|
Akhir-akhir ini muncul perdebatan di
ranah publik tentang perlu tidaknya sengketa pilkada ditangani Mahkamah
Konstitusi. Perdebatan itu muncul setelah Mahkamah Konstitusi dilanda krisis
legitimasi terkait skandal suap yang menimpa ketuanya yang kini telah
diberhentikan.
Sejumlah argumen muncul terkait
soal itu. Sebagian mengatakan, sebaiknya sengketa hasil pemilihan kepala daerah
(pilkada) tidak lagi ditangani Mahkamah Konstitusi (MK) sebab secara eksplisit
MK tidak diberi kewenangan untuk itu. Dalam UUD hanya disebutkan MK berwenang
memutus sengketa hasil pemilu. Alasan ini kita sebut alasan hukum tertulis.
Mengacu pada ketentuan hukum sesuai teksnya, seperti apa yang tertulis dalam
UUD.
Argumen lain mengatakan, kewenangan
MK memutus sengketa pilkada sebaiknya tidak perlu dicabut. Memang UUD secara
eksplisit tidak menyebut kewenangan itu. Pada saat UUD amandemen dibuat, memang
belum terbayang akan ada sengketa pilkada. Akan tetapi, menghadapi situasi
sekarang, kewenangan MK menangani sengketa hasil pemilu itu bisa diperluas ke
sengketa hasil pilkada.
Alasan ini kita sebut alasan hukum
dinamik atau progresif. Selain memperhatikan suasana alam pikir, inisiatif
hakim konstitusi memutus suatu perkara bisa menjadi produk hukum, yang bisa
dijadikan acuan sebagai norma hukum dalam memutus perkara serupa.
Kedua pandangan ini mewarnai arus
utama alasan perlu tidaknya MK menangani sengketa hasil pilkada. Selain itu,
masih ada argumen lain yang mengemuka, seperti sebaiknya penanganan sengketa
pilkada dialihkan ke Mahkamah Agung (MA) atau pilkada dihapus saja, diganti
pemilihan oleh DPRD.
Alam pikir
Mencermati berbagai argumen di
atas, terbayang betapa masih menggantungnya masalah sengketa pilkada. Kenyataan
politik yang berkembang sekarang menunjukkan begitu semakin transaksionalnya
praktik demokrasi. Bahkan, hal itu semakin mendapat kewajaran dari
proseduralisme yang berlangsung dari penyelesaian hukum sengketa politik itu.
Kecenderungan itu pada ujungnya
akan menemui jalan buntu. Ketika kewenangan MK dipertanyakan dalam soal ini,
maka akan berujung pada perlunya mengamandemen konstitusi. Ujung yang sama juga
akan ditemui jika dialihkan ke MA atau pilkada dihapus. Setidaknya hal itu
apabila ketentuan hukum tertulis, atau bagaimana bunyinya menurut UUD,
dijadikan referensi utama.
Situasi politik jalan buntu itu
tidak akan terjadi jika kita memahami alam pikir dan suasana batin reformasi
yang mengantar dilakukan amandemen UUD 1945. Hanya, sayangnya, UUD amandemen
tidak memberikan penjelasan memadai soal itu; apa dan bagaimana alam pikir dan
suasana batin politik saat itu yang mendasari dilakukan amandemen UUD 1945.
Alam pikir dan suasana batin dari
lahirnya sebuah UUD sangat penting diketahui publik. Seperti ditekankan dalam
penjelasan UUD 1945, alam pikir dan suasana batin dari UUD penting untuk
diketahui; apa maksud UUD itu dibikin, aliran pikiran apa yang mendasari dan
bagaimana suasana batin dari UUD itu. Dalam kaitan dengan UUD 1945, hal itu
tidak lain adalah semangat kemerdekaan. Dengan begitu, bisa dimengerti
bagaimana UUD itu harus diterjemahkan ke dalam penyelenggaraan negara dan pembentukan
UU.
Suasana batin demokrasi
Sejauh ini, kita telah menjalankan
reformasi politik menuju demokrasi. Sejauh itu pula, kita memasuki alam pikir
demokrasi yang mengedepankan pentingnya kebebasan dan kesetaraan bagi seluruh
warga negara.
Tidak hanya bebas dari segala
bentuk koersi dan ketidakadilan, tetapi juga bebas untuk mencapai kehidupan
lebih baik dalam semangat kesetaraan dan persaudaraan segenap warga bangsa.
Namun, alam pikir dan suasana batin
kadang tidak selalu seirama. Apa yang baik menurut pikiran dan gagasan itu
tidak selalu terjadi dalam praktik hidup nyata. Terutama ketika ide- ide dan
pikiran itu terlalu cepat dikristalisasi atau diberi bentuk menjadi teks UU dan
tidak dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Sekarang ini kita saksikan kegalauan
dan apatisme terhadap demokrasi terjadi di mana-mana karena begitu senjangnya
representasi politik dan artikulasi kepentingan publik. Kegalauan itu
mencerminkan krisis demokrasi sedang berlangsung.
Keadaan ini tidak hanya dialami
Indonesia, tetapi juga terjadi di banyak negara dan menjadi problem global.
Terlalu dangkalnya praktik demokrasi hanya menekankan nalar instrumental,
proseduralisme, konsensus dan kompromi, dengan mengabaikan dimensi nalar
publik, afeksi, semangat, harapan, ketegangan dan konflik yang semestinya
mendapat jawaban dari praktik demokrasi ditengarai menjadi penyebab utama.
Kegalauan itu tidak bisa kita
abaikan dan harus memperoleh jawaban dari praktik demokrasi. Kegagalan menjawab
problem itu, ketika horizon demokrasi tidak memberikan saluran yang nyata, bisa
menyebabkan tumbuhnya fundamentalisme dan kekerasan politik yang membahayakan
sistem demokrasi.
Menghadapi situasi dilematis itu,
sepertinya kita perlu berpikir ulang apakah tidak sebaiknya sengketa pilkada
dikembalikan ke lembaga pemilu independen dan proses-proses penyelesaian
demokratis berlangsung di ranah publik. Kalaupun terpaksa harus dibawa ke meja
hakim konstitusi, kita berharap proses sidang dan mekanismenya betul-betul
dijalankan dalam suasana batin dan alam pikir demokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar