|
SBY bisa dinilai sebagai Presiden RI yang
'mendewakan' Amerika Serikat. Dari bahasa tubuhnya, SBY tidak bisa
menyembunyikan kekagumannya pada sistem demokrasi dan kebebasan pers di negara
adi daya itu.
Sikap
tersebut membersitkan anggapan sementara di kalangan media bahwa SBY merupakan
seorang "Americanized". Orang asing yang sudah seperti warga negara
Amerika yang menghargai setiap kritik betapapun isinya sangat pedas.
Namun
anggapan media di atas, kelihatannya keliru. Semenjak pidato SBY di acara
Silatnas Demokrat, Sabtu kemarin, insan media harus mengubur dalam-dalam
anggapan tersebut.
Karena
yang terjadi, SBY begitu reaktif terhadap kritikan media. Media harus lebih
hati-hati, menjaga jarak dengan SBY. Sebab sebagai Ketua Umum Partai Demokrat,
SBY bahkan sudah mengajak para kader partainya untuk bersama-sama melawan
(media). Ajakan ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah kesiapan Demokrat untuk
berperang dengan media.
Lantas
haruskah media melayaninya melalui perang terbuka? Tidak perlu! Media cukup
menyampaikan ceritera dari Amerika Serikat agar sikap SBY yang terlalu
'mendewakan' tentang demokrasi Amerika Serikat, sejalan dengan prilakunya dalam
berinteraksi dengan rakyat Indonesia.
Esensinya,
kalau SBY bersedia, cobalah tiru prilaku para Presiden Amerika Serikat dalam
menghadapi media. Sekalipun mereka dikritik, dicemooh ataupun diolok-olok
media, sebagai pemimpin mereka tidak akan meradang. Dengan meradang mereka
sudah berperilaku seperti orang yang tidak dewasa. Walaupun dikritik, mereka
tidak akan tampil dipanggung lalu menempatkan insan media sebagai lawan
tanding.
Setidaknya
ada dua Presiden AS yang menjadi korban ataupun bulan-bulanan media. Richard
Nixon (1969-1974) dan George Bush Junior (2001-2009). Nixon bukan hanya
dikritik, dicemooh dan diolok-olok. Nixon bahkan sampai kehilangan jabatan
kepresidenannya.
Nixon
dilengserkan secara tak bermartabat akibat kemenangannya di Pemilu Presiden,
dibongkar media sebagai hasil dari sebuah kecurangan. Dan kecurangan itu
dibongkar oleh wartawan The Washington Post, Carl Bernstein dan Bob Woodward.
Entah
sadar bahwa kecurangannya yang dikenal dengan Skandal Watergate - sebuah
perbuatan yang memalukan dan harus diakui diam-diam, Presiden Nixon tidak
melakukan perlawanan. Nixon juga tidak mengajak sahabat-sahabatnya untuk
memusuhi media.
Hingga
meninggal dunia, tak ada yang tahu apa isi hati Richard Nixon. Tapi diamnya
Nixon juga membuat media Amerika Serikat tidak lagi mengungkit-ungkit
kecurangannya untuk meraih kursi kepresidenan. Sampai saat ini, nama Nixon
tetap baik, setidaknya tak ada yang terus menerus mencemoohnya.
Padahal
kalau media, sebagai bagian dari masyarakat (Amerika Serikat) yang merasa
dibohongi oleh Presiden-nya, mau mengungkit terus prilaku buruk Nixon, tak ada
satu kekuatan yang mampu mencegahnya.
George
Bush junior, lain lagi ceriteranya. Kebijakannya yang salah bagi kepentingan
rakyat Amerika Serikat termasuk membohongi publik, dituangkan dalam bentuk film
berjudul Fahrenheit 9/11. Sementara di luar negeri, Bush dilempar sepatu oleh
reporter yang kecewa dengan kebijakannya yang menginvasi Irak.
Semua
peristiwa di atas jika dibungkus dalam satu paket persoalan, sangat tidak
menyenangkan bagi siapapun yang menjadi Presiden AS. Kritik dan peristiwa di
atas memberi peringatan, kalau mau menjadi Presiden, jangan hanya mau yang
enak. Kalau mau sehat jangan hanya makan yang manis. Harus diseimbangkan dengan
yang pahit.
Film
Fahrenheit 9/11 karya Michael Moore di 2004 merupakan sebuah 'penelanjangan
bulat-bulat' atas semua kebijakan seorang Presiden George Bush. Sebab fakta
yang diajukan Michael Moore menunjukkan betapa besar kebohongan publik yang
dilakukan Presiden yang ayahnya juga bernama sama, Geore Bush dan mantan
Presiden AS pula.
Moore
antara lain mengungkap tentang hubungan akrab antara keluarga Presiden Bush
dengan keluarga Osama bin Laden. Hubungan itu terkait dengan bisnis minyak yang
melibatkan uang yang tak terbatas.
Namun
menurut Michael Moore adalah Bush sendiri yang menuding Osama bin Laden sebagai
otak dari penyerangan menara WTC, New York. Bush pula yang mencap Osama bin
Laden yang berkewarnegaraan Arab Aaudi itu sebagai tokoh teroris dunia yanhg
menjadi musuh utama Amerika Serikat.
Sebelum
ceritera lanjutan, film Fahreinheit 9/11 ini kemudian diresensi oleh hampir
seluruh media di Amerika Serikat. Terutama karena keberhasilannya sebagai
sebuah film semi-dokumenter meraih "Palm d'Or" di festival film
Cannes, Prancis, tahun itu juga. Penghargaan tersebut merupakan yang tertinggi
di festival tahunan Cannes.
Kontroversi
yang diungkap Michael Moore dalam kaitan dengan Osama bin Laden bahwa Presiden
Bush telah bersikap munafik. Di satu sisi menuding Osama sebagai tokoh teroris,
tetapi di sisi lain Bush menyelamatkan sejumlah keluarga Osama bin Laden yang
menetap di Amerika Serikat. Begitu otoritas Washington mendeklarasikan Osama
sebagai pelaku penyerangan WTC, dalam hitungan jam setelah itu, Bush
mengizinkan sebuah jet take off dari sebuah landasan di Amerika Serikat.
Pesawat itu berisikan penumpang yang semua merupakan clan Osama bin Laden.
Dalam
kesimpulannya, sekalipun George Bush seorang pemimpin negara dan negara Amerika
Serikat, tetapi tak ragu melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan
bangsanya. Yang penting kepentingan pribadinya tercapai.
Dalam
isu hubungan media di Indonesia dengan Presiden SBY, bobot kritik tersebut,
belum sampai sedalam seperti yang dilakukan Michael Moore dan media-media AS.
Media-media di Indonesia masih banyak dan sering bersikap 'toleran' terhadap
SBY.
Sekalipun
berbagai data yang dimiliki media menunjukkan cukup banyak ketidakberesan yang
terjadi si masa kepemimpinannya, sebagai Presiden, tapi karena alasan
psikologis, media akhirnya melakukan pembatasan.
Media
masih melihat SBY sebagai pemimpin yang patut dibantu. Media masih berharap,
sisa waktu yang masih ada dalam pemerintahannya - sampai 20 Okrober 2014, masih
dapat digunakan SBY untuk berbuat banyak yang positif bagi bangsa dan negara.
Sangat
keliru, apabila SBY menempatkan media-media di Indonesia sebagai pihak yang
menjadi musuh utamanya. Sangat tidak patut, apabila SBY begitu mendewakan
demokrasi di Amerika Serikat, tetapi demikian merendahkan dialog demokratis
yang ada di negerinya sendii.
Kalau
ada waktu, tidak ada salahnya SBY membuka website yang menggambarkan hubungan
yang sangat harmonis antara Michael Moore dan Presiden George Bush. Di sebuah
tempat yang berlatar belakang Gedung Putih, keduanya difoto oleh media dalam
pose alamiah.
Presiden
Bush dalam pakaian resmi, jas dan berdasi merah, tersenyum lebar sambil
memegang tangan Michael Moore. Pengeritik Bush ini hanya berpakaian jeans dan
kaos oblong hitam.
Sebuah
pemandangan yang bisa menjadi rujukan tentang bagaimana sebaiknya Presiden SBY
melakukan rekonsiliasi, berujuk dengan rakyatnya ataupun media pengeritiknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar