Senin, 04 November 2013

Remaja yang Bosan

Remaja yang Bosan
Kristi Poerwandari  ;  Kolumnis “Konsultasi Psikologi” Kompas
KOMPAS, 03 November 2013

Belum lama ini kita dikejutkan lagi dengan berita video mesum pelajar SMP. Seorang ibu melaporkan anaknya dipaksa melakukan adegan tersebut oleh teman-temannya, tetapi polisi kemudian menduga bahwa tidak ada unsur pemaksaan.

Pemeriksaan masih berlangsung, dan apa pun hasilnya, banyak dari kita merasa miris. Apabila itu bullying, betapa mengerikan bahwa remaja (perempuan) dapat secara ringan memaksakan hal itu pada temannya. Jika itu adegan iseng, juga sangat memprihatinkan betapa pelajar SMP melakukan tanpa sungkan, ditonton santai oleh teman-teman.

Hidup yang kosong

Mendadak saya teringat percakapan dengan seorang lelaki muda di lembaga pemasyarakatan. Ia dipidana beberapa tahun atas tindakan pencabulan pada perempuan kecil tetangganya. Ia bercerita bahwa ia pindah dari kampung ke Jakarta, menumpang di rumah kakaknya, berusaha mencari kerja. Bulan demi bulan berlalu ia tidak memperoleh petunjuk positif akan segera mendapat yang diimpikan. Ia menunggu, tidak tahu harus berbuat apa, merasa kosong dan sangat bosan. Suatu pagi gadis cilik tetangganya yang biasa bermain bersama keponakannya masuk rumah dan tiba-tiba terpikir di otaknya, ”Aku kerjain aja nih anak.” Pikiran demikian sebelumnya sama sekali tidak pernah ada.

Saya merasa heran dan mencoba menggali lebih dalam mengenai kemungkinan alasan lain, tetapi memang tidak terungkap. Yang terungkap adalah tema kekosongan, tidak ditemukannya makna hidup dan kebosanan yang intens.

Saya juga ingat sepasang suami-istri yang hubungannya buruk dengan anak-anak yang sangat ”bandel” dan sulit diatur. Kini saya menduga kebandelan anak-anak itu mungkin bentuk ”kegelisahan” akibat kejenuhan, kebosanan terkungkung dalam hidup yang dirasa tidak bermakna. Jika sedang gelisah, anak-anak itu akan melakukan berbagai tindakan destruktif, misalnya memukuli anak lain, atau menangkap kucing dan kemudian hidup-hidup membakarnya.

Psikologi belum tertarik menelaah ”kebosanan” secara serius. Sementara saya menduga, manusia dapat berperilaku merugikan, bahkan berbahaya, ketika dilanda kebosanan. Pada remaja khususnya, kebosanan dapat berasosiasi dengan penyalahgunaan obat, perilaku seks bebas, tawuran dan kekerasan, kecenderungan bunuh diri, serta perilaku berisiko lain.

Tentu kita semua pernah dan sering bosan. Kita bisa sekadar ”bosan pasif” (menguap saat bosan mendengar dosen mengajar), ”bosan aktif” (merasa jenuh lalu mengisi waktu dengan mengerjakan hobi), atau bosan ”destruktif” (anak-anak remaja yang jenuh dan gelisah lalu cari-cari masalah dan memancing tawuran).

Ada pula yang membagi kebosanan dalam kategori lain. Ada bosan situasional (saat lama menunggu), bosan dalam arti jenuh (tiap hari makan dengan menu sama hingga yang paling lezat pun jadi terasa biasa), bosan akibat tidak dapat berkreasi, dan bosan eksistensial. Dua hal terakhir bermakna lebih dalam dari lainnya. Erich Fromm bilang, manusia adalah makhluk berkarya, jadi dapat dibayangkan jika tidak dapat bekerja atau berkreasi. Sejalan dengan itu, tokoh-tokoh psikologi eksistensial bilang, manusia butuh (menciptakan) ”makna” positif akan hidupnya.

Nilai hidup

Penelitian Fahlman dkk (2009) menunjukkan hubungan unik antara makna hidup dan perasaan bosan. Orang yang kosong makna cenderung lebih dikuasai rasa bosan. Orang yang dapat mengembangkan tema hidup berarti akan lebih sedikit dicekam rasa bosan dan akan lebih mampu menanggulangi rasa bosannya. Sebaliknya, individu yang terus dilanda kebosanan umumnya juga menunjukkan tiadanya penghayatan 
tentang makna hidup.

Adamson (2003) melakukan penelitian pada remaja pelaku pelanggaran hukum di Inggris, dan menemukan bahwa salah satu motif paling umum yang disebutkan remaja mendasari perilaku mereka adalah ”perolehan materi” dan ”rasa bosan”. Jadi remaja mencari-cari aktivitas untuk dapat menemukan gairah dan kesenangan sesaat demi membuang kebosanan.

Remaja yang mengalami kebosanan situasional, bila ada dalam lingkungan keluarga yang positif, dapat bercerita kepada orangtua atau saudara. Ia memperoleh jalan keluar konstruktif melalui hobi, aktivitas bersama keluarga, atau obrolan ringan yang melegakan. Ia juga dapat mengembangkan tingkat toleransi yang baik sekaligus kreativitas menghadapi stres, frustrasi, konflik, dan kebosanan.

Sebaliknya, remaja dari keluarga dan lingkungan yang kacau mengalami banyak kebingungan, tidak mengerti apa yang terjadi, banyak menghayati emosi negatif. Ia tidak mengerti makna hidupnya: orangtua tidak ada atau hanya menghukum, orang-orang terdekat tidak memberi rasa aman, dan ia berusaha keras mencintai diri sendiri tetapi mungkin gagal. Ia meniru lebih banyak pola perilaku negatif dari orang dewasa di lingkungannya, dan tidak belajar mengenai pentingnya mendasari diri dengan nilai-nilai hidup yang baik seperti menghormati diri sendiri, menghormati orang lain, kepedulian, atau pengendalian diri.

Remaja demikian menghayati kekosongan sekaligus rasa bosan yang intens, yang mungkin diatasi dengan berbagai cara menurunkan kegelisahan, mencari antusiasme dan kesenangan sesaat, atau eksperimentasi, tanpa bekal nilai-nilai yang kuat. Maka, ia akan lebih mudah mem-bully remaja lain, dipengaruhi teman sebaya untuk melakukan berbagai hal berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain. Mungkin tergoda melakukan eksperimentasi seksual–yang barangkali bahkan tidak dimengertinya membawa kenikmatan apa–dan hanya akan mengantarnya masuk dalam lingkaran persoalan-persoalan baru.

Apabila kekosongan dan rasa bosan dapat menjadi pencetus tindakan-tindakan merugikan dan berbahaya, tampaknya satu-satunya cara adalah membekali remaja dengan teladan nilai-nilai baik yang akan memandu perilaku mereka. Maka, kebosanan kadang tentu tak terhindarkan, tetapi dapat berubah wujud menjadi berbagai aktivitas dan kreasi positif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar