|
TIDAK lama lagi kaum buruh
Indonesia akan melakukan Mogok Nasional. Salah satu tuntutan utama mereka
adalah kenaikan upah. Ada yang menuntut kenaikan upah minimal 50 persen; ada
juga yang menuntut kenaikan upah 60 persen. Wajar jika kaum buruh menuntut
kenaikan upah tinggi, karena selama ini kontribusi mereka terhadap ekonomi
Indonesia terus meningkat, sementara upah riil mereka stagnan.[1] Upah
murah memang merupakan sebuah masalah kronis di Indonesia. Pertanyaannya, apa
penyebab dari upah murah di Indonesia?
Pengusaha dan Praktek Upah
Murah
Secara
umum, ada tiga komponen yang membentuk ‘harga alamiah’ sebuah komoditi sebelum
komoditi itu dilempar ke pasar dan mendapatkan ‘harga pasar; sesuai dengan
hukum penawaran-permintaan. Ketiga komponen itu adalah (1) biaya alat-alat
produksi; (2) upah buruh (dalam arti luas, bukan hanya upah pokok, tetapi juga
upah lembur, tunjangan, serta imbalan buruh lainnya), dan (3) keuntungan
pengusaha. Jika biaya alat-alat produksi dan harga alamiah (untuk selanjutnya,
akan kita sebut ‘harga’ saja) konstan, maka kenaikan upah akan mengurangi
keuntungan pengusaha. Sebaliknya, dalam situasi serupa, pengusaha hanya bisa
menaikkan keuntungannya dengan mengurangi upah buruh.
Kenaikan
upah bisa tidak mengurangi keuntungan jika harga dinaikkan. Tetapi, kenaikkan
harga akibat kenaikan upah relatif tidak akan mengurangi daya beli masyarakat,
karena kenaikan harga itu diimbangi oleh kenaikan upah dan pendapatan
masyarakat. Kenaikan harga hanya akan berdampak pada daya beli masyarakat jika
kenaikan harga itu tidak dibarengi dengan kenaikan upah atau pendapatan
masyarakat. Artinya, kenaikan harga hanya akan berdampak pada daya beli
masyarakat jika kenaikan harga itu bersumber dari (1) kenaikan biaya alat-alat
produksi dan/atau (2) kenaikan keuntungan pengusaha, yang tidak diimbangi oleh
kenaikan upah.
Pengusaha
berinvestasi dan membuka usaha untuk mendapatkan keuntungan. Dengan demikian,
motivasi dasar pengusaha adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Untuk
memperbesar keuntungannya, pengusaha bisa mempermurah biaya alat-alat produksi,
menerapkan upah murah atau menaikkan harga. Namun, karena pengusaha berada
daalam situasi persaingan dengan pengusaha lain, maka ia tidak bisa menaikkan
harga seenaknya. Pasalnya, para pembelinya akan beralih ke pengusaha lain yang
memproduksi dan menjual komoditi serupa dengan harga lebih murah.
Untuk
memenangkan persaingan, seorang pengusaha harus menjual satu unit komoditinya
dengan harga lebih murah dari pengusaha lain. Tetapi, agar keuntungan totalnya
tidak turun, ia harus memproduksi dan menjual komoditi itu dengan jumlah lebih
banyak. Untuk itu, ia harus meningkatkan produktivitas pekerjanya dengan cara
meningkatkan teknologi produksinya. Dengan demikian, biaya alat-alat produksi
cenderung meningkat. Karena pengusaha sulit mempermurah biaya alat-alat
produksi dan menaikkan harga, maka cara yang paling mungkin mereka tempuh untuk
memperbesar keuntungan adalah dengan mempraktekkan upah murah.
Jadi,
pengusaha memiliki kecenderungan menekan upah buruh semurah mungkin demi
memperbesar keuntungannya. Ini sudah menjadi ‘watak’ mereka. Kaum buruh hanya
bisa membendung hal ini dengan memaksa pengusaha agar tidak mempraktekkan upah
murah. Namun, di luar buruh dan pengusaha, terdapat pihak yang bernama
‘Negara.’ Negara seharusnya bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya,
termasuk kaum buruh. Karenanya, Negara seharusnya ikut—bersama-sama dengan kaum
buruh—memaksa pengusaha agar tidak mempraktekkan upah murah. Tetapi, kenapa
Negara lebih sering terlihat berpihak kepada pengusaha dan bukan buruh?
Negara dan Model Pembangunan
Ekonomi
Sudah menjadi pengetahuan
umum kiranya bahwa Negara cenderung berpihak pada pengusaha dan bukan buruh.
Ini bisa dilihat dari respon pemerintah terhadap krisis Rupiah dalam “Paket
Kebijakan Stabilisasi dan Pertumbuhan Ekonomi,” yang melindungi pengusaha dan
mengorbankan kaum buruh serta rakyat pekerja lainnya. Juga dari sikap
pemerintah terhadap tuntutan kenaikan upah dari buruh, dimana pemerintah
menganggap kenaikan upah 50 persen tidak wajar. Pemerintah malah mengeluarkan
Inpres No. 9 Tahun 2013 yang hendak meneruskan praktek upah murah di Indonesia
dan bisa dimanfaatkan oleh pihak kepolisian sebagai pembenaran untuk melakukan
tindakan represif dalam proses penentuan upah minimum.[2]
Pertanyaannya,
kenapa Negara cenderung berpihak kepada pengusaha dan bukan buruh? Menurut
penulis, hal itu terjadi karena sekarang ini, Negara mempraktekkan model
pembangunan ekonomi yang berbasis pada investasi swasta. Negara tidak terlihat
membangun ekonomi sektor publik, bahkan cenderung merusaknya dengan melakukan
privatisasi. Itulah kenapa Negara memiliki kecenderungan untuk memprioritaskan
kepentingan investor swasta dan berusaha menciptakan kondisi yang menguntungkan
bagi mereka, meski kondisi itu bertentangan dengan kepentingan kesejahteraan
masyarakat, termasuk kaum buruh.
Dianutnya model pembangunan
yang berbasis pada investasi swasta dapat dilihat dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
2011-2025 (MP3EI), yang dikeluarkan pemerintah pada Mei 2011.
MP3EI adalah salah satu dokumen pokok pembangunan pemerintah dan ditetapkan
dengan Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011. Dalam Abstrak MP3EI, disebutkan
bahwa ‘Pihak swasta akan diberikan peran utama dan penting dalam pembangunan
ekonomi terutama dalam peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja,
sedangkan pihak pemerintah akan berfungsi sebagai regulator, fasilitator dan
katalisator.’[3]
Adapun di bidang perburuhan,
salah satu upaya yang hendak dilakukan oleh MP3EI adalah memperbaiki regulasi
ketenagakerjaan untuk mendukung dunia usaha. Dan apa yang dimaksud dengan
diperbaiki demi dunia usaha ini dapat dilihat dari RUU tentang Revisi
Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) No. 13 Tahun 2003, yang diajukan pemerintah
tidak lama setelah MP3EI dikeluarkan. Di antara isi revisi itu adalah THR
dihilangkan, sifatnya hanya bantuan dan bukan kewajiban pengusaha; upah minimum
dibahas dua tahun sekali; cuti panjang dihilangkan, serta untuk PHK, pengusaha
tidak perlu melalui proses perizinan.[4] RUU
revisi ini lebih buruk dari UUK No. 13 Tahun 2003 yang juga bermasalah.
Untungnya, RUU tersebut ditolak oleh DPR.
Upah
murah sendiri sebenarnya hanyalah salah satu masalah yang ditimbulkan oleh
model pembangunan yang berbasis pada investasi swasta. Ada banyak masalah lain
yang muncul dari model pembangunan seperti itu. Konflik agraria yang saat ini
marak terjadi, misalnya, juga merupakan akibat dari model pembangunan yang
seperti itu. Sektor Sumber Daya Alam (SDA) memang merupakan sektor yang
ditekankan oleh MP3EI untuk investasi. Dari enam koridor ekonomi dalam MP3EI,
hanya dua koridor yang memiliki sektor non-SDA, yaitu Jawa dengan industri dan
jasa serta Bali-Nusa Tenggara dengan pariwisata. Sisanya diperuntukkan khusus
bagi hasil bumi, pertanian, perkebunan, perikanan, pangan, pertambangan, migas,
dan energi.
Catatan Penutup
Berdasarkan
paparan di atas, kita dapatkan penyebab upah murah di Indonesia. Pertama-tama,
pengusaha memiliki kecenderungan menekan upah buruh semurah mungkin, karena
inilah cara yang paling mungkin mereka tempuh untuk memperbesar keuntungan
mereka. Untuk membendung hal ini, pengusaha perlu dipaksa agar tidak
mempraktekkan upah murah. Negara yang bertanggungjawab atas kesejahteraan kaum
buruh, seharusnya ikut—bersama-sama dengan kaum buruh—memaksa pengusaha agar
tidak mempraktekkan upah murah. Masalahnya, Negara Indonesia saat ini
menerapkan model pembangunan yang berbasis pada investasi swasta, sehingga
Negara cenderung memprioritaskan kepentingan investor swasta, termasuk
kepentingan mereka untuk mempraktekkan upah murah.
Lalu,
apa solusi dari persoalan upah murah? Karena sumber masalahnya ada di sektor
swasta, maka solusinya secara umum adalah melepaskan ketergantungan kita
terhadap sektor swasta untuk pembangunan ekonomi dan lapangan kerja. Artinya,
kita perlu membangun ekonomi sektor publik yang kuat, dimana berbagai macam
unit ekonomi berada di bawah kepemilikan Negara sebagai organisasi publik
tertinggi. Tentu saja, agar Negara tidak berperilaku seperti pengusaha swasta
dan kehilangan watak publiknya, maka Negaranya juga harus demokratis. Dengan
ekonomi sektor publik yang kuat, kontrol atas ekonomi berada di tangan
publik/masyarakat (melalui Negara), bukan di tangan para pengusaha swasta.
Karenanya, ekonomi bisa dikelola untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat,
bukan kepentingan keuntungan para pengusaha swasta. Model ekonomi seperti itu
biasa dinamakan: sosialisme! ●
KEPUSTAKAAN :
[1] Lihat Mohamad Zaki Hussein, ‘Produktivitas
Buruh Meningkat, Upah Riil Stagnan,’http://zetetick.blogspot.com/ 2013/10/produktivitas-buruh-meningkat-upah-riil.html.
Lihat juga Mohamad Zaki Hussein, ‘Kenaikan Upah Minimum 50 persen Itu
Rasional,’http://zetetick.blogspot.com/2013/10/kenaikan-upah-minimum-50-itu-rasional.html.
[2] Untuk kritik atas ‘Paket Kebijakan
Stabilisasi dan Pertumbuhan Ekonomi’ serta Inpres No. 9 Tahun 2013, lihat
Mohamad Zaki Hussein, ‘åhttp://zetetick.blogspot.com/2013/10/kenapa-inpres-no-9-tahun-2013-tentang.html.
[3] Kementrian Koordinator Bidang
Perekonomian, Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, hlm. 10,http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2012/12/06/master-plan-2011-2025-id0-1354731495.pdf.
[4] ‘Isi Revisi UU Ketenagakerjaan,
Sangat Keras Buat Pekerja,’ Suara Pembaruan, 16
Desember 2011, http://www.suarapembaruan.com/home/isi-revisi-uu-ketenagakerjaan-sangat-keras-buat-pekerja/14959.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar