|
MEDIA
INDONESIA, 08 Juli 2013
MENARIK jika kita mengingat dan
bertanya, lebih banyak guru jenis mana ketika bersekolah dulu? Guru berjenis myopic yang berorientasi text-book dan kurikulum atau guru yang
memiliki kemampuan membagi inspirasi? Jawabannya saya yakin lebih dari 90% guru
kita berjenis myopic karena mereka
hanya mampu melihat hal-hal yang bersifat kekinian, tetapi tak memiliki
kemampuan dalam melihat jauh ke depan. Seperti politisi, guru kita kebanyakan
orang-orang yang kurang memiliki inisiatif yang inspiratif.
Namun tidak demikian dengan Pak Sarmili, guru olahraga saya
ketika SD dulu. Perawakannya yang tinggi besar, berbadan tegap, dan sorot mata
yang lembut merupakan ciri khasnya. Saya merindukan banyak sekali guru seperti
Pak Sarmili yang sangat inspiratif dalam mengajar. Salah satu peristiwa yang
hingga saat ini tetap menginspirasi saya dalam mengajar ialah melihat secara
benar bakat dan kelemahan siswa.
Di era 70-an, jauh sebelum Howard Gardner memperkenalkan
teori multitalenta anak, Pak Sarmili telah mendahuluinya. Meski mengajar
olahraga, tak serta-merta beliau memaknai olahraga hanya sebagai berlari
mengelilingi lapangan, bermain bola, bermain kasti, dan sebagainya. Beberapa
anak yang kurang berbakat dalam berolahraga, baik karena masalah kesehatan
maupun minat, selalu diperlakukan dan dinilai sama.
Saya, misalnya. Karena
seringnya sakit, saya dibebaskan dari tugas mengikuti senam, berlari
mengelilingi lapangan, atau bermain bola. Namun di luar jam mengajar, Pak
Sarmili sering menyuruh saya membeli rokok akor kesukaannya di warung luar
sekolah yang jaraknya sekitar 0,5 kilometer atau menyiram bunga matahari di
halaman sekolah dengan teko.
Siswa lain yang kurang berminat dengan olahraga tetap
diberi perhatian yang sama. Sebab, Pak Sarmili selalu memberi tugas khusus
kepada para siswanya dengan prinsip yang penting si anak bergerak secara fisik.
Apakah itu bermain kelereng, layang-layang, menggambar, semuanya punya nilai
olahraga. Dengan alasan itulah Pak Sarmili menilai anak didiknya. Kebaikan hati
dan murah senyumnya membuat Pak Sarmili dirindukan dan dicintai setiap
siswanya, selain memang ia tak pernah marah.
Bagi Pak Sarmili, kurikulum tak harus kaku dimaknai, tetapi
bagaimana bisa memberi manfaat bagi masa depan anak didiknya kelak.
Kompetisi
semu
Kebanyakan
guru saat ini mewakili tipologi guru kurikulum. Namun, mereka juga kurang memberi
inspirasi karena tak memiliki keberanian mengajak anak didiknya berpikir
kreatif (maximum thinking) serta melihat sesuatu dari luar (thinking out
of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali ke luar, ke masyarakat
luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, guru inspiratif
melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.
Guru-guru
kita saat ini terperangkap oleh kompetensi semu dan senangnya membangun batas-batas
kekuasaan teritorial antara diri mereka dan anak didik mereka. Perilaku internal
jenis itu merupakan belenggu yang disebut sebagai destructive habits.
Mereka menggunakan mikroskop untuk memperbesar
hal-hal kecil yang tidak dimiliki, tetapi tak bisa melihat jauh ke depan
tentang harapan anak didik mereka secara manusiawi.
Dalam dunia yang sangat hedonistis dan serbakebendaan ini,
faktor keikhlasan terasa tak bermakna dan benar-benar kehilangan makna. Hampir
lebih dari dua dasawarsa para guru di Indonesia terlihat seperti tak menjumpai
kata `ikhlas' dalam kamus hati mereka. Siapa mengajar siapa dan siapa belajar
dari siapa menjadi tak jelas karena guru mengajar untuk bekerja dan pemenuhan
kurikulum, bukan untuk masa depan anak-anak. Karena itu, sudah saatnya para
guru Indonesia memiliki kepekaan yang kuat dan memberi penekanan yang
terus-menerus terhadap proses pembelajaran yang sangat kontekstual (contextual learning).
Fungsi pelayanan
Teori
pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang
menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik bila apa yang dipelajari terkait
dengan apa yang telah diketahui, dan dengan kegiatan atau peristiwa yang
terjadi di sekelilingnya. Guru yang inspiratif jelas harus memiliki akar dan
pemahaman yang hebat tentang gambaran proses belajar-mengajar secara autentik (authentic
instruction), berbasis inkuiri (inquiry-based learning), menyelisik
suatu masalah dengan mencoba memberi solusi (problem-based learning), mengajarkan
fungsi-fungsi pelayanan dalam masyarakat (service learning), serta
memperkenalkan siswa dengan strategi
pembelajaran berbasis usaha/kerja keras (work-based
learning).
Dalam teori belajar berbasis pendekatan keragaman
kecerdasan, proses pendidikan yang benar harus mampu melihat bakat dan
kecerdasan siswa dari aspek yang tidak tunggal serta menimbang kombinasi antara
proses penilaian (assessing process)
dan proses pembelajaran (learning process).
Dengan kombinasi antara proses assessment dan pembelajaran yang benar,
sesungguhnya sekolah dan para guru sedang mencoba untuk tidak memisahkan apa
yang sebenarnya terjadi pada diri siswa di luar ruang kelas.
Ujian atau tes
juga tidak bisa dipisahkan dari jam belajar yang secara keseluruhan sangat
tersedia di luar sekolah. Artinya untuk melihat apakah seorang anak berbakat dan
cerdas, kemampuan pedagogis guru dan budaya sekolah yang menghargai keragaman
sangat dibutuhkan seorang anak untuk berkembang.
Profesor Antonio Damasio (2006) menyebutkan saat ini sistem
pendidikan hampir di seluruh belahan dunia menumbuhkan pembedaan yang sangat
signifikan antara proses pembelajaran yang berorientasi kognitif dan emosional.
Itu menyelami empati dan rasa tak memperoleh porsi yang jelas dalam struktur
kurikulum sehingga anak-anak cenderung dididik untuk menjadi semacam robot yang
minim rasa. Dalam pandangan Damasio, durasi dan substansi pendidikan seni
budaya dan humaniora seharusnya diseimbangkan untuk dan dalam rangka
menumbuhkan elan vital kemanusiaan manusia, yaitu emosi dan spiritualitas yang
menyatu dalam pikir dan perilaku.
Selain itu, jarangnya guru inspiratif menurut Linda
Darling-Hammond dalam Powerful Learning:
What We Know about Teaching for Understanding (2008) dengan jelas
mengkritik guru dan sekolah yang berorientasi pada hasil tes/ujian (learning for exams). Proses belajar
semacam itu tentu saja akan menjadikan anak didik cenderung menjadi objek
belajar yang pasif dan belajar secara tidak mendalam sehingga bakat dan
kecerdasan anak tidak tergali secara baik. Pendekatan tersebut juga cenderung
menjadikan siswa sebagai alat penghafal rumus dan teori (rote memorization) dan menyampingkan proses atau latihan analisis
dan penalaran yang lebih alamiah dan bersandar pada kebutuhan seorang anak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar