Papua sejak 2002, hingga kini ternyata belum memberikan hasil maksimal.
Upaya menuju perdamaian di Tanah Papua, misalnya, masih mengalami berbagai
kendala.
Setidaknya, beberapa hal
berikut ini, ikut menghalangi dialog damai, yaitu belum adanya kerangka acuan
yang disepakati, masih adanya ketakutan dan kecurigaan atas niat baik para
pihak serta masih adanya standing point yang bertolak belakang.
Selain itu, terdapat tiga
akar permasalahan yang perlu diatasi, yaitu pembangunan yang belum membuahkan
distribusi kesejahteraan bagi mayoritas masyarakat—khususnya mayoritas OAP,
tumpang tindih aturan hukum (yang dikeluarkan) pusat dengan aturan daerah,
dan pendekatan penyelesaian masalahsosial-politik yang melupakan aspek
budaya.
Salah satu representasi
kultural OAP, yaitu Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diusulkan dalam otsus
dengan wewenang yang besar, baik dalam pembentukan pemerintahan maupun
penyelenggaraan pemerintahan, juga belum banyak berfungsi.
Upaya menuju perdamaian di
Tanah Papua masih mengalami berbagai kendala, termasuk upaya dialog damai
yang banyak pihak dianggap belum mengacu sepenuhnya pada akar persoalan.
Setidaknya terdapat tiga akar persoalan yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, implementasi
pembangunan yang hingga saat ini belum sepenuhnya menunjukkan kemajuan
berarti, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan
ekonomi rakyat. Pertumbuhan ekonomi yang terbilang tinggi belum membuahkan
distribusi kesejahteraan bagi mayoritas masyarakat, khususnya mayoritas OAP.
Kedua, penyelesaian konflik
Tanah Papua cenderung menggunakan pendekatan keamanan dan kesejahteraan.
Meskipun, khusus terkait kesejahteraan, hasilnya belum menunjukkan capaian
dan dampak signifikan. Pendekatan kesejahteraan, dalam praktiknya, sering
berbasis proyek yang melupakan aspek budaya OAP.
Padahal, sejarah mencatat,
pendekatan budaya dalam proses perdamaian, ternyata relatif cukup berhasil.
Misalnya, seperti apa yang pernah dilakukan Presiden Abdurahman Wahid (Gus
Dur) dengan mengembalikan nama Papua dari Irian Jaya, serta memperbolehkan
pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai lambang budaya Papua.
Selain itu, perencanaan
pembangunan berbasis budaya akan lebih sesuai dengan pekerjaan dan mata
pencaharian OAP, dengan mengacu pada zona ekologi tempat tinggalnya.
Ketiga, tidak efektifnya
Otsus Papua karena masih terjadi tumpang tindih aturan hukum yang dikeluarkan
pusat dengan peraturan daerah khusus (Perdasus).
Selain itu, secara umum
terdapat tiga kepentingan OAP yang hingga kini secara konkret belum
sepenuhnya diimplementasikan pemerintah–baik oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah (Saleh, 2011); Pertama, kepentingan substansial yang
menyangkut hak-hak sipil politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Kedua, kepentingan formal
prosedural terkait pengakuan konkret terhadap peran lembaga adat, peran
Majelis Rakyat Papua (MRP), tuntutan dibentuknya komisi kebenaran dan
rekonsiliasi dan pengadilan HAM, serta representasi OAP di DPR Papua,
sebagaimana telah dicantumkan dalam UU Otsus. Ketiga, kepentingan psikologis
OAP menyangkut pengakuan terhadap eksistensi dan simbol-simbol budaya OAP.
Dalam upaya menyelesaikan
konflik, Presiden SBY menegaskan perlunya dialog terbuka. Untuk itu, bagi
Neles Tebay (2012), Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP), beberapa hal
berikut iniperlu diatasi sebelumnya.
Ia menyebut empat hal yang
menghalangi proses dialog; belum adanya kerangka acuan yang disepakati, masih
ada ketakutan dari kedua belah pihak, masih ada kecurigaan orang Papua atas
niat baik pemerintah dan sebaliknya, serta masih adanya standing point yang
bertolak belakang antara mempertahankan NKRI dan kemerdekaan Papua.
Tebay termasuk yang
mempromosikan dialog, yang disebutnya dialog damai, sebagai sarana untuk
menyelesaikan konflik Papua. Untuk itu, menurutnya berbagai perbedaan
persepsi terkait prinsip-prinsip dasar, tujuan, target, agenda, mekanisme dan
tahapan, tempat, serta fasilitator perlu disamakan terlebih dahulu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar