Senin, 08 Juli 2013

Setelah Mursi Jatuh

Setelah Mursi Jatuh
Asrudin  ;  Peneliti di Lingkaran Survei Indonesia Group
SINAR HARAPAN, 06 Juli 2013


Setahun setelah terpilih menjadi presiden, Muhammad Mursi resmi digulingkan dari kursinya oleh militer Mesir, Rabu (3/7) malam waktu setempat. Tidak berhenti sampai di situ, konstitusi Mesir yang ditulis berdasarkan aturan main Mursi dan Ikhwanul Muslimin (IM) pun dibekukan oleh militer dan parlemen dibubarkan.

Ketua Mahkamah Konstitusi Mesir, Adly Mansour, kemudian ditunjuk sebagai presiden sementara sampai pemilihan presiden berikutnya berlangsung. Lengsernya Mursi diumumkan Panglima Militer Jenderal Abdul Fatah Al-Asisi.

Ketika mengumumkan keputusan militer ini, Al-Asisi didampingi ulama Al-Azhar, pemimpin Gereja Kristen Koptik, pemimpin oposisi Muhammad el-Baradei, pemimpin Partai Islam Nour dan tokoh gerakan Tamarod yang mengorganisasi unjuk rasa di Lapangan Tahrir.

Setelah lengser, Mursi pun langsung dikenakan tahanan rumah oleh pihak militer—ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Rakyat Mesir kemudian menyambutnya dengan suka cita. Jutaan pengunjuk rasa anti-Mursi di seluruh negeri bergembira dalam perayaan.

Kembang api meledak di atas kerumunan di Lapangan Tahrir, Kairo, di mana pria dan wanita Mesir menari-nari dan berteriak, "Allahu Akbar" dan "Hidup Mesir." (Associated Press, 3/7/2013). Menariknya, situasi serupa pernah terjadi dua setengah tahun lalu, di mana gelombang unjuk rasa di tempat yang sama menumbangkan diktator militer Husni Mubarak.

Yang menjadi pertanyaan besar adalah apa penyebab Mursi dilengserkan; dan akan menjadi seperti apakah Mesir pasca-Mursi--apakah militer akan kembali berkuasa setelah Mursi berhasil dikudeta, ataukah militer tetap akan menghormati mekanisme demokrasi yang menghendaki sipil untuk berkuasa melalui pemilu langsung seperti ketika Mursi terpilih.

Penyebab

Tak diragukan lagi, ketegangan politik antara IM (yang dipimpin mantan Presiden Mursi) di satu sisi dan oposisi serta militer Mesir di sisi yang lain, dimulai setelah Mursi terpilih sebagai presiden dan setelah IM memenangi mayoritas kursi di parlemen. Selama satu tahun Mesir dikuasai, Mursi dan IM cenderung berjalan sendiri dan enggan membagi kekuasaannya kepada oposisi dan militer dalam membangun Mesir.

Oleh sebab itu, meski Mursi berhasil meraih 51,7 persen dukungan suara (mayoritas) dalam pemilihan presiden setahun lalu, ia terlihat kesulitan dalam menciptakan stabilitas politik dan ekonomi di Mesir. Akibatnya warga Mesir mulai menunjukkan ketidaksukaan pada Mursi melalui unjuk rasa besar-besaran sejak 30 Juni lalu yang menuntut dirinya mundur dari jabatannya.

Terkait dengan hal itu, terdapat empat faktor penting yang memicu warga Mesir melakukan unjuk rasa (Tempo.co, 4 Juli 2013). Pertama karena terlalu dominannya wajah IM dalam struktur kekuasaan pemerintah, seperti penunjukan tujuh gubernur baru yang semuanya berlatar belakang IM.

Kedua, selama kepemimpinan Mursi, kondisi ekonomi Mesir terus memburuk. Investasi asing tidak kunjung datang, sementara sektor pariwisata yang merupakan salah satu tulang punggung ekonomi Mesir tak kunjung pulih. Harga bahan makanan, bahan bakar, dan komoditas lain terus meroket. Listrik sering kali mati karena ketiadaan bahan bakar.

Ketiga, terkait dengan keputusan Mursi menerbitkan dekret presiden pada 22 November 2012 lalu. Dekret tersebut dinilai banyak pihak sebagai sebuah blunder politik Mursi. Dalam dekret itu, Mursi memecat jaksa agung, membuat semua keputusan presiden kebal dari gugatan hukum (judicial review) dan menegaskan keabsahan parlemen Mesir.

Keabsahan parlemen sebelumnya sempat digugat oleh beberapa pihak. Sebulan setelah dekret itu diterbitkan, pemerintahan Mursi menggelar referendum untuk mengesahkan konstitusi baru Mesir. Tindakan ini pun dikritik karena dinilai sepihak dan terburu-buru. Konstitusi itu dinilai hanya mencerminkan kepentingan kelompok Mursi dan tidak dibuat dengan mempertimbangkan elemen politik lain di Mesir.

Terakhir, kepemimpinan Mursi sering diwarnai dengan banyak aksi pelanggaran hak asasi manusia (HAM), demokrasi dan toleransi beragama. Mursi dinilai gagal melakukan reformasi sektor keamanan terutama di kepolisian, paramiliter dan dinas intelijen Mesir.

Ketika polisi Mesir terlibat pembantaian di Port Said, pada Januari 2013 dan 30 orang meninggal, Mursi terlihat tidak tegas untuk menindak para pelakunya. Serangan terhadap gereja Kristen Koptik dan kaum minoritas pun meningkat.

Selain itu, parlemen Mesir yang didominasi IM dinilai berusaha terus menerbitkan undang-undang baru yang membatasi masyarakat sipil. Sebuah Rancangan UU tentang keberadaan NGO sedang dibahas dan disebut-sebut bakal mengontrol organisasi masyarakat sipil.

Pada intinya keempat faktor di atas yang memancing gerakan oposisi menggalang petisi rakyat untuk menggulingkan Presiden Mursi. Petisi itu yang disebut dengan nama Tamarod (pemberontakan). Melalui petisi inilah, juru bicara Tamarod, Mahmud Badr, menyerukan unjuk rasa besar-besaran di luar Istana Presiden pada 30 Juni lalu, yang menuntut Mursi mundur dari jabatannya.

Skenario Politik

Hasil unjuk rasa di Mesir sangat jelas, Mursi berhasil dilengserkan. Selain dibantu pihak militer Mesir tentunya. Namun, lengsernya Mursi ini juga berimbas pada tersingkirnya Partai Kebebasan dan Keadilan (PKK), partai bentukan IM yang menguasai parlemen, dari panggung politik Mesir.

Terkait dengan lengsernya Mursi dan tersingkirnya PKK, terdapat dua skenario politik yang mungkin akan terjadi di Mesir. Pertama, keputusan untuk menyingkirkan PKK bisa jadi memicu resistensi dan reaksi politik dari IM, yang kemudian berdampak pada instabilitas ekonomi dan politik Mesir di masa yang akan datang.

Kedua, lengsernya Mursi yang terpilih secara demokratis juga bisa memicu instabilitas di Mesir karena hal itu bisa dijadikan referensi bagi kekuatan politik tertentu di Mesir untuk menggulingkan presiden terpilih secara demokratis lainnya ketika popularitasnya menurun.

Oleh karena itu, agar skenario politik buram tadi tidak terjadi, rakyat Mesir membutuhkan pemerintahan yang sah, stabil, dan kredibel, serta memiliki manajemen kebijakan dan reformasi ekonomi politik yang efektif.


Namun, itu semua sangat bergantung pada konsensus antara militer, ulama Al-Azhar, pemimpin Gereja Kristen Koptik, pemimpin oposisi Muhammad elBaradei, pemimpin Partai Islam Nour dan tokoh gerakan Tamarod dalam membentuk pemerintahan Mesir berikutnya. Semoga hasilnya sesuai dengan keinginan rakyat Mesir. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar