Kamis, 04 Juli 2013

Mencari Keluhuran Budi

Mencari Keluhuran Budi
Mohamad Sobary ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
SINAR HARAPAN, 03 Juli 2013


Idris Brandy, seorang pelukis usia 32 tahun, anak Betawi asli dari Petamburan, cucu seorang landlord yang kaya dan berpengaruh. Tapi ini tak ada pengaruhnya terhadap karya-karya sang cucu, entah mengapa.

Di dalam diri dan semua karya Idris tidak ada sama sekali jejak ke“Betawi”an yang terlihat. Tidak ada, misalnya, simbolisasi mengenai image orang atau komunitas Betawi. Kalau harus ada, apa representasi dari warna dan ciri khas etnik Betawi itu?  Lenong? Masjid? Gambaran bocah kecil yang “kerjanya sembahyang dan mengaji” seperti diungkapkan dalam tembang pembukaan film Si Doel Anak Betawi?

Idris juga seorang penyair. Setidaknya dia penikmat puisi. Dalam berbagai acara kesenian, dia suka membacakan puisi-puisi, termasuk karya-karya Sutardji yang banyak menampilkan kegelisahannya mencari Tuhan.  Tapi perkara “sembahyang dan mengaji” ini tidak tampak visual. Tidak tampak, sesimbolik apa pun, gambaran tentang “peci”, “tasbih”, “jubah”, atau simbol lain, yang dapat diasosiasikan dengan apa yang bersifat “rohani”.  

Tapi kalau “sembahyang dan mengaji” diartikan dari segi terdalamnya, yang paling esensial, dan dengan begitu merupakan gambaran mengenai pergulatan rohani untuk bertanya mengenai hakekat hidup, Idris “kaya raya” akan apa yang “rohani” itu.

“The painter invites us in an internal vision to ‘see’ with the eyes of the soul,” kata Yo Claus, seorang seniman Prancis, di dalam katalog yang dibagikan kepada hadirin pada malam pembukaan “Solo Exhibition”, di Galeri III Taman Ismail Marzuki, Selasa (2/7) malam. Judul pamerannya pun seperti  judul puisi, Footages yang lebih “bertanya” daripada “menjelaskan”.

Memandang dengan “the eyes of the soul” yang disebutkan Yo Claus tadi, apakah maknanya bukan gambaran segala yang “rohani”?

Yo Claus bahkan menambahkan, “His quest of high humanity through the symbolic representation of his own experiment of the world is a sensitive impression of the image.”

Apa makna “his quest of humanity”—pertanyaan-pertanyaan  eksistensial mengenai manusia—itu bila bukan gambaran dunia dalam Idris yang gelisah dan bertanya tentang makna dunia batin manusia, yang berhubungan erat dengan fungsi kehidupan “rohani”?

Lebih-lebih bila “his quest of humanity” itu dihubungkan dengan “his own experiment of the world”, siapa yang bakal meragukan bahwa itu gambaran interpretatif mengenai sebuah pergulatan rohani, tanpa simbol-simbol agama, yang memang tidak perlu?

Apalagi makna “agama” zaman edan sekarang, bahkan begitu mudah diasosiasikan dengan kekerasan, dengan kebenaran seenak perut kita sendiri, dan dengan korupsi yang bikin hidup tampak tanpa rohani.

Dalam soal ini Idris seperti sangat sadar akan betapa perlunya  memisahkan “rohani” dari “agama” karena selama ini sangat  jelas para pemeluk agama sendirilah yang menjauhkan agama dari rohani tadi. Dengan begitu, agama juga dijauhkan dari budi pekerti, kelembutan, dan cinta pada sesame. Sebaliknya, oleh para pemeluknya sendiri, agama dibikin lebih dekat dengan kedengkian dan semangat menghantam nilai kemanusiaan dan manusia itu sendiri.

Kalau kita tidak bisa percaya begitu saja pada kesan orang lain, sejujur apa pun kesan itu disampaikan, kita bisa melihat sendiri pameran itu. Kita bisa membuat kesimpulan yang merdeka, semerdeka-merdekanya, terhadap karya-karya tersebut tanpa bayangan pengaruh orang lain.

Simbolik

Sebelum memberikan sambutan untuk membuka pameran itu, saya mendengarkan dengan cermat uraian Pak Merwan Yusuf, sang kurator dalam pameran. Dengan teliti, cermat, dan elaborate dikemukakan sisi-sisi terdalam dari kekuatan simbolik yang ditampilkan Idris.

Juga diulas dengan baik, lukisan tentang “Berlomba Menuju Puncak”, yang konon gambaran orang-orang yang berusaha menyelamatkan diri mencari ketinggian saat di Yogyakarta beredar isu tsunami, meskipun dalam gempa 57 detik yang dahsyat itu tsunami tidak ada. Berlomba menuju puncak itu bagi saya lebih tampak sebagai kegiatan fisik, yang menggambarkan usaha menyelamatkan “badan”, dibanding dua lukisan orang duduk bermeditasi.

Kita tahu, yang duduk di bawah sebatang pohon, yang kemudian dikenal sebagai pohon bodi, simbol pencerahan, ialah Sang Buddha Gautama. Lukisan orang meditasi yang satu lagi, jelas sekali menggambarkan Sang Buddha. Kedua lukisan ini bagi saya lebih merupakan simbol dari usaha manusia menyelamatlkan “jiwa” daripada usaha menyelamatkan “badan”.

Para koruptor, didampingi lawyer masing-masing, di pengadilan selalu sibuk berbohong. Koruptor dan lawyer sama buruk tampilan “rohani”-nya. Perdebatan pasal-pasal—bukan perdebatan tentang makna keadilan—itu hanya merupakan  usaha bikin selamat “badan” semata, sambil dengan jelas menghancur-luluhkan kemungkinan bikin selamat “jiwa” mereka.

Berlomba menuju puncak—artinya mencari tempat ketinggian—juga hanya merupakan pencarian ketinggian yang bersifat “badan”.

Tapi gambaran sang Buddha di bawah pohon bodi, dan satu lagi sang Buddha sedang bermeditasi seperti tampak dalam patung sang Buddha yang kita kenal, tak diragukan merupakan simbolisasi gerak jiwa dan pergulatan “rohani” dalam arti sebenarnya. Kecuali gambaran jelas tentang usaha mencari keselamatan “jiwa”—bukan keselamatan “badan”—saat yang sama hal itu juga merupakan simbol manusia sedang mencari ketinggian derajat kemanusiaannya.

Yang dicari bukan usaha memperoleh ketinggian gunung, melainkan ketinggian budi. Maksudnya, mencari gambaran mengenai budi pekerti yang tinggi. Tapi mungkin kata tinggi itu lebih baik diganti kata lain, keluhuran yang bermakna sama.


Dengan begitu, pameran karya-karya Idris yang ditandai dengan judul “Footages” ini mungkin akan menjadi lebih mentereng bila disebut “Mencari Keluhuran Budi” yang ditelantarkan oleh manusia di bumi ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar