Kamis, 04 Juli 2013

Komisi Yudisial sebagai Pengawas Kehakiman

Komisi Yudisial sebagai Pengawas Kehakiman
Joko Riskiyono ;   Pegiat Hukum Kenegaraan, Laboratorium Hukum,
dan Konstitusi USU Medan
SINAR HARAPAN, 03 Juli 2013

Keberadaan Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, tidak terlepas dari tuntutan dan agenda reformasi tahun 1998, yaitu menuntut adanya reformasi total di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Agenda reformasi dalam praktik penyelenggaraan peradilan yang sangat mendesak adalah, adanya kepastian hukum dan keadilan bagi pencari keadilan, tetapi dalam praktik penegakan hukum di peradilan masih diwarnai carut-marut permasalahan korupsi, kolusi, suap, dan praktik menyimpang.

Tuntutan reformasi terhadap dunia peradilan membawa konsekuensi adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan dasar peraturan perundang-undangan yang mengatur Kekuasaan Kehakiman.

Reformasi peradilan secara konstitusional diawali adanya Keputusan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Nomor X/99/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional, sebagai jawaban dari tuntutan dan kehendak reformasi, menyatakan perlunya memisahkan keberadaan Mahkamah Agung (MA) dari eksekutif (pemerintah).

Sebagai tindak lanjut dari reformasi peradilan secara konstitusional, dalam sidang paripurna Tahun 2001 MPR-RI mensahkan amandemen (perubahan) ketiga Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 menentukan, “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Keberadaan Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim.

Kewenangan besar yang dimiliki Komisi Yudisial dalam hal pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang sebelumnya, diatur UU Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial, berakhir dengan diamputasinya kewenangan yang dimiliki Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.005/PUU-IV/2006, yang akhirnya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sebagai akibat dari putusan Pengujian Undang-Undang oleh MK, adanya perubahan UU Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial, yang diganti dengan UU Nomor 18/2011 diharapkan Komisi Yudisial lebih baik daripada sebelumnya.

Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Terlihat jelas dari konsideran pertimbangan menyatakan huruf b yaitu, “Komsi Yudisial mempunyai peran penting dalam, yang sebelumnya pencalonan diganti dengan pengusulan dan sebelumnya pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif dihapus diganti dengan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim demi tegaknya hukum dan keadilan”.

Disadari atau tidak oleh pembuat undang-undang, kemunduran tersebut berakibat pada fungsi pengawasan eksternal yang dilakukan KY terhadap kehakiman dan/atau peradilan.

Adanya Peraturan Bersama tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang disusun bersama antara KY dengan Mahkamah Agung dalam menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim, adalah bukti kemunduran dari kewenangan KY dibandingkan UU sebelumnya.

Padahal dalam Pasal 24 Ayat (1), (2), dan Pasal 24 A Ayat (2) UUD NRI 1945 amandemen ketiga menjamin, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Sedangkan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Untuk menjadi hakim agung, “Hakim Agung memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional dan berpengalaman dibidang hukum”.

Ketentuan di atas, menyatakan Peradilan dan Hakim merupakan objek pengawasan dan pengusulan hakim agung oleh KY, tetapi sangat disayangkan konflik di awal periode terbentuknya KY dengan MA berakhir dengan rontoknya kewenangan pengawasan.

Adanya perubahan ketiga dalam UUD 1945, memberi pesan keberadaan KY dapat melaksanakan cheks and balances (saling kontrol dan mengawasi) mengimbangi kekuasaan kehakiman di balik jubah yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, bila tidak ada lembaga yang mengawasi dikhawatirkan membahayakan keberlangsungan kehidupan ketatanegaraan dalam harmonisasi pengawasan.

Diakui atau tidak, adanya KY secara langsung menghambat kepentingan pihak-pihak tertentu yang selama ini menikmati bergelimangputusan dan/atau kebijakan peradilan yang selama ini berpihak dan menguntungkan. Status quo terbebas dari pengawasan yang saat ini didapat perlu untuk dipertahankan, keberadaan pengawas internal terbukti tidak efektif, sementara keberadaan KY terpusat di Jakarta tidak mungkin menjangkau semua badan peradilan di seluruh Indonesia.

Sebagai pengecualian, Pengadilan Negeri Bandung dan/atau pengadilan lain di seluruh Indonesia, seolah sampai saat ini merasa masih aman dan nyaman terbebas dari pengawasan. Dalam operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap tersangka hakim Setyabudi Tejocahyono yang merupakan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjabat sebagai Wakil Ketua PN Bandung, sebenarnya perilaku sebagai hakim yang menyimpang sudah berlangsung cukup lama, anehnya seolah-oleh instutusinya dilindungi.

Sudah seharusnya MA sebagai sebuah badan peradilan yang menaungi semua lingkungan peradilan mereformasi diri dengan bekerja sama dengan KY, terbukti dari pengawasan intern yang ada tidak berjalan maksimal. Kejadian demi kejadian yang menimpa korp wakil tuhan mulai dari kasus suap, gratifikasi, narkoba, dan tindakan asusila lainnya menambah keyakinan publik bahwa lembaga peradilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan ternyata mengecewakan dan sulit dipercaya untuk memeberikan keadilan.

KY dengan segala kekurangan dan kelebihannya, diharapkan sebagai pengawas kehakiman mampu menyelesaikan persoalan yang ada pada kehormatan, keluhuran, dan martabat, serta perilaku hakim. Pengawasan tersebut tidak mungkin lagi bisa diatasi pengawas interen MA, karena beban MA saat ini sangatlah besar mulai dari pengaturan keuangan, kepegawaian, dan tunggakan putusan yang harus diselesaikan ditambah pengawasan terhadap perilaku hakim tentu tidak mungkin maksimal.

Sebagai sesama lembaga negara sudah seharusnya saling menghormati dan bekerja sama, keberadaan KY merupakan perintah konstitusi dengan tugas pokok mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan pengangkatan hakim agung harusnya diterima.


Kenyataan bahwa banyak aparat penegak hukum di antaranya, hakim terlibat dalam perkara suap yang berhubungan dengan tugas dan profesinya serta sebagai pemimpin yang memeriksa perkara tersebut dapat dipastikan sarat konflik kepentingan. Lambat laun pengawasan tidak ada arti meski akhirnya terbukti sendiri tanpa perlu lagi diawasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar