Slamet
Gundono
Lukmannul Hakim ;
Penikmat Seni dan
Budaya
|
TEMPO.CO,
11 Januari 2014
Perjumpaan pertama kali saya dengan dalang ini
adalah ketika melihat pementasan wayang suket di Gedung Wanita Tegal. Dia
seseorang yang berbadan gempal dengan bobot lebih-kurang 300 kilogram,
berwajah ceria, dan tak menampakkan kesedihan dengan permasalahan berat
badannya. Saya salami dan cium tangannya, kiranya agar dapat cipratan energi
dari beliau dalam total berkarya.
Ya, itulah Slamet Gundono, seorang dalang wayang suket kelahiran Tegal yang kini menetap di Solo yang selalu mengalungkan ukulelenya. Dia ini unik dan lain daripada yang lain. Dia dalang yang keluar dari pakem-pakem seni pedalangan. Tak seperti dalang biasanya, yang menggunakan media kulit atau kayu sebagai golek (boneka) untuk dijadikan wayangnya. Ini pertama kalinya seorang dalang menggunakan media rumput (suket) yang dirias sedemikian rupa agar seperti wayang pada umumnya. Pengambilan tema untuk lakon-lakon yang dia tampilkan juga tak seperti biasanya. Ki Slamet lebih senang menampilkan cerita-cerita yang bernapaskan Islam, antara lain Syekh Mutamakkin Mbabar Jatidiri dan Opera Suro yang mengisahkan wafatnya Imam Husein. Ini wajar, karena Ki Slamet kecil pernah nyantri di pesantren bapak angkatnya. Ki Slamet bisa dibilang seniman yang serba bisa (multitalented), kreatif, dan tak pernah kehabisan ide. Dia bisa dicap sebagai apa saja, dalang, aktor, penyanyi, budayawan, dan lain-lain yang bisa disebutkan. Pernah suatu ketika, Ki Slamet menampilkan wayang dengan media botol-botol plastik bekas cairan pelumas dan perkakas kamar mandi. Dan, yang lebih nakal lagi, dia pernah menampilkan edisi wayang kondom dengan media kondom sebagai wayangnya. Kini penampilan-penampilan nyentrik dari Ki Slamet hanyalah sebuah kenangan. Ki Slamet sosok yang humoris telah tutup usia pada Minggu pagi, 5 Januari 2014. Ranah pedalangan Indonesia telah kehilangan salah satu seniman besar. Banyak dari teman-teman seniman turut berduka atas meninggalnya dalang wayang suket ini. Sepulang pementasan wayang suket di Tegal, Ki Slamet mulai merasakan sakit yang benar-benar sakit. Dirawat di RSI Yarsis Pabelan Surakarta, Ki Slamet bertahan melawan penyakit diabetes yang memang sudah lama diidapnya. Setelah seminggu lebih dirawat, Ki Slamet memenuhi panggilan Sang Khalik dan dimakamkan di kampung asal beliau di Lebaksiu, Slawi, Kabupaten Tegal. Meminjam kata-kata dari beliau "wong bagus, gasik temen teka neng sira" di tembang Geni lan Banyu, memang pas untuk dirinya, bahwa orang baik itu lebih cepat memenuhi panggilan ke pangkuan Tuhan. Kiranya, kita harus berterima kasih kepada Ki Slamet Gundono yang telah mengajarkan totalitas dalam berkarya apa pun, dan tentang arti rumput (suket) sebagai simbol kesederhanaan dalam hidup ini. Seperti sosoknya yang membumi (down to earth). Semoga almarhum ditempatkan di tempat yang terbaik di sisi-Nya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar