|
Gubernur Jawa Timur Soekarwo
memastikan bahwa investor pabrik pengecoran baja PT Manunggal Sentral Baja
(MSB) yang semula hendak membangun pabrik baja di lokasi penyangga situs
Keraton Majapahit di Trowulan, Mojokerto, akan bersedia pindah ke lokasi lain, menyusul
terjadinya gelombang keras penolakan warga masyarakat (Grahadi, Surabaya,
22/10).
Ribut-ribut yang juga diekspos di banyak media ini sebenarnya hanya repetisi. L’histoire se repete (sejarah berulang). Pada 2008 lalu juga pernah ada ribut-ribut terkait situs Majapahit di Trowulan. Pasalnya, di bekas ibu kota Kerajaan Majapahit itu semula hendak dibangun Majapahit Park seluas 2.190 meter persegi.
Majapahit Park adalah proyek untuk
menyatukan situs-situs peninggalan ibu kota Majapahit di Trowulan dalam sebuah
konsep taman terpadu. Tujuannya untuk menyelamatkan situs dan benda cagar
budaya dari kerusakan serta untuk menarik wisatawan.
Peletakan batu pertama Majapahit Park dilakukan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, 3 November 2008 lalu. Dalam pembangunan, akibat penanaman 50 tiang pancang beton di dalam tanah, mengakibatkan terjadinya perusakan sejumlah peninggalan bersejarah, seperti dinding sumur kuno, gerabah, dan pelataran rumah kuno, hal itu tak dihiraukan.
Jadi, sudah tujuan mulia pemerintah
pusat untuk mendirikan Majapahit Park tidak tercapai, kini justru sesuatu yang
bernilai historis hilang dari situs tersebut.
Proyek Majapahit Park jelas mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan Kodam VIII Brawijaya ketika membangun gedung pendopo berbentuk “joglo” di salah satu kawasan di situs Majapahit pada 1966 silam.
Yang lebih memprihatinkan, tindakan destruktif juga dilakukan sebagian masyarakat Trowulan yang menggali tanah dan menjadikannya batu bata. Ini sudah menjadi mata pencaharian mereka, bahkan menjadi industri. Kini pertumbuhan industri batu bata itu tampak sulit untuk dikendalikan lagi dan izin untuk mendirikan industri batu bata itu juga terus diberikan.
Yang paling parah, pencurian,
penggalian serampangan, serta perdagangan benda purbakala di pasar gelap sudah
lama berlangsung tanpa dapat ditindak secara tegas. Yang terakhir ini jelas
merupakan sebuah vandalisme yang patut dikutuk.
Akibatnya hari-hari ini, situs Majapahit benar-benar memasuki fase paling pahit dalam perjalanan sejarahnya. Jika tidak ada upaya penyelamatan segera, jelas situs Majapahit akan menjadi puing-puing yang hancur dan tidak lagi memiliki nilai sejarah. Padahal situs Trowulan adalah salah satu saksi sekaligus bukti kita memiliki nenek moyang dengan peradaban tinggi tidak kalah dengan bangsa-bangsa di Eropa.
Bayangkan saja, misalnya dalam era Majapahit, multikulkulturalisme atau penghargaan terhadap keragaman dan perbedaan sudah dijunjung tinggi. Pasalnya, Majapahit adalah kerajaan agro maritim yang multikultural.
Majapahit, terlebih dengan Sumpah
Palapa Gajah Mada telah menyatukan pulau-pulau di wilayah Nusantara.
Perdagangan dan komunikasi dari berbagai daerah, termasuk dari luar Majapahit
membuat warga Majapahit tidak alergi pada perbedaan. Kita tidak akan tahu watak
multikulturalisme ini, jika bukti-bukti historisnya dirusak atau dihancurkan.
Jasa Wardenar
Jangan lupa pula, bangsa-bangsa Eropa, seperti Belanda atau Inggris pun tahu betapa bernilainya situs Trowulan sehingga mereka pun juga tertarik untuk meneliti dan mengapresiasi. Peneliti pertama adalah Wardenaar pada 1815 atas instruksi Gubernur Thomas Raffles. Hasil penelitian Wardenar kemudian ikut dicantumkan dalam buku “History of Java” (1817).
Dalam buku itu di antaranya ditulis “situs Trowulan, terletak 60 km barat daya Kota Surabaya, mungkin merupakan ibu kota kerajaan Majapahit. Di kawasan seluas l11 km x 9 km, telah ditemukan sedikitnya 32 kanal, satu kolam seluas kurang lebih 6,5 hektare, serta dua pintu gerbang Gapura Bajangratu dan Gapura Wringin Lawang.
Selain itu, ditemukan permukiman dan
pendapa kuno, candi Hindu dan Buddha, seperti Candi Brahu, Candi Tikus, dan
Candi Gentong. Sebagai bekas ibu kota, di Situs Trowulan memang terdapat
ratusan ribu peninggalan arkeologis baik berupa artefak, ekofak, serta fitur
berbagai obyek arkeologis”.
Kemudian banyak peneliti lain mengikuti jejak Wardenar, seperti WR van Hovell (1849), JVG Brumund, dan Jonathan Rigg. Kemudian RDM Verbeek (1889), RAA Kromodjojo Adinegoro seorang Bupati Mojokerto (1849-1916), J Knebel (1907), dan kemudian Henry Maclaine Pont (1921-1924).
Yang menarik menurut Maclain Pont,
ibu kota Majapahit di Trowulan berulang kali tertimpa debu gunung berapi
sehingga bekas ibu kota yang menjadi saksi kejayaan Majapahit dari tahun
1293-1521 Masehi itu semakin lama semakin tertimbun di dalam tanah.
Kalau pemerintah hendak “menghidupkan” lagi ibu kota Majapahit dalam skenario Majapahit Park, tujuannya sebenarnya mulia, apalagi dana yang disiapkan konon mencapai Rp 25 miliar.
Namun, tujuan mulia saja ternyata
tidak cukup karena rusaknya situs Majapahit akibat penanaman 50 tiang pancang
beton jelas sangat mengecewakan. Jangan lupa keberadaan benda-benda bersejarah
dalam bentuknya yang masih orisinal sesungguhnya tidak bisa diukur dengan uang
karena memang tak terhingga nilainya.
Ajak UNESCO
Kalau proyek Majapahit Park itu hendak dilanjutkan, pemerintah jangan ambisius hendak menyelesaikan sendiri. Pola konservasi Borobudur yang dulu menggandeng UNESCO dan banyak negara perlu ditiru.
Seperti diketahui, proyek Borobudur
ikut didukung penuh pemerintah Belanda, Jepang, Prancis, Jerman, dan
negara-negara Eropa lain. Karena ada kerja sama dengan berbagai kalangan,
tingkat pengawasannya juga tetap tinggi.
Beda kalau pemerintah kita sendiri yang membangun. Jangankan membangun proyek bernilai sejarah, membangun gedung sekolah saja sudah terbukti amat buruk, mengingat banyak dikorup dananya, kemudian dibangun asal-asalan sehingga ujung-ujungnya gedung sekolah mudah rusak, ambruk, bahkan menimpa para siswa. Selamatkan situs Majapahit demi anak cucu ke depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar