|
SUARA
KARYA, 22 Juli 2013
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 (UU No 8/2010) tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Pencucian Uang untuk memenuhi kepentingan nasional, adalah
mengembalikan aset hasil korupsi yang dirasa belum optimal. Karena, masih
terdapat ruang timbulnya penafsiran yang berbeda, adanya celah hukum, kurang
tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya beban pembuktian secara
maksimal, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis
laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan para pelaksana UU.
Peran penyidik, tindak pidana asal, maksud pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU), penyitaan harta kekayaan
TPPU dan HAM, sesuai ketentuan Pasal 75, UU No 8/2010 yang merupakan pengganti
UU No 15/2002 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. "Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup
terjadinya TPPU dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan
tindak pidana asal dengan TPPU dan memberitahukan kepada PPATK."
Makna penyidik (polisi), jaksa atau penyidik predicate crime
sebagai penyidik TPPU, hal ini merupakan langkah terobosan dalam proses
penegakan hukum. Artinya, apabila dalam penyidikan tindak pidana korupsi, jaksa
selaku penyidik menemukan adanya TPPU, maka jaksa penyidik atau penyidik
predicate crime tidak perlu menyerahkan hasil penyidikan kepada penyidik Polri,
sehingga tidak akan terjadi proses saling menunggu dalam penyelesaian
penyidikannya.
Dengan dilakukan penyidikan sendiri oleh jaksa penyidik
predicate crime terhadap TPPU, bersamaan dengan penyidikan tindak pidana
korupsi, hal ini sangat mendukung proses penanganan perkara secara cepat (speedy investigation). Berkas perkara
hasil penyidikan gabungan antara tindak pidana asal atau predicate crime dan TPPU, sebagai konsekuensi logis oleh jaksa
penuntut umum (JPU) dapat langsung disatukan dakwaannya dalam bentuk dakwaan
kumulatif, hal mana menciptakan terselenggaranya proses penuntutan yang cepat (speedy prosecution).
Dengan penyidikan di satu tangan, maka JPU dapat mendakwakan
secara kumulatif antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang dan
melimpahkannya secara bersamaan ke pengadilan. Hal demikian secara tidak
langsung akan menciptakan peradilan yang cepat (speedy trial), karena cukup disidangkan oleh satu majelis hakim.
Dapat juga memberikan kepercayaan kepada penyidik asal penyidik
dimaksud selalu menambah sikap profesionalisme dalam penanganan kasus yang
bersifat kompleks, multi-dimensi. Pasal 74 ketentuan UU No 8/2010 menyebutkan,
penyidikan TPPU dilakukan oleh penyidik pidana asal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut UU ini. Lebih
lanjut, dalam Pasal 74 dijelaskan bahwa yang dimaksud 'penyidik tindak pidana
asal' adalah pejabat dari instansi yang oleh UU diberi kewenangan melakukan
penyidikan, selain Polri yang selama ini menangani penyidikan TPPU diberikan
juga kepada, antara lain Kejaksaan, KPK, BNN, serta Dirjen Pajak dan Dirjen Bea
dan Cukai, Kemenkeu RI, di mana penyidik tindak pidana asal dapat melakukan
penyidikan TPPU apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya TPPU
saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.
Beberapa pakar hukum memandang, pemberian wewenang
penyidikan TPPU oleh kejaksaan merupakan sebuah kemunduran karena seolah
kembali era Herziene Indische Reglemen (HIR). Pada waktu HIR masih berlaku
sebagai hukum acara pidana di Indonesia, penyidik dipandang sebagai bagian dari
penuntutan di mana dengan kewenangan yang demikian menjadikan jaksa sebagai
koordinator penyidikan, bahkan jaksa dapat melakukan sendiri penyidikan.
Namun dengan berlakunya UU No 8/1981 tentang KUHAP, maka
terjadi suatu diferensiasi dan kompartemensasi. Diferensiasi, yaitu pembedaan
tugas dan wewenang tingkatan pemeriksaan sejak dari penyidik, penuntutan dan
pemeriksaan di persidangan. Sedangkan kompartemensasi adalah memberikan sekat
terhadap tugas dan wewenang penyidik dan penuntut umum, tetapi tidak boleh
mengganggu usaha adanya satu kebijakan penyidikan dan penuntutan yang merupakan
kerja bersama dalam proses peradilan pidana.
Untuk itu, pembagian kewenangan tersebut dimaksudkan agar
pelaksanaan penegakan hukum dapat menjadi fokus, sehingga tidak terjadi
duplikasi kewenangan, namun tetap terintegrasi karena institusi penegak hukum
yang satu dengan lainnya secara fungsional ada hubungan sedemikian rupa dalam proses
peradilan pidana di mana pola dikenal dengan integrated criminal justice system
(sistem peradilan pidana terpadu).
Dalam perkembangannya, karena pertimbangan pengalaman, jaksa
masih tetap dipercaya dan diberi kewenangan penyidik dalam tindak pidana korupsi
(UU No 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001), seperti diatur
dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) Yang Berat (UU No 26/2000, sebagaimana diatur dalam UU
Peradilan HAM yang Berat). Kewenangan tersebut lebih ditegaskan lagi dalam UU
No 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa di bidang
pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap
tindak pidana tertentu berdasarkan UU (Pasal 30 ayat 1 huruf d UU No 16/2004).
Dalam KUHAP, definisi penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidikan dalam hal menurut cara yang diatur dalam UU ini, untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 KUHAP).
Kegiatan mengumpulkan bukti ini berhubungan erat dengan
kegiatan pembuktian dalam penuntutan di mana pada hakikatnya kegiatan
penyidikan adalah dalam rangka mendukung kegiatan penuntutan. Sehingga, apabila
penyidik dan penuntut umum dalam satu persepsi, maka penanganan perkara dapat
lebih optimal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar