|
Laku politik
suap telah membelenggu institusi politik di negeri ini. Celakanya, Mahkamah
Konstitusi pun ikut melakukannya. Kepemimpinan institusi politik dan institusi
hukum yang terkena dampak kuman korupsi membuat kepercayaan publik menurun
drastis.
Di samping itu,
kekuasaan kapital acap kali memayungi proses politik dengan menyelipkan
kekuatan modal dalam menentukan pejabat politik atau berbagai kebijakan publik.
Walhasil, kita pun sulit membedakan antara janji pejabat yang tulus dan
kebohongan kebijakan yang merayu.
Selain itu,
pejabat publik atau pejabat politik acap kali berbicara mewakili institusi
politiknya, juru bicara mewakili pimpinannya, pejabat partai mewakili ketua
umumnya, atau politisi mewakili pemodalnya. Maka, apa yang mereka sampaikan
tidak mewakili dirinya sendiri demi tegaknya kebaikan publik di negeri ini.
Memang kekuatan
sosok masih menjadi indikator penting bagi publik sehingga banyak yang menjadi
sosok pemimpin seolah-olah: seolah-olah bersih, seolah-olah antikorupsi, dan
seolah-olah berani berantas korupsi.
Mereka bahkan
berani mengeluarkan kata-kata. Kata-kata acap kali memakan tuannya. Misalnya,
”potong jari tangan jika terbukti korupsi” atau ”gantung saya di Tugu Monas
jika korupsi”. Pejabat publik yang mengatakan itu sekarang malah jadi
tersangka.
Kebohongan
politik telah masuk dalam kehidupan sehari-hari. Memang susah menentukan
pilihan figur politik mana yang diyakini sebagai pemimpin yang akan membawa
perubahan.
Perlu
keberanian untuk memilih dan menentukan kepemimpinan baru. Tanpa tedeng
aling-aling, rakyat adalah penentu ke mana arah kepemimpinan politik di negeri
ini melaju. Kehidupan politik di negeri ini perlu warna baru. Akankah muncul
kepemimpinan baru?
Etos
Harapan
kepemimpinan baru yang otentik masih dibayangi oleh kepemimpinan seolah-olah.
Di sisi lain,
kultur politik yang pokoknya pilih yang kuat supaya dapat untung, pilih yang
punya banyak fasilitas biar hidup terjamin, menjadi momok kepemimpinan politik
menjadi tambah seolah-olah.
Hal lain yang
menyedihkan adalah kemiskinan rohani dan kemiskinan kultur, yang tak jarang
bermukim di balik kemewahan materi yang melimpah para elite politik kita.
Akibatnya, kultur politik pun tak menetaskan etos kepemimpinan baru.
Sosok negarawan
(statesmanship) dengan sendirinya
dituntut untuk memiliki wawasan politik dan kebudayaan. Sebab, kita tidak dapat
membangun suatu bangsa tanpa akar kebudayaan.
Kita perlu
memiliki kepemimpinan yang memiliki etos. Politik bukan hanya soal prosedural
semata. Artinya, perlu kesadaran kultural dalam berpolitik.
Pemimpin
semestinya memiliki ekspresi tata nilai yang berhasil memadu konflik-konflik
peranan di dalam diri dan di luar dirinya.
Menurut Daniel
Dhakidae (1978), seseorang yang berpribadi karena keberhasilan dalam memadu
etos dalam peranan masing-masing menuju tujuan berbangsa. Dan kita sebut
sebagai bangsa yang berpribadi.
Politik yang
terdidik akan melahirkan etos pelaku politik yang berpribadi dan menciptakan
lembaga politik yang sehat.
Kemudian,
lahirnya kepemimpinan politik yang terdidik, yang tak muncul dari pancaran
citra karena pemilik media atau menggelontorkan miliaran rupiah untuk tampil
seolah-olah layaknya sosok pemimpin yang layak dipilih.
Republik ini
tak butuh pemimpin yang hanya pandai bercitra ria, bukan pula yang hanya orator
besar sekadar mampu menggerakkan semangat orang banyak. Yang diperlukan adalah
organisator.
Yang dibutuhkan
adalah corak kepemimpinan yang mempunyai kontrol cermat atas pelaksanaan
keputusan-keputusan. Dan, corak kepemimpinan yang mampu menggerakkan sistem dan
mengubah sistem penyelenggaraan negara menjadi lebih baik dan berkemajuan.
Lebih penting
lagi adalah corak kepemimpinan yang mampu meruntuhkan tembok kultur korup yang
berada dalam semua institusi negara di republik ini.
Bukan sekadar
kepemimpinan yang menampakkan etos kesalehan, melainkan kepemimpinan yang
menanamkan kultur transformatif dan mencerahkan.
Itulah etos
mumpuni kepemimpinan baru yang didambakan anak-anak bangsa ini. Akhirnya,
ibarat suara peluit yang tak tahu dari mana datangnya, kepemimpinan politik
yang seolah-olah hanya akan menimbulkan prahara politik yang tak
habis-habisnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar