|
REPUBLIKA,
01 Juli 2013
Hari
libur sudah tiba. Hampir semua ruang publik dipadati pengunjung, terutama anak-anak
sekolah. Tempat rekreasi dan mal sering menjadi tujuan mereka. Tidak kalah
tempat hiburan film di bioskop atau teater juga dipadati penonton.
Lembaga
Sensor Film (LSF) melakukan penilaian dan pengawasan film yang tayang di Indonesia.
Termasuk pembatasan umur penonton. Salah satu misi LSF antara lain
melindungi masyarakat dari dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh
peredaran dan penayangan film. Untuk itu, LSF mengatur peredaran film dengan
klasifikasi semua umur, untuk remaja, dan untuk dewasa.
Tetapi, bagaimana kenyataannya di lapangan?
Tetapi, bagaimana kenyataannya di lapangan?
Sudah
beberapa kali saya menegur penjaga pintu masuk teater adanya remaja yang akan
menonton film untuk dewasa ataupun anak-anak yang akan menonton film remaja.
Tetapi, penjaga teater selamanya mengatakan bahwa itu urusan mereka. Jadi,
pengelola bioskop hanya berorientasi bisnis.
Pada awal
liburan ini, saya memperhatikan penuhnya teater yang menayangkan film untuk
remaja dipadati keluarga dengan membawa anak-anak balita dan anak-anak sekolah.
Pertanyaannya, siapa yang berwenang dan bertanggung jawab mengawasi ketetapan
klasifikasi film menurut umur di lapangan? Sudah saatnya bukan saja orang tua
yang harus melindungi anak-anak dari kemungkinan dampak negatif film, melainkan
juga negara untuk melindungi anak bangsa yang sedang tumbuh.
Miras atau minol
Akhir-akhir
ini marak kembali dibahas mengenai peredaran minuman keras atau minuman
berakohol. Sampai Kota Cirebon mengeluarkan perda, bukan hanya membatasi
melainkan melarang pengedaran dan pemakaian miras oleh siapa pun juga.
Zeroalkohol. Suatu perda yang berani, tetapi sangat diragukan
efektivitasnya.
Berbagai
peraturan peredaran miras/ minol sudah diterbitkan, berupa keputusan menteri
sampai perda. Kandungan alkohol dalam minuman sudah ditetapkan oleh pemerintah,
golongan A dengan kadar alkohol satu sampai lima persen, golongan B kadar
alkohol lima sampai 20 persen, golongan C kadar alkohol 20 - 55 persen.
Sedangkan,
peredarannya ditetapkan melalui perda. Beberapa daerah tingkat II telah
menetapkan peraturan peredaran minuman beralkohol. Misalnya, minuman berakohol
golongan B dan C hanya dapat dijual di hotel berbintang tiga, empat, dan lima;
restoran dengan tanda talam kencana dan talam selaka; serta bar termasuk pub
dan klub malam.
Tetapi,
kenyataan di lapangan tanda talam pun tidak terpampang di restoran.
Apalagi, batasan umur pemakai alkohol yang harus di atas 21 tahun, hampir tidak pernah diterapkan secara tegas. Pemerintah dan kita semua seolah-olah hanya bisa berteriak bahwa peredaran miras/minol sudah membahayakan generasi muda atau anak kita. Siapa yang berwenang dan melakukan pengawasan peredaran dan konsumsi alkohol ini?
Apalagi, batasan umur pemakai alkohol yang harus di atas 21 tahun, hampir tidak pernah diterapkan secara tegas. Pemerintah dan kita semua seolah-olah hanya bisa berteriak bahwa peredaran miras/minol sudah membahayakan generasi muda atau anak kita. Siapa yang berwenang dan melakukan pengawasan peredaran dan konsumsi alkohol ini?
Surat Izin Mengemudi
Kadang-kadang
kita jadi tidak tahu instansi apa saja yang berwenang mengawasi lalu lintas di
jalan raya. Ada dishub ada juga polisi. Kita kadang- kadang menyaksikan bahwa
polisi tidak berdaya menghadapi kendaraan dengan nomor kendaraan TNI atau
Polri. Ada juga nomor kendaraan lain seperti Kementerian Pertahanan dan
Lemhanas. Masyarakat bertanya, siapa yang mengeluarkan nomor kendaraan tersebut
dan apakah itu kendaraan dinas seperti nomor kendaraan warna merah?
Pemakaian
kendaraan dengan nomor tersebut, menurut beberapa informasi, diharuskan memakai
SIM yang dikeluarkan oleh instansinya. Polisi juga terkesan segan atau ragu-ragu
menyetop kendaraan pejabat dengan nomor kendaraan B xxxx RFS dan RF-RF lain
yang melaju di bahu jalan. Apa lagi, menggunakan kendaraan kawal lengkap dengan
sirene dan lampu biru walaupun memakai nomor polisi biasa. Begitulah gambaran
jalan raya kita.
Tetapi,
yang ingin saya angkat adalah masalah banyaknya anak-anak berlalu-lalang di
jalan raya mengendarai sepeda motor. Mereka berumur sekitar 12 - 15 tahun.
Menurut ketentuan yang berlaku, SIM golongan A dan C hanya diberikan pada
mereka yang berumur lebih dari 17 tahun. Anak-anak tersebut dengan bebas
berkendara tanpa menghiraukan peraturan. Di jalan sempit dan terlepas dari
patroli kepolisian keadaan ini sangat terasa. Kadang-kadang mereka juga memboncengkan
orang tuanya. Kecelakaan pun sering terjadi.
Anehnya
menghadapi ini kepolisian bermaksud menaikkan batas umur untuk SIM A dan C dari
17 menjadi 20 tahun. Gagasan yang tidak beralasan. Seyogianya, pemerintah
melalui kepolisian dan dishub, justru melakukan pengawasan yang ketat. Bukan hanya
keharusan pemakaian SIM melainkan juga proses pembuatan SIM sehingga tidak
terjadi lagi istilah "SIM tembak".
Kita
harus melindungi anak-anak dari kecelakan yang bukan hanya berbahaya buat
dirinya sendiri tapi juga bagi pengguna jalan raya lainnya. Masalah batas umur
pertunjukan film, miras, maupun SIM sudah sangat merisaukan dan memprihatinkan.
Bukan saja membahayakan anak-anak itu sendiri melainkan anak bangsa secara
keseluruhan.
Masihkah
kita peduli? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar