Sabtu, 11 Januari 2014

Dialog Korupsi Awal Tahun

                                      Dialog Korupsi Awal Tahun

Romli Atmasasmita  ;   Guru Besar Emeritus
Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung
KORAN SINDO,  11 Januari 2014
                                                                                                                        


Apakah kita puas terhadap kinerja kejaksaan, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemberantasan korupsi? Apakah kita melihat penegakan hukum terhadap korupsi telah sesuai asas-asas dan norma hukum pidana yang kita ajarkan dan anut sejak lama? 

Jawaban atas pertanyaan pertama bergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Jika dari sudut pandang ketiga institusi tersebut, mereka pasti menyatakan cukup puas dan bahkan berhasil. Jika yang melihat “the outsider”, mereka tentu menyatakan belum puas dan belum berhasil. Namun, yang penting dalam negara hukum yang demokratis bukan puas atau tidak puas, berhasil atau tidak berhasil, melainkan apakah pemberantasan korupsi dengan hukum telah sesuai asas dan kaidah (norma) hukum pidana yang bersumber pada asas legalitas sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang masih berlaku sampai saat ini (hukum positif). 

Sejak berlaku perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001, semua elite parpol dan pemerintah serta rakyat setuju bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Karena itu, diperlukan caracara luar biasa antara lain membentuk KPK dengan kewenangan luas dan berbeda dengan kepolisian dan kejaksaan. Rumusan tindak pidana korupsi diperluas termasuk perbuatan koruptif (sifat melawan hukum) dan merugikan negara dijadikan unsur konstitutif tindak pidana korupsi.

Apalagi telah ada “kick-back” di dalam perbuatan koruptif tersebut dan dirumuskan dalam kalimat, ”menguntungkan diri sendiri”, juga orang lain atau korporasi yang terlibat dalam tindak pidana korupsi tersebut. Ketentuan ini ciri khas dan satusatunya di semua sistem hukum di dunia. Mengapa demikian luas rumusan hukum tersebut? Satusatunya alasan karena keluarbiasaan perbuatan korupsi di mana uang yang “dirampok” uang negara (APBN/APBD) yang diperuntukkan untuk pembangunan bidang ekonomi, sosial, politik, hukum, kesejahteraan 250 juta rakyat Indonesia. 

Inti keluarbiasaan tindak pidana korupsi dengan rumusan hukum tersebut adalah bagaimana mengembalikan uang rakyat sebesarbesarnya tanpa harus mendahulukan perlu efek jera dari hukuman maksimal terhadap pelakunya. Sejarah hukuman dan penjara telah membuktikan bahwa tidak ada sukses untuk pemberatan ancaman pidana terhadap siapa pun. Dengan begitu, dalam kriminologi dikenal siklus recidivism (vicious circle). Contoh nyata, betapa pun “ganasnya KPK” menghantam para koruptor penyelenggara negara, semakin bertambah koruptor baru bahkan potensial koruptor dalam lingkaran penyelenggaraan negara. 

Bagaimana solusinya? Ikuti saja filosofi, tujuan, norma-norma UU Tahun 1999/2001 sertaterapkan asas-asas penerapan hukum pidana yang baik, bersih, dan berwibawa. Jika aparat penegak hukum dan KPK masih mengakui eksistensi HAM pada setiap warga RI, perlakukan mereka dalam perkara korupsi sesuai dengan maksud dan tujuan ketentuan dalam UUD 1945; UU HAM dan UU KUHAP 1981. Jika ada pandangan di antara institusi tersebut, abaikan HAM!, silakan lakukan apa yang Anda sukai dan tidak sukai tanpa harus memikirkan asas-asas dan norma serta ajaran ilmu hukum pidana yang telah diajarkan sejak semester III di Fakultas Hukum. 

Tetapi, saya yakin, keilmuan hukum yang dimiliki setiap pelaku sistem peradilan pidana sebanding dengan integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas mereka karena tiga prinsip tersebut telah berada di luar jangkauan ilmu hukum. Ilmu hukum tidak mengajarkan ketiga prinsip tersebut kecuali telah diajarkan hubungan saling pengaruh hukum dan kesusilaan yang perlu diperhatikan dalam membingkai perilaku manusia termasuk juga menghukum perilaku manusia yang melanggar hukum. 

Ilmu hukum mengabaikan sejak pendidikan hukum tentang masalah moralitas hukum dan moralitas masyarakat karena pengaruh aliran Kelsenian, namun ilmu hukum yang telah diajarkan harus sesuai karakter budaya masyarakatnya agar tidak menjadi “alien” dalam kehidupan kesehariannya. Karakter budaya (hukum) masyarakat Indonesia adalah sangat memperhatikan kesopanan dan kesusilaan dalam bungkusan ajaran agama yang dianutnya sehingga membuat hukum dan menerapkan hukum dalam alam Indonesia, harusnya mempertimbangkan secara teliti faktor peranan unsur-unsur tersebut. 

Pepatah Indonesia sejak lama, “menepuk air di dulang tepercik muka sendiri” atau “buruk muka cermin dibelah”; merupakan peringatan agar setiap insan Indonesia pemegang kekuasaan agar berhati-hati dalam berucap, berperilaku, dan bertindak. Begitupula peribahasa “nilai setitik rusak susu sebelanga” juga sebaiknya menjadi peringatan agar kita berbuat dan berperilaku memperhatikan dan mengingat akibatnya secara kolektif. 

Dalam konteks penegakan “hukum progresif” yang dipandang beberapa ahli hukum, praktisi hukum tertentu dan LSM adalah alat yang ampuh untuk membuat tekuk lutut khususnya koruptor, tentu akan menghasilkan semangat hidup koruptor yang berprinsip, “Daripada hidup menanggung malu, lebih baik mati berkalang tanah”. Jika pemberantasan korupsi hanya untuk tujuan efek jera, dituntut perlakuan hukum yang maksimal yaitu penerapan ancaman penjara seumur hidup atau pidana mati terhadap koruptor karena dalam tatanan hukum pidana Indonesia, tidak diakui pidana mempermalukan. 

Jika efek jera yang diunggulkan, tidak ada salahnya juga ikuti saja cara pemerintah Korea Utara di bawah Kim Jong-un terhadap pamannya sendiri yang didakwa korupsi dan terlibat skandal wanita yaitu dihukum mati dengan cara diumpankan kepada 120 ekor anjing liar yang selama dua hari dua malam habis tubuhnya dilahap anjing-anjing liar tersebut. Bukankah cara seperti itu yang dapat memuaskan rasa keadilan masyarakat kita sampai hari ini dalam perkara korupsi?
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar