Senin, 04 November 2013

Bahasa Kita

Bahasa Kita
Bre Redana  ;  Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS, 03 November 2013

Saya punya pandangan dan kesan pribadi terhadap saudara-saudara kita dari Indonesia Timur. Sekali lagi, kesan pribadi, sehingga sifatnya sangat subyektif. Saya sering terharu dengan kecakapan berbahasa Indonesia mereka. Pribadi-pribadi yang saya kenal dari Flores, misalnya, umumnya berbahasa Indonesia dengan sangat bagus meski daerah mereka—kita semua tahu—terbilang sangat tertinggal. Kemakmuran Indonesia selama ini seakan cuma diborong oleh Pondok Indah, Kemang, Bintaro, BSD, dan kantong-kantong lain di Jakarta yang tengah dan terus berkembang.
Memperingati Sumpah Pemuda lalu, Daniel Dhakidae dari majalah Prisma  mengajak saya menjadi salah satu pembicara dalam seminar bahasa yang mereka selenggarakan. Daniel, seperti Ignas Kleden yang juga pembicara, sama-sama berasal dari Flores. Dulu, tahun 1970-an, Prisma adalah majalah yang ditunggu-tunggu kalangan akademik dan siapa saja yang berminat pada pemikiran. Khusus bagi saya, pada zamannya majalah ini ikut menumbuhkan minat saya pada ilmu-ilmu sosial.
Hanya saja dalam seminar yang mereka rancang tadi, saya katakan bahwa saya tidak lagi berminat pada ilmu-ilmu sosial sebagai referensi. Apalagi pada formalitas ilmu-ilmu politik. Kalau toh saya menggunakan istilah politik, terus terang saya memaksudkannya sebagai politik tubuh, yang saya ”impor” dari institut olah tubuh Persatuan Gerak Badan Bangau Putih. Mereka tak berkeberatan.
Maka, saya membuka dengan memproyeksikan simbol Tao, suatu segitiga sama sisi yang disebut San Po. Pada tiga sudutnya terdapat masing-masing pikiran-tubuh-spirit (mind-body-spirit). Sudah berulang-ulang tesis mengenai keseimbangan manusia ini saya gunakan untuk memahami berbagai hal. Saya pikir biar saja. Toh Marxisme juga ratusan tahun dimanfaatkan orang untuk melihat bermacam persoalan.
Berbagai seminar maupun diskusi yang diselenggarakan pekan lalu dalam hubungannya dengan Sumpah Pemuda pada umumnya berisi kritik serta keluh kesah terhadap turunnya kemampuan berbahasa Indonesia masyarakat kita. Tak ketinggalan, pertanyaan terhadap fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa politik pemersatu dan bagian dari jati diri bangsa di tengah globalisasi.
Sebenarnya, problem bahasa di era globalisasi ini sama saja di mana-mana: manusia makin terpisah dari kewajaran alam. Bahasa dan penggunaannya mencerminkan keterpecahan dalam diri manusia. Kemungkinan, ini disebabkan oleh perkembangan teknologi informasi, termasuk kemajuan deras teknologi memori buatan, berupa microchip komputer yang mengalami ”updating” setiap saat. Fungsi memori manusia menurun karena tugas memori telah diambil alih oleh memori buatan tadi.
Mengembalikan bahasa untuk tidak terseret arus globalisasi yang menyebabkan keterpecahan dalam diri manusia tidak bisa tidak adalah dengan mengembalikan bahasa dalam keselarasan manusia. Yakni, keselarasan pikiran-badan-spirit. Kalau keselarasan itu tidak ada, maka orang akan berbahasa seperti orang skizofrenia. Contoh karikaturalnya sudah ada, misalnya yang pernah ramai di YouTube, Vicky dengan ”twenty nine my age, kontroversi hati, konspirasi kemakmuran”, dan lain-lain.
Adapun contoh sehari-harinya adalah bahasa para politisi dan koruptor kita. Korupsi adalah politik tubuh yang tidak terkendali. Bahasa para tersangka korupsi seperti lupa, tidak tahu, tidak kenal, jelas bukan sekadar berhubungan dengan kekacauan berbahasa, tetapi kekacauan manusia.
Bahasa adalah sesuatu yang hidup dan berkembang seperti manusia. Kalau kita meyakini bahasa sebagai sesuatu yang hidup, maka dia harus mampu mengalir secara spontan (Liok Hap), menjadi puncak dari Tao, yaitu bersatunya pikiran dan spontanitas.

Krida berbahasa sejatinya tak ubahnya dengan proses pengolahan raga: sadar bentuk, sadar ruang, sadar waktu. Juga proses pengolahan rasa: rasa estetik, tepa selira alias empati, welas asih, dan cinta kasih. Tak ketinggalan, pengolahan pikiran: mengolah nalar sehat. Selebihnya, selalu eling, sadar, ingat Tuhan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar