Rabu, 03 Juli 2013

Melindungi Anak (Bangsa)

Melindungi Anak (Bangsa)
Rahardi Ramelan ;  Pengamat Teknologi dan Masyarakat 
REPUBLIKA, 01 Juli 2013


Hari libur sudah tiba. Hampir semua ruang publik dipadati pengunjung, terutama anak-anak sekolah. Tempat rekreasi dan mal sering menjadi tujuan mereka. Tidak kalah tempat hiburan film di bioskop atau teater juga dipadati penonton.
Lembaga Sensor Film (LSF) melakukan penilaian dan pengawasan film yang tayang di Indonesia. Termasuk pembatasan umur penonton. Salah satu misi LSF antara lain melindungi masyarakat dari dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh peredaran dan penayangan film. Untuk itu, LSF mengatur peredaran film dengan klasifikasi semua umur, untuk remaja, dan untuk dewasa.
Tetapi, bagaimana kenyataannya di lapangan?
Sudah beberapa kali saya menegur penjaga pintu masuk teater adanya remaja yang akan menonton film untuk dewasa ataupun anak-anak yang akan menonton film remaja. Tetapi, penjaga teater selamanya mengatakan bahwa itu urusan mereka. Jadi, pengelola bioskop hanya berorientasi bisnis. 
Pada awal liburan ini, saya memperhatikan penuhnya teater yang menayangkan film untuk remaja dipadati keluarga dengan membawa anak-anak balita dan anak-anak sekolah. Pertanyaannya, siapa yang berwenang dan bertanggung jawab mengawasi ketetapan klasifikasi film menurut umur di lapangan? Sudah saatnya bukan saja orang tua yang harus melindungi anak-anak dari kemungkinan dampak negatif film, melainkan juga negara untuk melindungi anak bangsa yang sedang tumbuh.
Miras atau minol
Akhir-akhir ini marak kembali dibahas mengenai peredaran minuman keras atau minuman berakohol. Sampai Kota Cirebon mengeluarkan perda, bukan hanya membatasi melainkan melarang pengedaran dan pemakaian miras oleh siapa pun juga. Zeroalkohol. Suatu perda yang berani, tetapi sangat diragukan efektivitasnya. 
Berbagai peraturan peredaran miras/ minol sudah diterbitkan, berupa keputusan menteri sampai perda. Kandungan alkohol dalam minuman sudah ditetapkan oleh pemerintah, golongan A dengan kadar alkohol satu sampai lima persen, golongan B kadar alkohol lima sampai 20 persen, golongan C kadar alkohol 20 - 55 persen. 
Sedangkan, peredarannya ditetapkan melalui perda. Beberapa daerah tingkat II telah menetapkan peraturan peredaran minuman beralkohol. Misalnya, minuman berakohol golongan B dan C hanya dapat dijual di hotel berbintang tiga, empat, dan lima; restoran dengan tanda talam kencana dan talam selaka; serta bar termasuk pub dan klub malam.
Tetapi, kenyataan di lapangan tanda talam pun tidak terpampang di restoran.
Apalagi, batasan umur pemakai alkohol yang harus di atas 21 tahun, hampir tidak pernah diterapkan secara tegas. Pemerintah dan kita semua seolah-olah hanya bisa berteriak bahwa peredaran miras/minol sudah membahayakan generasi muda atau anak kita. Siapa yang berwenang dan melakukan pengawasan peredaran dan konsumsi alkohol ini? 
Surat Izin Mengemudi
Kadang-kadang kita jadi tidak tahu instansi apa saja yang berwenang mengawasi lalu lintas di jalan raya. Ada dishub ada juga polisi. Kita kadang- kadang menyaksikan bahwa polisi tidak berdaya menghadapi kendaraan dengan nomor kendaraan TNI atau Polri. Ada juga nomor kendaraan lain seperti Kementerian Pertahanan dan Lemhanas. Masyarakat bertanya, siapa yang mengeluarkan nomor kendaraan tersebut dan apakah itu kendaraan dinas seperti nomor kendaraan warna merah?
Pemakaian kendaraan dengan nomor tersebut, menurut beberapa informasi, diharuskan memakai SIM yang dikeluarkan oleh instansinya. Polisi juga terkesan segan atau ragu-ragu menyetop kendaraan pejabat dengan nomor kendaraan B xxxx RFS dan RF-RF lain yang melaju di bahu jalan. Apa lagi, menggunakan kendaraan kawal lengkap dengan sirene dan lampu biru walaupun memakai nomor polisi biasa. Begitulah gambaran jalan raya kita.
Tetapi, yang ingin saya angkat adalah masalah banyaknya anak-anak berlalu-lalang di jalan raya mengendarai sepeda motor. Mereka berumur sekitar 12 - 15 tahun. Menurut ketentuan yang berlaku, SIM golongan A dan C hanya diberikan pada mereka yang berumur lebih dari 17 tahun. Anak-anak tersebut dengan bebas berkendara tanpa menghiraukan peraturan. Di jalan sempit dan terlepas dari patroli kepolisian keadaan ini sangat terasa. Kadang-kadang mereka juga memboncengkan orang tuanya. Kecelakaan pun sering terjadi. 
Anehnya menghadapi ini kepolisian bermaksud menaikkan batas umur untuk SIM A dan C dari 17 menjadi 20 tahun. Gagasan yang tidak beralasan. Seyogianya, pemerintah melalui kepolisian dan dishub, justru melakukan pengawasan yang ketat. Bukan hanya keharusan pemakaian SIM melainkan juga proses pembuatan SIM sehingga tidak terjadi lagi istilah "SIM tembak". 
Kita harus melindungi anak-anak dari kecelakan yang bukan hanya berbahaya buat dirinya sendiri tapi juga bagi pengguna jalan raya lainnya. Masalah batas umur pertunjukan film, miras, maupun SIM sudah sangat merisaukan dan memprihatinkan. Bukan saja membahayakan anak-anak itu sendiri melainkan anak bangsa secara keseluruhan.

Masihkah kita peduli? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar