|
MEDIA
INDONESIA, 08 Juli 2013
MESKIPUN kudeta militer Mesir
telah menjadi wacana sejak Presiden Mesir Muhammad Mursi mengeluarkan dekrit
pada 22 November tahun lalu, di saat ia memonopoli kekuasaan, kudeta terhadap
pemerintahannya pada 3 Juni 2013 yang dipimpin Jenderal Abdul Fattah al-Sisi
tetap saja mengejutkan, baik oleh internal masyarakat Mesir sendiri maupun
komunitas internasional. PBB, AS, Uni Eropa, dan Uni Afrika menyatakan
keprihatinan mendalam atas kudeta terhadap pemimpin pertama Mesir yang terpilih
secara bebas dan demokratis pada 30 Juni tahun lalu itu. Mereka pun menuntut
kekuasaan diserahkan kepada pihak sipil secepat mungkin.
Di internal Mesir sendiri terjadi bentrokan antara
pendukung Mursi yang berasal dari Ikhwanul Muslimin (IM) dan pihak oposisi di
Alexandria, yang menyebabkan 30 orang tewas. Tiga orang lainnya dari pendukung
Mursi ditembak militer ketika mereka berusaha masuk ke barak tentara di ibu
kota Kairo yang diyakini menjadi tempat Mursi ditahan. Kini unjuk rasa
pro-Mursi masih terjadi di berbagai kota di Mesir.
Dengan penembakan tiga
pendukung Mursi, terjadi eskalasi unjuk rasa pendukung Mursi yang marah.
Apalagi bukan hanya Mursi, para petinggi Partai Kebebasan dan Keadilan-sayap
politik IM--seperti Muhammad Badie (pemimpin tertinggi IM) Khairat el-Shater
(wakil nya), Rashad Bayumi (Deputi Pemimpin IM), dan Saad al-Katatni (Ketua
Partai Kebebasan dan Keadilan) juga ditahan atas tuduhan penghasut demo yang
menyebabkan delapan orang anti-Mursi tewas. Juga, tuduhan bahwa mereka menghina
pengadilan.
Tuduhan militer itu terkesan dicari-cari untuk mendapatkan
justifikasi bagi kudeta yang mereka lancarkan. Toh, kematian delapan demonstran
antipemerintahan IM itu terjadi di depan markas IM, yang menunjukkan mereka
yang tewas itu, bersama dengan demonstran lain yang didukung militer, menyerang
markas IM sehingga terjadi bentrokan yang mematikan itu. Militer pun melarang
kegiatan semua media islamis, termasuk stasiun televisi IM, bahkan stasiun TV
Al-Jazeera yang dianggap bersimpati pada IM.
Sebenarnya unjuk rasa antipemerintahan Mursi yang
didominasi IM telah dimulai sejak Mursi mengeluarkan dekrit. Ada beberapa hal
krusial di dalam dekrit itu yang memberi Mursi kewenangan luar biasa, yakni
semua keputusan Mursi bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat oleh pihak
mana pun. Kewenangan itu, antara lain, mencopot Jaksa Agung Abdul Meguib
Mahmud; Mahkamah Konstitusi tidak berhak membubarkan dewan konstituante,
lembaga MPR, dan tidak berhak meninjau kembali keputusan presiden sejak Mursi
memangku jabatan pada 30 Juni 2012 hingga keluar konstitusi baru; memerintahkan
penyidikan dan pengadilan ulang para pejabat era rezim mantan Presiden Hosni
Mubarak.
Segera, para pengkritik dari kubu oposisi, yang berasal
dari kubu sosialis, sekuler, liberal, nasionalis, dan kaum muda--yang pada
krisis sekarang menjadi elemen utama anti-Mursi--menganggapnya sebagai cara
mengulangi rezim otoriter Mubarak walaupun sebenarnya tuntutan pengadilan ulang
terhadap Mubarak, dua putranya, dan kroni-kroninya, serta pemecatan Jaksa Agung
Abdul Meguib Mahmud karena dianggap sengaja menyembunyikan bukti yang
memberatkan Mubarak dan tersangka lain, sesuai dengan aspirasi revolusi. Namun,
tetap saja kebijakan Mursi itu mengundang kritik. Krisis politik pun
bereskalasi ke tingkat yang membahayakan ketika dewan konstituante pada 1
Desember 2012 menyelesaikan konstitusi baru yang berbau agamais dan situasi
semakin keruh ketika pada 15 Desember mayoritas rakyat menyetujui konstitusi
itu dalam referendum.
Dengan demikian, pemerintahan baru Mesir akan menerapkan
syariah Islam. Pemerintahan IM pimpinan Mursi yang didukung kaum Salafi pun
mulai menempatkan orang-orangnya pada lembaga-lembaga strategis. Maka, pihak
oposisi yang didukung militer secara diam-diam meningkatkan tekanan kepada
Mursi dengan mengerahkan lebih banyak massa ke Alun-Alun Tahrir untuk memprotes
konstitusi itu. Belakangan kelompok tamarod (pemberontak), yang merupakan
kelompok pemuda, mengklaim berhasil mengumpulkan 20 juta tanda tangan rakyat
untuk mendelegitimasi kekuasaan Mursi. Toh, ketika terpilih sebagai presiden,
Mursi hanya mendulang sekitar 13 juta suara. suara.
Sebenarnya, dalam pertemuan Mursi dengan Dewan Tinggi
Peradi lan pada 26 November, telah tercapai kompromi soal dekrit presiden.
Keduanya, antara lain, sepakat butir pertama dekrit presiden hanya bisa
dilakukan kalau ada bukti baru. Mereka juga sepakat keputusan Mursi yang tak
bisa diganggu gugat hanya menyangkut isu strategis dan keamanan nasional.
Namun, butir yang menegaskan Mahkamah Konstitusi tidak
dapat membubarkan dewan konstituante dan MPR tetap tak berubah. Kendati
demikian, solusi krisis politik masih belum sepenuhnya terang karena kubu
oposisi masih menolak berdialog dengan Mursi meskipun ia pun telah bersedia
mengubah pasal-pasal kontroversial dalam konstitusi baru yang didikte IM dan kubu
Salafi.
Namun, sikap kompromi Mursi itu dinilai masih belum cukup.
Maka demo anti-Mursi terus berlanjut dengan melancarkan pembangkangan sipil
secara nasional. Rencana penggulingan Mursi pun--dengan bantuan
militer--akhirnya berhasil pada 3 Juli lalu setelah berjuang selama kurang
lebih enam bulan.
Kudeta militer pun disambut gembira jutaan rakyat Mesir,
terutama mereka yang berasal dari kelompok nasionalis, sosialis, liberal,
sekuler, dan tamarod, bahkan Syekh Agung al-Azhar Ahmad Tayyib, Ketua Gereja
Koptik Mesir Tawadros II, Koordinator Front Penyelamatan Nasional Mohammad el-Baradei,
dan Sekjen Partai Nur (sayap politik gerakan Salafi) Jalal Marrah.
Sebagai ganti pemerintahan Mursi, militer mengangkat Ketua
Mahkamah Konstitusi Tertinggi Adly Mahmud Mansour sebagai presiden sementara
pada masa transisi sampai pemilu presiden mendatang, sesuai dengan peta jalan
baru yang berisi pembekuan konstitusi, penyelenggaraan pemilihan presiden dan
parlemen, penyertaan pemuda dalam pengambilan keputusan, pembentukan komite
yang melibatkan semua elemen masyarakat untuk mengamendemen konstitusi, dan
pembuatan piagam kehormatan media yang menjamin kebebasan pers.
Kendati terlihat masuk akal sebagai solusi untuk
menyelesaikan krisis politik Mesir yang berkepanjangan, `kudeta' militer yang
disertakan dengan peta jalan baru itu bisa membuat situasi politik Mesir
semakin keruh. Simpatisan IM cukup besar, terbukti dengan menangnya mereka
dalam pemilu parlemen pada Januari tahun lalu dan menangnya kandidat mereka
Muhammad Mursi dalam pemilihan presiden Juni tahun lalu, ketika ia mengumpulkan
lebih dari 51% suara dalam putaran kedua.
IM sendiri merupakan organisasi yang solid, yang
berpengalaman dalam politik dan sangat berakar di masyarakat yang sulit
dihancurkan. Tiga presiden kuat Mesir, Gamal Abdul Nasser (1954-1970), Anwar
Sadat (1970-1981), dan Hosni Mubarak (1981-2011) tak dapat membasmi mereka.
Kudeta militer mendapat perlawanan dari IM. Maka, situasi
Mesir akan semakin memburuk, baik politik maupun ekonomi, pada hari-hari
mendatang. Jadi, masuk akal kalau kemudian pemerintah RI menyeru kepada orang
Indonesia yang ada di Mesir--khususnya mahasiswa yang berjumlah sekitar 2.900
orang--untuk menjauh dari hiruk-pikuk politik Mesir.
Paling tidak larangan itu berdasarkan dua alasan. Pertama,
menjaga citra Indonesia yang bersikap netral. Keikutsertakan warga Indonesia
dalam gejolak politik itu bisa menimbulkan salah tafsir atas sikap RI terhadap
pihak-pihak bertikai. Kedua, untuk menghindari korban nyawa dalam aksi
kekerasan di sana.
Secara politis, pemerintahan Adly Mahmud Mansour yang
didukung militer tidak akan stabil dan ekonomi akan semakin terpuruk.
Berkuasanya militer yang mendapat resistensi IM menimbulkan ketegangan politik
yang berdampak pada memburuknya situasi ekonomi akibat arus masuk investasi
asing ke Mesir mencapai titik nol. Devisa dari sektor pariwisata anjlok hingga
80% dan Mesir merugi US$40 juta per hari akibat terhentinya wisata. Tingkat
kemiskinan di Mesir naik tajam hingga 70%. Dengan demikian, kudeta itu hanya
akan membawa Mesir ke masa depan yang kian suram. Akan ke mana kudeta Mesir? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar