Denny
Melawan Isu
Moh Mahfud MD ;
Guru
Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 11 Januari 2014
Di antara gencarnya pemberitaan tentang ketidakhadiran Anas
Urbaningrum untuk diperiksa oleh KPK sebagai tersangka pada Selasa, 7 Januari
2014, ada berita terkait yang menyertainya. Wamenkumham Denny Indrayana,
Kamis (9/1), melaporkan dua orang loyalis Anas Urbaningrum ke Mabes Polri.
Makmun Murod dan Tri Dianto, dua loyalis Anas, dilaporkan mencemarkan nama baiknya karena melontarkan informasi yang katanya “sahih” bahwa Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dan Wamenkumham Denny Indrayana pergi ke rumah SBY di Cikeas sehari sebelum pemanggilan Anas. Padahal, kunjungan ke Cikeas yang diisukan itu tak pernah ada. Artinya, informasi itu bukan hanya tidak sahih, tetapi sangat dha’if (tak berdasar). Denny mengaku nama baiknya dicemarkan karena isu kunjungan ke Cikeas itu diinsinuasikan seakanakan membicarakan perkara Anas yang sedang ditangani KPK. Setelah mengultimatum untuk meminta maaf dalam 1 X 24 jam Denny akhirnya datang ke Bareskrim Polri untuk melaporkan kedua orang itu. Kata Denny, pengaduan itu dilakukan sekaligus untuk ikut menjaga nama baik Bambang Widjojanto (BW) yang dikenalnya sebagai orang bersih, gigih melawan korupsi, dan profesional dalam penegakan hukum. Sejauh menyangkut BW, saya sepakat dengan Denny bahwa BW adalah penegak hukum yang lurus, profesional, dan tak bisa didikte oleh siapa pun. Saya sudah lama mengenal BW dan memang begitulah potretnya sebagai penegak hukum. Sayang, kalau potretnya dikotori oleh isu bohong. Untuk pengaduan ke Bareskrim Polri itu, meski tidak harus setuju, kita bisa memaklumi langkah Denny. Itu merupakan langkah yang sah dan lebih elegan daripada berdebat kusir tanpa kejelasan akhir. Sejak zaman reformasi banyak isu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan yang kemudian dilempar ke tengah-tengah masyarakat tanpa memikirkan akibatnya bagi yang diisukan. Kadang isu-isu semacam itu ditembakkan ke lembaga-lembaga negara atau pejabat negara yang berakibat lunturnya kepercayaan terhadap lembaga atau pejabat itu. Pada awal 2010, sebagai ketua MK, saya pun diterpa isu seperti itu. Isu yang sama sekali tidak benar, tetapi berpengaruh kepada publik. Ketika saya sedang mengajar di Yogya, tiba-tiba seorang teman, wartawan Kompas, menelepon saya. Dia meminta konfirmasi kepada saya, apa yang dibicarakan dengan Presiden SBY tadi pagi. “Pembicaraan dengan Presiden SBY?” tanya saya. Dia menjawab, semua wartawan sudah tahu bahwa pagi itu saya dipanggil Presiden ke Istana, sedangkan Wakil Ketua MK Mukthie Fajar dipanggil oleh Mensesneg Sudi Silalahi. Santer diisukan bahwa saya dan Mukthie Fajar membicarakan perkara yang sedang ditangani oleh MK. Saya pun bilang bahwa sudah dua hari saya tidak di Jakarta sehingga tidak mungkin saya bertemu Presiden pagi itu. “Kemarin saya hadir dalam upacara pengukuhan Profesor Saldi Isra sebagai guru besar di Universitas Andalas, Padang, kemudian langsung ke Yogyakarta dan saat ini sedang mengajar di kampus,” jawab saya. Pak Mukthie pun terkekeh ketika saya tanyakan tentang isu itu. Isu panas lain terjadi dalam perkara sengketa hasil Pemilu Presiden 2009. Pada hari dibacakannya vonis itu sejak tengah malam sampai pagi hari beredar SMS berantai bahwa pada pukul 1.00 malam Ketua MK Mahfud MD dipanggil SBY ke Cikeas. Beberapa portal berita online ada juga yang menulis isu itu dengan yakin. Bahkan wartawan senior Freddy Ndolu menelepon saya di pagi buta dan menanyakan apa benar saya menemui SBY di Cikeas. Kepadanya saya jawab bahwa berita itu hanya sampah dan gombal. Saya jelaskan sambil tertawa bahwa tak mungkin tengah malam begitu SBY memanggil saya karena dia pasti mengantuk. Kan waktunya orang tidur? Kalaupun SBY tidak ngantuk ya saya yang ngantuk sehingga takkan mau dipanggil oleh SBY. Senyatanya, malam itu sampai menjelang pagi saya ada di kantor MK bersama beberapa hakim dan panitera untuk mengoreksi vonis yang akan dibacakan sore harinya. Bagi yang berpikir normal, sungguh tak masuk akal kalau vonis yang akan dibacakan pada hari itu masih bisa dinegosiasikan dengan Presiden pada malam sebelumnya. Vonis itu sudah diputuskan dalam rapat permusyawaratan tertutup seminggu sebelum dibacakan di depan sidang terbuka sehingga tak mungkinlah semalam sebelum dibacakan bisa diutak-atik lagi oleh siapa pun, termasuk oleh Presiden. Selama menjadi ketua MK saya selalu memosisikan diri sebagai pejabat yang secara struktur ketatanegaraan sejajar dengan Presiden, bukan bawahan Presiden, sehingga secara prinsip saya tak mau dipengaruhi oleh Presiden. SBY pun selalu bersikap correct, tak pernah bertanya, apalagi ikut campur, dalam perkara-perkara yang sedang ditangani MK. Banyak kemajuan dan ada kemunduran dalam perkembangan demokrasi kita. Salah satu dari kemunduran itu adalah seringnya merebak isu-isu bohong yang diinsinuasikan seakan-akan benar sehingga membunuh karakter pejabat/lembaga yang diisukan dan menyesatkan publik. Jadi, untuk mendidik masyarakat, kita pun harus paham dan maklum atas langkah Denny melawan isu yang tak bertanggung jawab itu dengan melaporkan pelontarnya ke Bareskrim Polri. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar