Sabtu, 02 November 2013

SBY, Media dan Fahrenheit 9/11

SBY, Media dan Fahrenheit 9/11
Derek Manangka ;   Wartawan Senior
INILAH.COM, 28 Oktober 2013


SBY bisa dinilai sebagai Presiden RI yang 'mendewakan' Amerika Serikat. Dari bahasa tubuhnya, SBY tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada sistem demokrasi dan kebebasan pers di negara adi daya itu.
Sikap tersebut membersitkan anggapan sementara di kalangan media bahwa SBY merupakan seorang "Americanized". Orang asing yang sudah seperti warga negara Amerika yang menghargai setiap kritik betapapun isinya sangat pedas.
Namun anggapan media di atas, kelihatannya keliru. Semenjak pidato SBY di acara Silatnas Demokrat, Sabtu kemarin, insan media harus mengubur dalam-dalam anggapan tersebut.
Karena yang terjadi, SBY begitu reaktif terhadap kritikan media. Media harus lebih hati-hati, menjaga jarak dengan SBY. Sebab sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, SBY bahkan sudah mengajak para kader partainya untuk bersama-sama melawan (media). Ajakan ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah kesiapan Demokrat untuk berperang dengan media.
Lantas haruskah media melayaninya melalui perang terbuka? Tidak perlu! Media cukup menyampaikan ceritera dari Amerika Serikat agar sikap SBY yang terlalu 'mendewakan' tentang demokrasi Amerika Serikat, sejalan dengan prilakunya dalam berinteraksi dengan rakyat Indonesia.
Esensinya, kalau SBY bersedia, cobalah tiru prilaku para Presiden Amerika Serikat dalam menghadapi media. Sekalipun mereka dikritik, dicemooh ataupun diolok-olok media, sebagai pemimpin mereka tidak akan meradang. Dengan meradang mereka sudah berperilaku seperti orang yang tidak dewasa. Walaupun dikritik, mereka tidak akan tampil dipanggung lalu menempatkan insan media sebagai lawan tanding.
Setidaknya ada dua Presiden AS yang menjadi korban ataupun bulan-bulanan media. Richard Nixon (1969-1974) dan George Bush Junior (2001-2009). Nixon bukan hanya dikritik, dicemooh dan diolok-olok. Nixon bahkan sampai kehilangan jabatan kepresidenannya.
Nixon dilengserkan secara tak bermartabat akibat kemenangannya di Pemilu Presiden, dibongkar media sebagai hasil dari sebuah kecurangan. Dan kecurangan itu dibongkar oleh wartawan The Washington Post, Carl Bernstein dan Bob Woodward.
Entah sadar bahwa kecurangannya yang dikenal dengan Skandal Watergate - sebuah perbuatan yang memalukan dan harus diakui diam-diam, Presiden Nixon tidak melakukan perlawanan. Nixon juga tidak mengajak sahabat-sahabatnya untuk memusuhi media.
Hingga meninggal dunia, tak ada yang tahu apa isi hati Richard Nixon. Tapi diamnya Nixon juga membuat media Amerika Serikat tidak lagi mengungkit-ungkit kecurangannya untuk meraih kursi kepresidenan. Sampai saat ini, nama Nixon tetap baik, setidaknya tak ada yang terus menerus mencemoohnya.
Padahal kalau media, sebagai bagian dari masyarakat (Amerika Serikat) yang merasa dibohongi oleh Presiden-nya, mau mengungkit terus prilaku buruk Nixon, tak ada satu kekuatan yang mampu mencegahnya.
George Bush junior, lain lagi ceriteranya. Kebijakannya yang salah bagi kepentingan rakyat Amerika Serikat termasuk membohongi publik, dituangkan dalam bentuk film berjudul Fahrenheit 9/11. Sementara di luar negeri, Bush dilempar sepatu oleh reporter yang kecewa dengan kebijakannya yang menginvasi Irak.
Semua peristiwa di atas jika dibungkus dalam satu paket persoalan, sangat tidak menyenangkan bagi siapapun yang menjadi Presiden AS. Kritik dan peristiwa di atas memberi peringatan, kalau mau menjadi Presiden, jangan hanya mau yang enak. Kalau mau sehat jangan hanya makan yang manis. Harus diseimbangkan dengan yang pahit.
Film Fahrenheit 9/11 karya Michael Moore di 2004 merupakan sebuah 'penelanjangan bulat-bulat' atas semua kebijakan seorang Presiden George Bush. Sebab fakta yang diajukan Michael Moore menunjukkan betapa besar kebohongan publik yang dilakukan Presiden yang ayahnya juga bernama sama, Geore Bush dan mantan Presiden AS pula.
Moore antara lain mengungkap tentang hubungan akrab antara keluarga Presiden Bush dengan keluarga Osama bin Laden. Hubungan itu terkait dengan bisnis minyak yang melibatkan uang yang tak terbatas.
Namun menurut Michael Moore adalah Bush sendiri yang menuding Osama bin Laden sebagai otak dari penyerangan menara WTC, New York. Bush pula yang mencap Osama bin Laden yang berkewarnegaraan Arab Aaudi itu sebagai tokoh teroris dunia yanhg menjadi musuh utama Amerika Serikat.
Sebelum ceritera lanjutan, film Fahreinheit 9/11 ini kemudian diresensi oleh hampir seluruh media di Amerika Serikat. Terutama karena keberhasilannya sebagai sebuah film semi-dokumenter meraih "Palm d'Or" di festival film Cannes, Prancis, tahun itu juga. Penghargaan tersebut merupakan yang tertinggi di festival tahunan Cannes.
Kontroversi yang diungkap Michael Moore dalam kaitan dengan Osama bin Laden bahwa Presiden Bush telah bersikap munafik. Di satu sisi menuding Osama sebagai tokoh teroris, tetapi di sisi lain Bush menyelamatkan sejumlah keluarga Osama bin Laden yang menetap di Amerika Serikat. Begitu otoritas Washington mendeklarasikan Osama sebagai pelaku penyerangan WTC, dalam hitungan jam setelah itu, Bush mengizinkan sebuah jet take off dari sebuah landasan di Amerika Serikat. Pesawat itu berisikan penumpang yang semua merupakan clan Osama bin Laden.
Dalam kesimpulannya, sekalipun George Bush seorang pemimpin negara dan negara Amerika Serikat, tetapi tak ragu melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan bangsanya. Yang penting kepentingan pribadinya tercapai.
Dalam isu hubungan media di Indonesia dengan Presiden SBY, bobot kritik tersebut, belum sampai sedalam seperti yang dilakukan Michael Moore dan media-media AS. Media-media di Indonesia masih banyak dan sering bersikap 'toleran' terhadap SBY.
Sekalipun berbagai data yang dimiliki media menunjukkan cukup banyak ketidakberesan yang terjadi si masa kepemimpinannya, sebagai Presiden, tapi karena alasan psikologis, media akhirnya melakukan pembatasan.
Media masih melihat SBY sebagai pemimpin yang patut dibantu. Media masih berharap, sisa waktu yang masih ada dalam pemerintahannya - sampai 20 Okrober 2014, masih dapat digunakan SBY untuk berbuat banyak yang positif bagi bangsa dan negara.
Sangat keliru, apabila SBY menempatkan media-media di Indonesia sebagai pihak yang menjadi musuh utamanya. Sangat tidak patut, apabila SBY begitu mendewakan demokrasi di Amerika Serikat, tetapi demikian merendahkan dialog demokratis yang ada di negerinya sendii.
Kalau ada waktu, tidak ada salahnya SBY membuka website yang menggambarkan hubungan yang sangat harmonis antara Michael Moore dan Presiden George Bush. Di sebuah tempat yang berlatar belakang Gedung Putih, keduanya difoto oleh media dalam pose alamiah.
Presiden Bush dalam pakaian resmi, jas dan berdasi merah, tersenyum lebar sambil memegang tangan Michael Moore. Pengeritik Bush ini hanya berpakaian jeans dan kaos oblong hitam.
Sebuah pemandangan yang bisa menjadi rujukan tentang bagaimana sebaiknya Presiden SBY melakukan rekonsiliasi, berujuk dengan rakyatnya ataupun media pengeritiknya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar