Selasa, 09 Juli 2013

Sarmili dan Guru Inspiratif

Sarmili dan Guru Inspiratif
Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
MEDIA INDONESIA, 08 Juli 2013


MENARIK jika kita mengingat dan bertanya, lebih banyak guru jenis mana ketika bersekolah dulu? Guru berjenis myopic yang berorientasi text-book dan kurikulum atau guru yang memiliki kemampuan membagi inspirasi? Jawabannya saya yakin lebih dari 90% guru kita berjenis myopic karena mereka hanya mampu melihat hal-hal yang bersifat kekinian, tetapi tak memiliki kemampuan dalam melihat jauh ke depan. Seperti politisi, guru kita kebanyakan orang-orang yang kurang memiliki inisiatif yang inspiratif.

Namun tidak demikian dengan Pak Sarmili, guru olahraga saya ketika SD dulu. Perawakannya yang tinggi besar, berbadan tegap, dan sorot mata yang lembut merupakan ciri khasnya. Saya merindukan banyak sekali guru seperti Pak Sarmili yang sangat inspiratif dalam mengajar. Salah satu peristiwa yang hingga saat ini tetap menginspirasi saya dalam mengajar ialah melihat secara benar bakat dan kelemahan siswa.

Di era 70-an, jauh sebelum Howard Gardner memperkenalkan teori multitalenta anak, Pak Sarmili telah mendahuluinya. Meski mengajar olahraga, tak serta-merta beliau memaknai olahraga hanya sebagai berlari mengelilingi lapangan, bermain bola, bermain kasti, dan sebagainya. Beberapa anak yang kurang berbakat dalam berolahraga, baik karena masalah kesehatan maupun minat, selalu diperlakukan dan dinilai sama. 
Saya, misalnya. Karena seringnya sakit, saya dibebaskan dari tugas mengikuti senam, berlari mengelilingi lapangan, atau bermain bola. Namun di luar jam mengajar, Pak Sarmili sering menyuruh saya membeli rokok akor kesukaannya di warung luar sekolah yang jaraknya sekitar 0,5 kilometer atau menyiram bunga matahari di halaman sekolah dengan teko.

Siswa lain yang kurang berminat dengan olahraga tetap diberi perhatian yang sama. Sebab, Pak Sarmili selalu memberi tugas khusus kepada para siswanya dengan prinsip yang penting si anak bergerak secara fisik. Apakah itu bermain kelereng, layang-layang, menggambar, semuanya punya nilai olahraga. Dengan alasan itulah Pak Sarmili menilai anak didiknya. Kebaikan hati dan murah senyumnya membuat Pak Sarmili dirindukan dan dicintai setiap siswanya, selain memang ia tak pernah marah.

Bagi Pak Sarmili, kurikulum tak harus kaku dimaknai, tetapi bagaimana bisa memberi manfaat bagi masa depan anak didiknya kelak.

Kompetisi semu

Kebanyakan guru saat ini mewakili tipologi guru kurikulum. Namun, mereka juga kurang memberi inspirasi karena tak memiliki keberanian mengajak anak didiknya berpikir kreatif (maximum thinking) serta melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali ke luar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.

Guru-guru kita saat ini terperangkap oleh kompetensi semu dan senangnya membangun batas-batas kekuasaan teritorial antara diri mereka dan anak didik mereka. Perilaku internal jenis itu merupakan belenggu yang disebut sebagai destructive habits. Mereka menggunakan mikroskop untuk memperbesar hal-hal kecil yang tidak dimiliki, tetapi tak bisa melihat jauh ke depan tentang harapan anak didik mereka secara manusiawi.

Dalam dunia yang sangat hedonistis dan serbakebendaan ini, faktor keikhlasan terasa tak bermakna dan benar-benar kehilangan makna. Hampir lebih dari dua dasawarsa para guru di Indonesia terlihat seperti tak menjumpai kata `ikhlas' dalam kamus hati mereka. Siapa mengajar siapa dan siapa belajar dari siapa menjadi tak jelas karena guru mengajar untuk bekerja dan pemenuhan kurikulum, bukan untuk masa depan anak-anak. Karena itu, sudah saatnya para guru Indonesia memiliki kepekaan yang kuat dan memberi penekanan yang terus-menerus terhadap proses pembelajaran yang sangat kontekstual (contextual learning).

Fungsi pelayanan

Teori pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik bila apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui, dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Guru yang inspiratif jelas harus memiliki akar dan pemahaman yang hebat tentang gambaran proses belajar-mengajar secara autentik (authentic instruction), berbasis inkuiri (inquiry-based learning), menyelisik suatu masalah dengan mencoba memberi solusi (problem-based learning), mengajarkan fungsi-fungsi pelayanan dalam masyarakat (service learning), serta memperkenalkan siswa dengan strategi pembelajaran berbasis usaha/kerja keras (work-based learning).

Dalam teori belajar berbasis pendekatan keragaman kecerdasan, proses pendidikan yang benar harus mampu melihat bakat dan kecerdasan siswa dari aspek yang tidak tunggal serta menimbang kombinasi antara proses penilaian (assessing process) dan proses pembelajaran (learning process). Dengan kombinasi antara proses assessment dan pembelajaran yang benar, sesungguhnya sekolah dan para guru sedang mencoba untuk tidak memisahkan apa yang sebenarnya terjadi pada diri siswa di luar ruang kelas. 
Ujian atau tes juga tidak bisa dipisahkan dari jam belajar yang secara keseluruhan sangat tersedia di luar sekolah. Artinya untuk melihat apakah seorang anak berbakat dan cerdas, kemampuan pedagogis guru dan budaya sekolah yang menghargai keragaman sangat dibutuhkan seorang anak untuk berkembang.

Profesor Antonio Damasio (2006) menyebutkan saat ini sistem pendidikan hampir di seluruh belahan dunia menumbuhkan pembedaan yang sangat signifikan antara proses pembelajaran yang berorientasi kognitif dan emosional.
Itu menyelami empati dan rasa tak memperoleh porsi yang jelas dalam struktur kurikulum sehingga anak-anak cenderung dididik untuk menjadi semacam robot yang minim rasa. Dalam pandangan Damasio, durasi dan substansi pendidikan seni budaya dan humaniora seharusnya diseimbangkan untuk dan dalam rangka menumbuhkan elan vital kemanusiaan manusia, yaitu emosi dan spiritualitas yang menyatu dalam pikir dan perilaku.


Selain itu, jarangnya guru inspiratif menurut Linda Darling-Hammond dalam Powerful Learning: What We Know about Teaching for Understanding (2008) dengan jelas mengkritik guru dan sekolah yang berorientasi pada hasil tes/ujian (learning for exams). Proses belajar semacam itu tentu saja akan menjadikan anak didik cenderung menjadi objek belajar yang pasif dan belajar secara tidak mendalam sehingga bakat dan kecerdasan anak tidak tergali secara baik. Pendekatan tersebut juga cenderung menjadikan siswa sebagai alat penghafal rumus dan teori (rote memorization) dan menyampingkan proses atau latihan analisis dan penalaran yang lebih alamiah dan bersandar pada kebutuhan seorang anak. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar