|
SINAR
HARAPAN, 22 Juli 2013
Baru-baru
ini Kementerian Dalam Negeri merilis daftar kepala daerah yang tersangkut kasus
korupsi. Fantastis, dalam catatan Kemendagri hanya dalam waktu kurang dari
delapan tahun, terdapat 291 kepala daerah dan wakilnya yang terjerat kasus
korupsi hingga Februari 2013 (Koran Jakarta, 17/6/13).
Jumlah itu
terdiri dari keterlibatan gubernur sebanyak 21 orang, tujuh orang wakil
gubernur, bupati 156 orang, wakil bupati 46 orang, wali kota 41 orang, dan
wakil wali kota 20 orang. Dalam laporan itu, tercatat pula 1.221 nama pegawai
pemerintah yang terlibat dalam kasus korupsi. Dari jumlah tersebut, 877 orang
sudah menjadi terpidana.
Sinyal penting yang patut dicatat oleh publik, “rating” penjarahan ini lebih pada membiaknya korupsi politik dalam tubuh pemerintahan daerah. Catatan ini membuka lembar betapa pembajakan fungsi negara (state capture) di daerah berada dalam stadium yang mengkhawatirkan. Ini membuktikan bahwa patron klien korupsi politik di daerah tidak “semungil” bayangan publik.
Penjarah
Kondisi ini tampaknya tidak dapat dipisahkan dari tesis lama Robert Klitgaard. Ia merumuskan, korupsi terjadi karena kekuasaan monopolistik dan kewenangan yang tidak diimbangi dengan akuntabilitas. Lewat kacamata inilah kita dapat mengejar framing (kerangka) mekarnya “penjarahan” di daerah.
Premis
sederhananya, otonomi daerah sebagai habitat kekuasaan adalah pasangan
kekuasaan yang digenapi hak, wewenang dan diskresi politik yang luas, yang
memicu lahirnya penyalahgunaan kekuasaan secara berakar oleh pejabat kepala daerah.
Lewat konsepsi ini, analisis patron klien menjadi penting.
Pertama, diagnosis tren penjarahan ini secara indikatif dapat dilihat dari sudut tipologi. Di daerah yang kaya sumber daya alam misalkan, korupsi banyak terjadi pada soal perizinan tambang, perkebunan, alih fungsi lahan, serta HGU perusahaan. Eksesnya, jalinan penguasa dan pebisnis. Kepentingan silangnya dapat dibaca dari dua kebutuhan antara ekonomi dan politik.
Konstruksi konvensionalnya, pengusaha membutuhkan lisensi berupa izin eksploitasi dan kemudahan birokrasi untuk melancarkan eksploitasi perusahaannya. Benturan praksisnya, tabiat alami politikus yang selalu berusaha mempertahankan dan memperbesar kekuasaan (Niskanen, 1973), melahirkan silang kepentingan ilegal dengan korporasi.
Bentuk kick
back ini melibatkan suap yang mengurat berakar, bahkan gratifikasi. Kick-back
keduanya memunculkan relasi patron klien penguasa-pengusaha. Kasus korupsi
Bupati Buol, kasus dugaan korupsi penerbitan izin usaha pemanfaatan hutan yang
melibatkan Gubernur Riau Rusli Zainal adalah contoh penting dalam hal ini.
Bagaimana hubungan kekuasaan dan dominasi ekonomi berjalinan. Penggolongan tipe
kasus ini sering berkembang dalam hal pendanaan politik.
Kait-mengait relasi ini seperti pendulum. Memakai analisis Khan, 1998, siklus ini tidak redup walau terjadi transisi kepemimpinan. Apa pun jenis rezimnya, pengusaha tetap menjadi sekutu bisnis dari penguasa (Case, 2002).
Patronase
Sebetulnya, pengejaran serupa pernah dilakukan William J Chambliss (1973). Tesisnya tentang jejaring “cabal” sindikat, kala itu meruntuhkan paham konvensional tentang Organized Crime yang dituding hanya gemerlap di negara-negara berkembang. Ia membuktikan bahwa pola yang sama justru berkembang biak di dalam negara-negara penganut demokrasi “mapan” sekalipun.
Membaca rilis Kemendagri, gejala patronase ini kuat terjadi. Letak analisis Chambliss menjadi relevan bila melihat terminologi otonomi daerah yang menjadi indeks tak terpisah demokrasi, khususnya dalam hal desentralisasi kekuasaan.
Salah satu pola “cabal” ini dapat dilihat dari sudut bagaimana pemerintah daerah mudahnya menerbitkan konsesi atau izin penguasaan pengelolaan perkebunan, tambang, yang di saat bersamaan telah dikuasai secara faktual oleh masyarakat selama puluhan tahun dan rentan konflik.
Di luar asumsi normatif, kaitan sosiologis konflik agrarian ini adalah catatan penting. Pengejarannya bukan pada sisi administrasi, melainkan bagaimana mudahnya pemerintah daerah menerbitkan izin penguasaan atau pengelolaan lahan perkebunan bagi perusahaan, yang bersamaan telah dikuasai dan dikelola secara faktual oleh masyarakat.
Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2012 terdapat 198 konflik agraria
di seluruh wilayah Indonesia. Catatan ini meningkat dari 2011 yang hanya 163
kasus.
Dari analisis rantai korupsi politik, konflik agraria yang melibatkan perusahaan dan masyarakat di daerah-daerah adalah premis yang menjadi tafsir bahwa sejoli ilegal patron klien “penguasa-pebisnis” di daerah berjumul dalam birokrasi pertanahan yang determinan pada pebisnis investor. Peningkatan konflik agraria ini juga menjadi catatan penguat di satu sisi.
Dari analisis rantai korupsi politik, konflik agraria yang melibatkan perusahaan dan masyarakat di daerah-daerah adalah premis yang menjadi tafsir bahwa sejoli ilegal patron klien “penguasa-pebisnis” di daerah berjumul dalam birokrasi pertanahan yang determinan pada pebisnis investor. Peningkatan konflik agraria ini juga menjadi catatan penguat di satu sisi.
Semakin “sahih” akar oligarki di daerah ketika secara bersamaan birokrasi pun menjadi aktor kedua, jejaring cabal korupsi politik di daerah. Tidak hanya dalam konteks birokrasi pertanahan. Secara umum, 1.221 nama pegawai pemerintah yang terlibat dalam kasus korupsi di atas adalah jejak pentingnya. Jejak cabal birokrat kapitalis.
Modus penjarahan lainnya, di daerah yang tidak begitu kaya sumber daya alam, korupsi terjadi terkait belanja daerah untuk pengadaan barang dan jasa.
ICW
mencatat, di tahun 2010, terdapat 25 anggota DPR dan DPRD yang terjerat kasus
korupsi di mana mayoritas keseluruhan kasus korupsi tersebut tergolong kasus
penggelapan anggaran dan dana bantuan sosial. Di tahun serupa, lembaga ini
bahkan mencatat sektor terkorup yang terungkap menyangkut keuangan daerah
dengan jumlah 44 kasus.
Akhirnya, kita bisa menangkap apa yang sedang terjadi. Kekuasaan di daerah telah pincang dari asas dasarnya untuk menyejahterakan rakyat di daerah.
Keberlangsungan otonomi daerah sangat bergantung pada keteladanan sikap penguasa politik dan pejabat daerah dalam menaati hukum.
Di satu sisi penegakan hukum yang tidak memadai juga menjadi kendala. Untuk itu ia harus dilengkapi dengan kontrol publik. Memangkas akar korupsi politik menuntut adanya gerakan pemberantasan korupsi yang memiliki kewibawaan moral.
Pada gilirannya catatan ini menjadi kabar. “Ikhtiar” menyelamatkan kewibawaan pemerintahan di daerah. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar