Senin, 04 November 2013

Renovasi Diri

Renovasi Diri
Samuel Mulia  ;  Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS, 03 November 2013

Sudah berkali-kali saya naik pesawat dan sudah berkali-kali saya mendengarkan instruksi cara-cara menyelamatkan diri, dan sejuta kali saya tak pernah menyimak. Dua detik saja tidak, apalagi menyimak sampai tuntas.

Namun, hari ini saya malah disadarkan bukan oleh petugas maskapai penerbangan, tetapi oleh sebuah pesan yang masuk ke telepon genggam. Kira-kira begini bunyinya. ”If there is a change in cabin pressure put your own mask on before helping others with theirs.”
Trenyuh

Saya ini orang yang mudah trenyuh. Oleh apa pun. Terutama sebuah keadaan yang memelas dan memeras hati nurani. Orang tak pernah atau jarang percaya kalau manusia sejahat saya bisa trenyuh. Tetapi begitulah kenyataannya. Sebuah kenyataan yang tak semua orang bisa melihatnya. Bukan karena mereka buta, tetapi karena saya lebih sering menunjukkan sikap tak trenyuh.

Saya itu sering kali kalau melihat ada orang yang bisa meluangkan waktu untuk orang lain ingin seperti mereka. Entah dari kasus yang paling ringan, seperti hanya menyediakan waktu untuk mendengar saja, sampai kasus berat menolong orang tak mampu, bahkan membela hak atau melindungi orang yang diperlakukan tidak adil.

Perasaan trenyuh dan keinginan untuk menolong serta-merta naik melejit seperti roket. Apalagi kalau sehabis menyaksikan film atau talk show. Saya ingin hebat seperti mereka. Tetapi yang melejit seperti roket itu sampai sekarang tak pernah terwujud. Sebabnya karena saya tak melakukannya dengan dasar mengevaluasi kemampuan, tetapi hanya berdasarkan emosi yang ingin sama itu.

Tak terwujudnya juga karena setelah mendengar mereka yang meluangkan waktu, bahkan menghabiskan waktunya untuk menolong orang lain, ada risiko yang harus dihadapi, bahkan kehilangan nyawa sendiri. Saya menyerah telak sebelum perang karena saya tak siap menanggung risiko dari menolong orang. Saya menyerah karena kaget kalau untuk sebagian orang, berbuat baik itu sebuah ancaman.

Selama ini saya diajari berbuat baik saja tanpa disodori secara gamblang risiko dari perbuatan itu. Maka, pesan yang masuk di pagi hari, tepat saat saya mendarat kembali ke Jakarta, membuat pagi saya seperti mendung yang tiba-tiba menyerang kota ini belakangan. Saya kemudian berkaca kembali pada keinginan yang mulia itu. Berkacanya sambil membaca ulang lagi instruksi keselamatan penerbangan itu.
Butuh oksigen

Kalau menolong orang lain itu harus dimulai dengan menolong diri sendiri. Menolong diri sendiri itu adalah melihat ke dalam diri, apakah kemampuan menolong itu ada. Kemampuan mental, intelektual, emosional, dan finansial. Saya kok tiba-tiba merasa rumit sekali hanya untuk berbuat baik.

Dalam kasus yang ringan, seperti meluangkan waktu untuk mendengarkan, misalnya. Saya ini orang yang tipenya tak suka mendengar dan lebih suka didengar. Artinya, menjadi pendengar yang baik itu adalah bukan saya. Jadi, bagaimana saya mau menolong orang kalau saya sendiri saja ogah mendengarkan mereka curhat, bukan?

Kalaupun saya memaksakan diri, mungkin saya mampu bertahan dalam waktu lima belas menit, kemudian setelah itu giliran mereka yang menjadi pendengar atas contoh-contoh yang saya berikan dengan harapan mereka bisa belajar dan kemudian menjadi lebih lega karena sudah mendengar solusinya.

Padahal, menyediakan waktu untuk mendengar itu tak selalu sama dengan membutuhkan pertolongan dalam bentuk komentar atau jawaban, bahkan solusi. Mereka hanya mau didengar. Titik. Nah, dalam urusan ini saya tak peka sama sekali.

Maka, seyogianya, saya tak bisa sok mau ikut-ikutan meluangkan waktu seperti orang lain untuk mendengar, tanpa niat saya untuk merenovasi sifat-sifat saya yang malas mendengar itu, dan kepekaan yang kadarnya rendah sekali. Maka, kemudian saya menyerah kalah dengan berpikir mau berbuat baik saja kok yaaaa...susahnya setengah mati.

Mau menolong orang lain selain doa, waktu, dan lain-lainnya kadang ada bantuan dalam bentuk uang. Nah, saya itu juga sok tahu mau membantu ini dan itu. Saya lupa keadaan keuangan saya sendiri. Saya itu suka menolong orang, tetapi memiskinkan diri sendiri.

Dan saya selalu berpikir kalau Tuhan itu pasti menyediakan apa yang saya butuhkan, jadi tak perlu harus berhitung. Kenyataannya? Saya sering kali sekarat. Maka, yang saya perlukan sebelum menolong orang lain, kondisi keuangan saya juga harus dalam keadaan sehat.

Menolong itu baik, tetapi tak bisa membutakan seseorang untuk menilai kemampuan dan risiko yang dihadapi. Menolong itu mulia, tetapi menghadapi mereka yang terancam karena niat menolong yang katanya mulia itu bisa jadi mengkederkan jiwa.

Maka, saat selesai membaca pesan di pagi itu, saya tiba-tiba merasa butuh tambahan asupan oksigen. Saya ternyata belum siap menolong orang, tepatnya belum siap dengan risikonya. Mungkin saya harus mulai dengan kasus yang paling ringan. Ringan buat saya bukan buat orang lain tentunya. Dan itu adalah...menjadi pendengar yang baik. Tiba-tiba saya mendengar nurani saya tergelak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar